Kisah Hai Ping

“Raja-raja suci jaman dahulu selalu menghormati sang Guru.”

Siang hari, matahari bergantung tinggi di atas langit, udara terasa sangat panas. Seorang anak bernama Hai Ping dengan kedua tangannya sedang menjinjing barang. Tak terasa wajah Hai Ping penuh dengan keringat, ia sejenak menurunkan barang bawaannya untuk menyeka keringat. Karena tangannya kotor, wajah Hai Ping menjadi tercoreng.

Hai Ping menuju ke kota untuk menjual barang.
Desa tempat tinggal Hai Ping adalah daerah yang kurang sejahtera, tampak sunyi & seram. Dalam desa hanya terdapat puluhan rumah yang reyot & beberapa pohon. Suatu senja di musim dingin, datanglah seorang guru baru. Guru itu bermarga Liu. Dari kejauhan guru Liu melihat sedikit sekali kepulan asap yang keluar dari cerobong dapur. Dalam hati guru Liu merasa kecewa, ia harus menghadapi keadaan yang sangat berbeda dengan apa yang dibayangkan sebelumnya. Desa tempat Hai Ping tinggal adalah tempat tugas pertama bagi guru Liu untuk mengajar.

Meskipun tampak sunyi & seram, desa tersebut memiliki suatu ciri khas: mereka sangat menghormati guru. Penduduk setempat maksimal hanya menyekolahkan anak-anak mereka sampai lulus pendidikan sekolah dasar, karena itu mereka menganggap sosok guru sangat istemewa.

Walaupun guru Liu baru datang di desa tempat tinggal Hai Ping, penduduk setempat cepat akrab dengan beliau. Siang/malam hari saat guru Liu sedang berpikir hendak memasak apa, selalu ada saja murid yang datang mengundang beliau untuk makan di rumahnya. “Guru, ibu saya mengundang anda untuk makan di rumah kami.” Kata-kata itu mereka ucapkan dengan sangat antusias & meminta saya dengan segera menyetujui. Sebenarnya guru Liu merasa sungkan & kuatir merepotkan orang tua murid, akan tetapi si murid telah menanti kedatangannya. Dapat mengajak guru untuk makan bersama adalah sebuah kebanggaan bagi siswa.

Ada kalanya guru Liu menolak ajakan mereka. “Terima kasih, tolong sampaikan kepada ibu saya tidak dapat datang.” Selesai mendengarkan perkataan guru Liu, si murid akan memegang hidungnya seraya berkata:”Ibu yang menyuruh saya untuk mengundang anda.” Kata-kata ini diucapkan dengan nada memohon & memelas.

Ada beberapa siswa yang gagal mengundang guru Liu untuk makan bersama. Orang tua mereka datang sendiri untuk mengundang guru Liu. Mendapat perlakuan demikian, guru Liu merasa sungkan. Sejak saat itu bila ada siswa yang datang mengajak makan bersama, guru Liu tidak menolak.

Hampir semua keluarga di desa tempat tinggal Hai Ping telah mengundang guru Liu untuk makan bersama. Bagi mereka gagal mengundang guru Liu untuk makan bersama adalah sebuah pantangan.

Setiap guru Liu makan di rumah orang tua murid, si murid akan bercerita kepada teman-temannya. Ia dengan bangga mengatakan: guru Liu di rumah kami makan beberapa mangkuk sayur & minum beberapa cangkir arak.

Di desanya, keluarga Hai Ping adalah keluarga yang paling miskin. Sejak sebelum melahirkan Hai Ping, sang ibu telah mendapatkan penyakit aneh. Sang ibu telah berobat ke beberapa dokter, akan tetapi tidak kunjung sembuh, kian hari kian bertambah parah, sampai pada akhirnya sang ibu lumpuh. Sang ayah untuk menghidupi sekeluarga bekerja sebagai pengembala kambing.

Setiap ada temanya yang sengaja menceritakan pengalamannya mengajak guru Liu makan bersama, dalam hati Hai Ping merasa sedih. Hai Ping selalu memikirkan bagaimana caranya agar dapat mengundang guru Liu untuk makan bersama. Keinginan ini menjadi sebuah pompa mamacu semangat Hai Ping untuk berusaha.

Sepulang dari sekolah Hai Ping menimba air untuk kebutuhan keluarga. Setelah itu, ia memikul air untuk keluarga sepasang kakek-nenek. Dalam keluarga tersebut hanya tinggal kakek-nenek yang telah renta. Usai memikul air untuk mereka, sang kakek memberi Hai Ping upah 5 fen(satuan mata uang tiongkok kuno). Pada saat menerima Hai Ping merasa malu-malu mau. Dalam hati Hai Ping berkata:”Maafkan saya, suatu hari nanti saya tidak akan menerima upah dari kakek, apa yang telah kakek berikan akan saya kembalikan.”

Setiap hari, sedikit demi sedikit Hai Ping mengumpulkan uang, apa yang diangankan  semakin mendekati kenyataan.

Suatu hari, Hai Ping berkata kepada kedua orang tuanya:”Mari kita mengundang guru Liu untuk makan bersama.” Saat mengutarakan niatnya, Hai Ping sedang menghitung uang yang telah ia kumpulkan. Sang ayah & ibu mengetahui keinginan hati Hai Ping yang tulus, menganggukkan kepala tanda setuju.

Esok hari adalah hari minggu, Hai Ping berangkat  menuju ke kota. Sepanjang perjalanan hati Hai Ping riang gembira.

Di kota Hai Ping membeli aneka sayuran-lauk pauk & arak. Hai Ping berharap dapat menjamu guru Liu dengan sebaik mungkin. Akan tetapi, setelah ditunggu-tunggu guru Liu tidak kunjung hadir di sekolah. Ternyata, ayah dari guru Liu meninggal dunia.

Hai Ping setiap hari memandangi aneka sayuran-lauk pauk & arak yang ia beli dari kota, dengan setia menanti kehadiran guru Liu. Karena terlalu lama menunggu sayuran yang dibeli oleh Hai Ping dari kota mulai ada yang busuk & rusak.

Usai menjalani masa berkabung, guru Liu kembali ke sekolah. Saat itu sekolah mendekati akan memasuki masa liburan. Hai Ping beberapa kali mengundang guru Liu untuk makan bersama. Sayang, karena disibukkan dengan urusan ujian, guru Liu tidak memiliki waktu. Sampai hari terakhir sekolah, guru Liu tidak menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah Hai Ping. Guru Liu segera berkemas-kemas untuk pindah ke tempat tugas yang lain. Melihat bayangan guru Liu meninggalkan desa, Hai Ping tak kuasa menahan tangis karena merasa kecewa.

Apakah yang menangisi kepergian guru Liu hanya Hai Ping seorang? Hai Ping walaupun miskin tetap mencintai sang guru.

Penulis: Xie Zheng Ming.
Ahli Sejarah Kuno Conficius dan bahasa Mandarin.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

" NAMA-NAMA BUDDHIS "

“大悲咒 | Ta Pei Cou (Mahakaruna Dharani) & UM-MANI-PAD-ME-HUM”

“ Fangshen cara membayar Hutang Karma Buruk dengan cepat dan Instan “