Renuungan Dharma: "Nikmat Membawa Derita ke-1"

Renungan Dharma: “Nikmat Membawa Derita ke-1”

Ketika sudah remaja atau dewasa, umumnya manusia mulai memikirkan untuk mencari pasangan hidupnya. Setelah berkenalan dan jalan bareng muncul percikan cinta, bagaikan bunga mekar di taman yang asri harum semerbak. Kadang membuat segalanya indah hingga terhanyut dan lupa diri. Maka ada pepatah kuno mengatakan bahwa; “Cinta itu buta atau membutakan mata yang sebenarnya melek”. Istilah saat ini, disebut pacaran, dan sesudah melewati waktu bertahun misalnya, mulailah satu diantaranya mengutarakan rencana ke depan bersama keinginannya, yaitu ‘ingin hidup berumah tangga’ bukan hidup bersama (kumpul kebo). Dengan sumpah atas nama... saya mencintaimu seutuhnya, setia sampai mati, dan berjanji untuk tidak poligami (selingkuh). Demikianlah kira-kira rayuan gombal meluncur meninabobokan hati tiap wanita bagaikan lezatnya es cream merk ‘Capina’ saja.


Untuk hidup berumah tangga tentunya ada langkah dan syarat-syarat yang perlu dipikirkan, selain persediaan finasial yang tidak sedikit. Seandainya semua sudah tersedia dan cukup, ditambah restu kedua orang tua, itu berarti jalan tol yang mulus, tanpa hambatan. Penyair bilang ‘mimpi jadi kenyataan’, relung-relung hati yang dulu kosong kini mulai terisi gairah hidup, dari gemerlapnya cinta dua sejoli. Tak ayal lagi kebahagiaan seakan sudah berada di depan matanya, bahkan ingin segera di raihnya. Buku cerita rumah tangga dicari untuk dipelajari, sebagai bekal hidup bersama dengan suami. Berita menyenangkan mulai menyebar dari keluarga, teman dan kerabat.


Pesta pernikahan berlangsung dengan meriahnya, teman dan kerabat dekat berduyun-duyun hadir untuk menyaksikan jalannya pernikahan, yang disambut oleh alunan musik dari group band atau dangdutan. Ucapan selamat menempuh hidup baru datang silih berganti, semoga berbahagia bersama setia saling mencintai, saling memahami sampai tua beranak cucu bahkan setia sampai mati bersama. Bak raja dan ratu duduk di kursi mahligai pelaminan, dengan taburan bunga-bunga yang harum semerbak. Tak ada kalimat yang tepat untuk mengungkapkan rasa bahagianya, di saat-saat yang indah seperti hari pernikahan tiba, sekali lagi ‘mimpi jadi kenyataan’.


Umumnya manusia yang suka mengkhayal tentang kisah cinta yang indah seperti Chinderella misalnya, maka seperti itulah kira-kira dua sejoli yang memadu cinta hingga ke jenjang pelaminan, dan hidup berumah tangga. Hari demi hari di lalui bagaikan peristiwa gerhana bulan di tengah malam, yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Demikian pula dua insan manusia yang baru memasuki hidup berumah tangga, yang sering disebut “Pengatin Baru” sedang berbulan madu (honeymoon), waktu satu hari rasanya cepat sekali berlalu. Kalau boleh ingin rasanya waktu itu bisa diundur jadi molor dan panjang, sebab kebahagiaan dari berbulan madu terus mengalir tak berkesudahan. Begitulah selama tiga bulan, hari-hari hanya diisi oleh cinta dan kebahagiaan oleh mereka berdua pasangan pengantin baru.


Cerita para novelis melukiskan bahwa memang betul masa-masa pengantin baru berbulan madu itu ibaratnya seperti para nelayan yang mau pergi melaut mencari ikan. Ketika kapal atau perahunya sudah diisi semua perlengkapan, lalu didorong keluar dari pantai dan masuk di tepi laut, disambut oleh angin semilir yang meredam rasa panas dan haus. Hati dan pikiran para nelayan terasa bahagia bukan main, sebab rasa jenuh dan bosan selama di rumah telah ditinggalkan, keruwetan dan beban hidup di rumah sejenak menguap dan hilang. Tugas baru mencari ikan dijalani yang diiringi oleh desiran angin pantai menyejukkan badan. Perahu atau kapal secara perlahan melaju ke tengah lautan nan luas, yang di sana tentunya sudah menunggu ombak dan badai serta angin topan yang kencang dan menghanyutkan. Maka begitu sesampai di tengah laut, benar saja angin mulai berubah yang awalnya pelan kini jadi keras tak bersahabat, juga ombak pun mengeluarkan suaranya yang menakutkan. Demikian pula badai disertai hujan menampar muka tanpa basa basi lagi. Di situlah perahu atau kapal mulai terasa oleng, dan makin ke tengah laut, bukan ikan tongkol atau ikan cakalang yang diperoleh, namun ujian berat datang bergiliran. Ombak setinggi 1 hingga 2 meter mulai mempermainkan perahu atau kapalnya, bukan mengayun perlahan tapi justru hampir menenggelamkannya. Begitulah setiap saat, ujian di laut makin kencang datangnya

Seperti itulah kira-kira orang yang menempuh hidup baru berumah tangga, yang awalnya bak raja dan ratu duduk di kursi mahligai pelaminan, dengan doa restu dan ucapan selamat menempuh hidup baru semoga bahagia. Tapi kenyataannya setelah berjalan lewat tiga bulan usai berbulan madu, ujian mulai datang bergantian persis seperti ombak, badai dan topan di laut menerpa setiap saat, rasanya justru terbalik tidak seperti semula yang dibayangkan. Mulai dari beban hidup bertambah membengkak, seiring istri sudah mulai hamil, yang tentunya harus rutin memeriksakan diri ke dokter kandungan. Semua itu jelas bukan hal yang enak dibayangkan apalagi membahagiakan, sebab resiko pengeluaran tidak sedikit jadinya. Ditambah lagi harga BBM naik yang disusul semua harga barang kebutuhan pokok jadi ikut naik berlipat ganda, akibatnya bisa ditebak, perahu biduk rumah tangga mulai oleng.

Akhirnya kepala sering tarasa nyud-nyudan sakit bukan main, banyak sekali yang harus dipikirkan bukan hanya tugas di kantor atau pekerjaan rutin, tapi malah banyak beban pikiran makin berat yang harus dipikul. Istilah Peggy Melati Sukma yang pernah terkenal dengan jargon, “Pusiiiing, pusiiiing, pusiiiing, ternyata benar. Inikah yang namanya kebahagiaan hidup baru berumah tangga? Mengapa segalanya jadi berubah secara drastis? Kenapa hari-hari yang dulu penuh kebahagiaan dan keindahan, begitu cepat sekali berlalu? Kemanakah bahagiaku perginya? Kemanakah perginya keindahan taman hati yang penuh bertabur bunga semerbak itu? Kini aku harus bergulat dengan waktu demi mendapatkan uang, uang dan uang, istilah dangdutan menyebut; duit, duit, duit.

Apalagi istri sudah hampir melahirkan, tentu banyak biaya yang harus disediakan. Pertama aku tanya berapa biaya melahirkan. Kedua belanja persiapan untuk bayiku yang akan lahir yaitu; popok, bedak, sabun mandi bayi, susu formula, dan obat. Belum lagi biaya istri paska melahirkan, makanan bergizi tinggi, susu formula, pakaian ukuran besar bagi istri yang hamil tua perutnya besar sekali, dsb. Wah, pokoknya semua biaya besar tak terduga datangnya, mending kalau gajiku naik, pasalnya hasilnya pas untuk hidup keseharian saja. Kemana lagi aku harus mengadu, kepada orang tuaku pun sedang pusing efek harga BBM naik, biaya hidupnya pun bertambah. Mertuaku juga sebanding penderitaannya dengan orang tuaku, aku tak tega mengeluh kepadanya.

Jam 12.00 tengah malam aku belum tidur menemani istriku yang susah tidur karena perutnya besar sekali, sungguh kasihan. Aku sulit tidur bukan karena perut besar tapi memikirkan biaya istriku mau lahir anak pertama. Jadi beban pikiranku dua macam, diantara gembira dan bahagia menunggu anak pertama lahir, satu lagi pusing memikirkan ongkos keluarnya anakku nanti. Di atas ranjang sambil melihat langit-langit kamar, aku mengajak diskusi tentang hasil karya buah cinta berdua yang akan keluar, yaitu anak pertamaku. Tak masalah yang nanti keluar pria atau wanita yang penting selamat, kata istriku. Namun, bagiku bukan itu masalahnya, uangnya cukup atau tidak untuk mengeluarkan bayi dari rahim (pintu surga) istriku, itu saja yang kupikirkan.

Ditulis, 24- Mei 2008.
Salam damai dan bahagia selalu.
Bhikkhu Sudhammacaro.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

" NAMA-NAMA BUDDHIS "

“大悲咒 | Ta Pei Cou (Mahakaruna Dharani) & UM-MANI-PAD-ME-HUM”

“ Fangshen cara membayar Hutang Karma Buruk dengan cepat dan Instan “