BUDDHA KISAHKAN KEHIDUPAN LALU JADI KELINCI.







Kisah kelahiran kelinci hutan. Jataka nomor 316. [ASAL MULA bayangan KELINCI di Bulan] Pada suatu masa, tatkala Brahmadatta bertahta di Benares, Bodhisatta dilahirkan sebagai seekor kelinci hutan dalam sebuah hutan. Pada satu sisi dari hutan ini adalah kaki sebuah gunung, pada satu sisi yang lain mengalir sebatang sungai, dan sisi yang satunya lagi berbatasan dengan sebuah dusun. Sahabatnya adalah tiga ekor binatang yang lain: seekor kera, seekor rubah, dan seekor berang-berang.


 Empat ekor binatang bijaksana ini, yang tinggal bersama dan masingmasing mendapatkan makanannya di tempatnya sendiri-sendiri, suka berkumpul di kala malam. Kelinci bijaksana, memberi nasihat kepada tiga sahabatnya dengan membabarkan Dhamma, “Berdanalah, jagalah moral, dan jalankan Disiplin Moral Bulan Purnama.”

Menuruti nasihatnya, tiap binatang kembali ke sarangnya masing-masing. Beberapa waktu kemudian, Bodhisatta mengamati bulan dan menyadari bahwa esok malam bulan purnama. Ia berkata pada ketiga sahabatnya, “Besok bulan purnama. Kalian harus

menjaga disiplin moral bulan purnama. Dana yang dipersembahkan dengan moral yang terjaga akan memberikan buah yang sangat baik. Karenanya, jika ada yang datang meminta makanan, berikanlah kepadanya apa yang seharusnya untuk kalian makan.”

Nasihat ini dijawab dengan, “Sangat baik,” lalu masing-masing kembali tinggal diam di sarangnya.

Pagi-pagi pada keesokan harinya, berang-berang memutuskan untuk mencari makanan di tepian sungai. Sementara itu, seorang penangkap ikan telah berhasil mendapatkan tujuh ekor ikan merah, mengikatkan tangkapannya dengan tali, dan menyimpannya di

bawah pasir di tepi sungai. Kemudian ia menuruni sungai untuk mencari ikan-ikan yang lain. Berangberang tiba di sana, tercium olehnya bau ikan pada pasir di tepi sungai. Ia menggali pasir, melihat seikat tujuh ekor ikan, menariknya keluar, dan berteriak kuatkuat

tiga kali, “Ikan ini ada yang punya?” Tidak melihat seorang pun di sana, ia memutuskan tali pengikat ikan-ikan itu dan menarik mereka ke dalam sarangnya. Ikan-ikan itu akan

dimakannya nanti. Selanjutnya ia merebahkan diri dan merenungkan perilaku moralnya sendiri.

 Rubah juga pergi mencari makanan. Ia bertemu dengan dua tusuk daging dalam sebuah gubuk penjaga ladang, dan juga seekor cicak, dan sekendi dadih susu.

Ia berteriak kuat-kuat tiga kali, “Barang-barang ini ada yang punya?”

Karena ia tak melihat seorang pun di sana, ia memasukkan lehernya ke dalam tali kendi, memegang tusukan daging dan cicak dengan mulutnya, kemudian membawa makanan itu ke dalam sarangnya. Ia memutuskan untuk memakannya nanti. Lalu ia merebahkan diri dan merenungkan perilaku moralnya sendiri.

Kera juga, setelah memasuki sebuah hutan belukar, berhasil mengambil sekumpulan mangga. Ia membawanya ke dalam sarangnya, dan untuk dimakan nanti. Kemudian ia merebahkan diri dan merenungkan perilaku moralnya sendiri.

 Namun, Bodhisatta, setelah pergi mencari makanan, memutuskan untuk mengumpulkan rumput dan ilalang untuk makanannya. Tapi tatkala ia merebahkan diri di dalam sarangnya, ia berpikir, “Tidaklah mungkin memberikan rumput dan ilalang kepada pencari sedekah yang datang ke sarangku. Aku juga tak punya beras dan biji wijen atau yang sejenisnya. Jika ada yang meminta makanan di depan sarang ini, aku harus memberikan daging dari tubuhku.”

Akibat cahaya perilaku moralnya, tempat tinggal raja segala dewa, Sakka, memanas. Mengamati hal ini dan mengetahui sebabnya, ia memutuskan untuk menguji sang raja kelinci, namun sebelum itu ia mengunjungi sarang berang-berang terlebih dahulu. Sakka berdiri di depan sarang berang-berang dalam bentuk seorang brahmana. Ketika berang-berang menanyakan untuk apa ia berdiri di sana, Sakka menjawab, “Yang Bijaksana,

jika saja aku mendapatkan sesuatu untuk dimakan, maka setelah menjalani Disiplin Moral Bulan Purnama, aku akan pergi menjalani Dhamma dalam penyepian.” Berang-berang berkata, “Baik sekali. Aku akan memberimu makanan.” Lalu ia melantunkan sebait

syair.

“Tujuh ikan merahku, ditangkap dari air ke atas tanah kering

Ini punyaku, wahai brahmana; setelah menikmatinya tinggallah di hutan.”

Brahmana berkata, “Besok saja, aku akan mengambilnya nanti,” dan terus pergi ke tempat rubah.

 Ketika rubah bertanya, “Untuk apa Anda berada di sini?” ia menjawab seperti sebelumnya.

“Baik sekali. Aku akan memberi,” ujar rubah.

Berkata seperti itu, ia kemudian melantunkan sebait syair.

“Aku ambil makan malam penjaga ladang

Dua tusuk untuk daging, seekor cicak, dan sekendi dadih susu

Ini punyaku, wahai brahmana; setelah makan tinggallah di hutan.”

Brahmana berkata, “Besok saja, aku akan mengambilnya nanti.” Lalu ia pergi ke tempat kera.


Ketika kera telah bertanya, “Mengapa Anda berdiri di sini?” ia menjawab seperti sebelumnya.


Kera berkata, “Baik sekali, aku akan memberi.”

 Berkata seperti itu ia melantunkan sebait syair.

“Mangga masak, air dingin, tirai sejuk menyenangkan

Itulah punyaku, wahai brahmana; setelah makan tinggallah di hutan.”

Brahmana berkata, “Besok saja, aku akan 
mengambilnya nanti.” Lalu ia menuju sarang kelinci hutan.

Ketika kelinci bertanya, “Untuk apa Anda berdiri di sini?” ia memberikan jawaban yang sama. Mendengar jawaban brahmana, kelinci hutan sangat gembira. “Wahai brahmana, engkau telah berbuat baik dengan datang ke tempat ini mencari makanan. Hari ini aku akan mempersembahkan padamu apa yang belum pernah kupersembahkan sebelumnya. Tapi karena engkau orang bajik, engkau tidak boleh menyembelih. Pergilah, sahabat. Jika

engkau telah berhasil mengumpulkan kayu kering dan membuat api, beritahu aku. Aku akan mengorbankan diri terjun ke dalam api. Jika dagingku telah matang dan engkau makan, pergilah menjalankan Dharma penyepian,” demikian ujarnya.

 Setelah itu ia melantunkan syair keempat.

“Sang kelinci tak punya wijen atau kacang atau bahkan beras

Setelah makan daging bakarku, tinggallah dalam hutan.”

Mendengar kata-kata ini, Sakka dengan kemampuannya sendiri menciptakan bara api,

kemudian memberitahu Bodhisatta. Bangkit dari sarangnya menuju bara api, Bodhisatta berkata, “Hatihatilah terhadap binatang-binatang kecil dalam buluku. Jangan sampai mereka terbunuh.”

 Lalu ia menggoyang-goyangkan tubuhnya tiga kali, memberikan seluruh raganya untuk

dipersembahkan, meloncat dan terjun ke dalam api seperti angsa kerajaan menubruk himpunan bunga teratai. Tapi api itu tak mampu bahkan untuk membakar seujung bulunya pun. Seolah-olah ia masuk ke dalam bungkahan es. Lalu ia mendatangi Sakka

sambil berkata, “Brahmana, api yang engkau buat terlalu dingin, tak mampu membakar seujung bulu di tubuhku sekali pun. Mengapa bisa terjadi seperti itu?”

 “Yang Bijaksana, aku bukan brahmana. Aku Sakka, datang mengujimu.”

“Sakka, meskipun engkau sendiri yang berdiri di sini, sekali pun seluruh dunia datang ke sini mengharapkan kemurahan hati, mereka tak akan pernah melihatku menolak memberi,” dan Bodhisatta menyuarakan raungan singa.

 Sakka berkata padanya, “Kelinci bijaksana, semoga keluhuranmu diberkahi selama beribu-ribu tahun.” Setelah berkata demikian, Sakka mengambil sebuah gunung, memerasnya, mengambil sarinya, lalu mengoleskannya pada bulatan bulan membentuk bayangan kelinci. Kemudian ia memberi hormat kepada Bodhisatta, meletakkannya kembali dalam sarangnya di hutan belukar dan kembali ke alam dewa.

Keempat ekor binatang bijaksana ini, hidup dalam harmoni dan rukun, terus melaksanakan Disiplin Moral Bulan Purnama, menerima buah sesuai dengan karmanya masing-masing.

 Sang Guru, setelah membabarkan ajaran dan memberikan contoh kebenaran, menjelaskan Kisah Kelahiran itu. Kata-Nya, “Pada masa itu, Ananda adalah berang-berang, Moggallana adalah rubah, Sariputta adalah kera, dan Saya sendiri adalah kelinci bijaksana.”


Sumber: Sutta Pitaka.

Editor: Bhante Sudhammacaro.





Komentar

terserah mengatakan…

admin numpang promo ya.. :)
cuma di sini tempat judi online yang aman dan terpecaya di indoneisa WA : +85587781483

Postingan populer dari blog ini

" NAMA-NAMA BUDDHIS "

“大悲咒 | Ta Pei Cou (Mahakaruna Dharani) & UM-MANI-PAD-ME-HUM”

“ Fangshen cara membayar Hutang Karma Buruk dengan cepat dan Instan “