PARA DEWA-DEWI di TINGKAT Câtumahârâjikâ ADA yang CENDERUNG BERHATI JAHAT, YAITU:
1. Gandhabbo/Gandhabbî: yang
berada di pohon-pohon berbau harum, yang belakangan mungkin dikenali oleh
orang-orang Jawa sebagai ‘GANDARUWA’ / ‘GENDERUWA’. Makhluk halus ini sangat
melekati tempat tinggalnya. Walaupun pohon tempat tinggalnya ditebang, ia masih
tetap mengikuti ke mana pohon itu dipindahkan tidak seperti rukkhadeva lainnya,
yang akan mengungsi ke pohon lain yang masih hidup,
2. Kumbhanno/Kumbhannî: penjaga harta pusaka, hutan, dan
sebagainya,
3. Nâgo/Nâgî: naga yang memiliki kesaktian, yang mampu menyalin
rupa dalam wujud makhluk lain seperti manusia, binatang dan sebagainya.
4. Yakkho/Yakkhinî: raksasa yang gemar menganiaya para penghuni
neraka.
Segala macam Dewa / Dewi yang menguasai bumi, seperti Dewa /
Dewi Penguasa / Penghuni Laut-Laut tertentu, Penguasa Gunung Tertentu, dan
Penguasa Bumi, termasuk hidup di alam Catummaharajika ini.
Sebagai contoh, hari Minggu malam, tanggal 14 Sepetember 2008,
dirumah saya hadir para praktisi Yoga. Masing-masing, ada yang sebenarnya sudah
bergelar “Master-Reiki”, ada yang sudah bertahun-tahun belajar Meditasi
Buddhis, bahkan hingga ke Burma, dan lainnya. Kemudian jam 21.30 WIB kami
bermeditasi bersama-sama, dan seperti biasa, setelah saya menguncarkan kata
Puja kepada Sang Bhagava, Sang Buddha, saya menguncarkan puja kepada para Dewa,
dan mengundang mereka untuk ikut hadir. Saya sendiri meniatkan untuk berdiam
dalam Jhana II hingga dua jam kedepan. Dan, baru 2 menit berjalan, sesosok
Dewa-Yang-Perkasa, ikut hadir diruangan tersebut (hingga meditasi kami
selesai), beserta seekor naga meliuk-liuk turun dari atas langit, dan para
pengikutnya yang bercahaya cemerlang berkilauan, memenuhi ruangan meditasi
dirumah saya. Beliau, oleh masyarakat China dikenal sebagai “Kwan-Kong”.
Beliau berdiri dengan gagah disatu sisi didepan kami, lengkap
dengan pakaian perang, baju-zirah, topi baja pelindung, dan tongkat dengan
ujungnya berupa Golok. Mukanya Merah, “galak”, matanya “mentheleng”, berkumis,
dan berjenggot panjangnya sekitar 15 – 20 cm. Gagah. Beliau memberkati kami dan
memberikan beberapa pesan. Setelah beliau, seekor naga, dan para pengikutnya
“naik” kembali kealamnya, barulah saya mengakhiri meditasi, dengan menguncarkan.
“Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitatta” ; “SEMOGA SEMUA MAKHLUK
BERBAHAGIA!!” .
Sepertinya beliau termasuk penghuni alam Surga Catummaharajika
ini.
c).Tavatimsa.
Alam Tâvatimsa adalah alam surgawi tingkat kedua. Alam ini
sebelumnya / dulunya merupakan tempat tinggal para asurakâya. Ini adalah alam
Dewa saf berikutnya, saf ketiga dari alam Sugati. Secara harafiah berarti :
tiga puluh tiga. Ini adalah alam surga dari tiga puluh tiga ( 33 ) Dewa dengan
dewa Sakka sebagai rajanya.
Asal-usul dari nama ‘Tâvatimsa‘ tersebut berkaitan dengan
sejarah tiga puluh tiga relawan yang tidak mementingkan diri sendiri, yang
dipimpin oleh Magha ( nama lain dari Sakka ), karena perbuatan-perbuatan baik
mereka berhasil menyingkirkan para asurakâya. , terlahir dialam surgawi iniDi
dalam surga inilah Sang Buddha mengajarkan Abhidhamma kepada para Dewa selama
tiga ( 3 ) bulan.
Para dewa-dewi di Tâvatimsa terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
1. Bhummattha: Sakka beserta 32 dewa pembesar,
2. Âkâsattha: yang bertinggal dalam istana di angkasa.
Surga Tavatimsa ini terletak di atas puncak pegunungan Himalaya,
di Gunung Sineru. Maka di tradisi Buddha Mahayana ada sutra-sutra yang isinya
menguncarkan pujian terhadap Para Dewa yang tinggal di alam ini. Ibukota
Tâvatimsa ialah Masakkasâra.
Balai Sudhamma menjadi tempat bagi para dewa-dewi untuk
memperbincangkan Kebenaran Dhamma di bawah asuhan Sakka (Beliau berhasil meraih
kesucian tingkat Sotâpatti setelah mendengarkanBrahmajâla Sutta). Brahmâ
Sanamkumâra kerap menjadi tamu pembabar Dhamma di sini. Buddha Gotama pernah
berkunjung ke alam ini, dan bertinggal selama tiga bulan untuk mewejangkan
Abhidhamma kepada ibunda-Nya, yang terlahirkan kembali sebagai putra dewa di
alam Tusita.
Moggallâna Thera juga pernah beberapa kali pergi ke alam ini,
dan dari sejumlah penghuninya, beliau memperoleh kesaksian atas
perbuatan-perbuatan bajik yang membawa mereka terlahirkan kembali di sini.
Kebajikan ini antara lain ialah merawat ayah-ibu, menghormat sesepuh dalam
keluarga, berbicara lemah lembut, menghindari penghasutan, mengikis kekikiran,
bersifat jujur, menahan marah. Usia rata-rata para dewa-dewi yang terlahirkan
di alam Tâvatimsa ialah 1,000 tahun dewa atau kira-kira 36 juta tahun manusia.
d).Yama ( Yâmâbhûmi )
Secara harafiah berarti “Alam para Dewa Yama”. Dewa Yama adalah
dewa penghancur rasa sakit. Alam ini adalah saf keempat dari alam Sugati (
berarti alam surga tingkat ketiga ). Alam ini menjadi tempat bagi para
dewa-dewi yang terbebas dari segala kesukaran, yang terberkahi dengan kebahagiaan
surgawi. Pemegang kekuasaan dalam alam ini ialah Suyâma. Alam ini berada di
angkasa. Dalam alam ini dan tingkat yang lebih tinggi, tidak ada dewa-dewi yang
tergolong sebagai bhummattha yang bertinggal di daratan. Istana, harta serta
tubuh para dewa-dewi di alam ini jauh lebih indah dan halus daripada yang
bertinggal di Tâvatimsa. Rentang hidup mereka ialah 2,000 tahun dewa atau
kira-kira 142 juta tahun manusia.
e).Tusita ( Tusitabhûmi ).
Secara harafiah berarti, penghuni yang berbahagia, adalah “Alam
Kesenangan”. Para Boddhisatta yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan
Kebuddhaan bertempat tinggal di alam ini sampai saat yang tepat bagi mereka
untuk muncul di alam manusia untuk mencapai Kebuddhaan. Tusitabhûmi adalah alam
surgawi tingkat keempat.
Para dewa-dewi yang hidup di alam ini senantiasa berceria atas
keberadaan yang dimiliki. Semua Bodhisatta, sebelum turun ke dunia dan meraih
Pencerahan Agung, terlahirkan di alam ini untuk menanti waktu yang tepat bagi
kemunculan seorang Buddha. Demikian pula mereka yang akan menjadi orangtua
serta Siswa Utama (Aggasâvaka). Sekarang ini, Bodhisatta Metteyya yang akan
menjadi Sammâsambuddha setelah ajaran Buddha Gotama punah dari muka bumi ini sedang
berada di alam ini. Usia rata-rata di alam ini ialah 4,000 tahun dewa atau
kira-kira 567 juta tahun manusia.
Saat ini Bodhisatta Metteya tengah hidup dan bersemayam di alam
ini. Alam ini adalah saf kelima dari alam Sugati.
f).Nimmanarati
Secara harafiah berarti “Alam Para Dewa yang Senang dalam Istana
yang Diciptakan”. Para dewa di alam ini hidup dengan penuh
kesenangan-kesenangan didalam istana yang mereka ciptakan sendiri. Layaknya
bangsawan-bangsawan dan para saudagar di alam manusia, mereka hidup “mewah”,
berkecukupan, berkelimpahan, mempunyai para pembantu / pelayan / pengikut.
Ini adalah alam saf keenam dari alam Sugati.
g).Paranimmitavatti.
Secara harafiah berarti “Alam Para Dewa yang membuat ciptaan
pihak lain bermanfaat untuk tujuan-tujuan mereka sendiri”. Ini adalah
saf-ketujuh / langit ketujuh dari alam Sugati. Merupakan alam Surga / Dewa
sekaligus alam Sugati yang tertinggi. Namun, sejatinya, ini bukanlah alam
“Sang-Pencipta-Semesta”, bukanlah “Yang-Mutlak, Yang-Tidak-Tercipta”.
Enam ( 6 ), kecuali yang pertama adalah Alam Para Dewa yang
bentuk tubuhnya lebih halus dan lembut dibandingkan dengan bentuk tubuh manusia
dan tidak kelihatan dengan mata telanjang.
Makhluk-makhluk Dewa ini juga tunduk pada kematian seperti
halnya semua makhluk hidup. Alam Dewa ini dalam terminology agama samawi adalah
alam-alam surga, tempat para manusia yang beramal-soleh, bajik, kelak akant
terlahir, yang digambarkan seorang laki-laki akan mendapatkan hak
bidadari-bidadari cantik sebagai istrinya, dan adanya aliran sungai yang
dialiri air susu. Kurang lebih memang alam kesenangan ini demikian. Dalam
beberapa hal, seperti keadaan jasmani,tempat tinggal, dan makanannya, mereka
memang mengungguli manusia.
Mereka lahir secara spontan, muncul seperti pemuda dan gadis
berusia lima belas atau enam belas tahun.
Enam alam Deva ( Dewa ) ini adalah tempat tinggal sementara yang
penuh kebahagiaan dimana para makhluk tampaknya hidup menikmati kesenangan
indrianya yang sesungguhnya cepat berlalu.
Alam Sugati ini, seperti halnya alam-alam Dugati, juga terkena
hukum alam ; tidak-kekal. Sehingga, pantaslah ajaran Jawa, bahwa manusia Jawa
itu tidak mengharap-harap masuk surga, tetapi “manunggal” dengan “Yang-Mutlak”,
“Kahanan-Jati”, dan itu, bukan s u r g a.
Menurut pengalaman saya dalam “menengok” alam surga tersebut,
maka disana sesungguhnya hidup banyak sekali makhluk surgawi, sama seperti
manusia yang jumlahnya pun teramat sangat banyak.
Satu makhluk surgawi, tentunya yang berstrata “Dewa / Dewi” bisa
mempunyai ribuan pelayan / Dayang-dayang. Dayang-dayang / Peri-Peri tersebut
“kerjaannya” adalah menghibur para Dewa / Dewi dan putra-putri mereka dengan
nyanyian dan tarian-tarian. Mereka hidup dalam istana-istana yang megah,
bagaikan kerajaan di alam dunia ini. Maka memang pantaslah ada istilah
“Kerajaan-Surga”, karena memang seperti itulah adanya.
Jika ada manusia yang terlahir di alam dewa ini dalam pangkuan
seorang dewa / dewi tertentu, maka dia akan menjadi anak dari dewa / dewi
tersebut. Para dewa / dewi lahir secara spontan, dengan usia berkisar antara 16
tahun, dan selama mereka hidup di alam surgawi tersebut memiliki rupa yang
tampan / cantik.
Jika ada manusia yang terlahir di sebuah istana dewa / dewi
tertentu, bukan di pangkuan sesosok dewa / dewi yang berkuasa tersebut, maka ia
akan menjadi pelayan Sang Dewa / Dewi.
Sebagai contoh, Kanjeng Ratu Kidul yang mempunyai
“struktur-organisasi” lengkap dengan istana kekuasaannya, itu adalah kenyataan,
bukan isapan jempol semata. Demikian juga dengan para Dewa yang lainnya. Hal
ini bisa dibuktikan. Dengan melatih samadhi, dan dengan mencapai ketenangan
yang dalam, batin yang terpisah dari tubuh, dengan
perhatian-terpusat-sepenuhnya ( jadi bukan dalam keadaan “tans” seperti yang
seringkali disebut-sebut ) bisa diarahkan untuk “menengok” alam-alam surga
tersebut.
Para dewa di alam surga memiliki usia kehidupan yang sangat
panjang, sehingga terkadang mereka lupa bahwa kehidupan itu tidak kekal. Tetapi
meskipun kita sebagai manusia teramat sering mengeluh, meratap dalam menjalani
kehidupan di alam manusia ini, sesungguhnya kehidupan manusia ini memiliki
kelebihan yang tidak dimiliki para dewa di alam surgawi, dan tumimbal-lahir ke
alam manusia, bagi para dewa dianggap sebagai tempat tujuan yang baik. Karena
sebab-akibat, atau hukum karma, hampir tidak berlaku diantara para dewa, mereka
memiliki hanya sangat sedikit kekuatan, atau bahkan tidak memiliki kekuatan,
untuk memutus samsara, roda dumadi, bhavacakka, yang mengikat semua yang harus
mati, walaupun ingatan mereka mengenai ajaran-ajaran Dhamma – yang tidak
terdengar di alam dewa – tidak punah, seperti halnya dengan semua ciri lain
dari kehidupan manusia mereka.
Sumber: Sutta Pitaka.
Editor: Bhante Sudhammacaro.
Komentar
WA : +85587781483