Master Bercerita: Semangkuk Nasi Saat musim semi datang kembali, kita bisa melihat berbagai jenis tumbuhan bertumbuh subur dengan beragam warna. Betapa indahnya pemandangan seperti itu. Sesungguhnya, bukan hanya tumbuhan. Saat musim semi tiba, cuaca sangat bersahabat sehingga kehidupan manusia juga terasa nyaman. Baik kaya maupun miskin, semua orang merasakan musim semi yang sama. Sesungguhnya, berapa kali musim semi yang bisa kita nikmati dalam kehidupan kita? Tzu Chi menerbitkan sebuah buku dan saya iseng-iseng membacanya. Kisah pertama berjudul Semangkuk Nasi. Kisah tersebut sangat menyentuh.
Pada suatu hari di Taipei, matahari hampir terbenam. Seorang pemuda masuk ke sebuah rumah makan dan berkata, “Bolehkah saya hanya memesan semangkuk nasi?” Dengan ramah, istri pemilik rumah makan menyiapkan semangkuk nasi untuknya.
Melihat di atas meja masih ada kuah
sayur yang tersisa, pemuda itu berkata, “Nyonya Bos, bolehlah sisa kuah
ini disiramkan di nasi saya?” Nyonya bos itu berkata, “Tentu saja
boleh.” Dia pun menyiramkan kuah di atas nasi dan berkata pada pemuda
itu, “Kamu bisa duduk dan makan di sana.”
Usai makan, dia kembali berkata, “Bisakah saya membeli semangkuk nasi lagi?” Setelah nasi itu dibungkus, dia pun membawanya pulang.
Keesokan harinya, pada waktu yang
sama, pemuda itu datang lagi ke rumah makan dan kembali memesan
semangkuk nasi. Pemilik rumah makan berkata, “Nasinya mau disiram kuah?”
Pemuda itu berkata, “Ya, terima kasih.”
Pemilik rumah makan berkata, “Anak Muda, kamu bukan penduduk asli sini, ya?”
Pemuda itu berkata, “Bukan. Saya datang dari pedesaan untuk menuntut ilmu di sini. Di perkotaan, segala sesuatu sangat mahal. Jadi, saya harus berhemat.”
Ucapannya membuat pasangan suami istri
ini menjadi sangat sayang padanya. Berhubung tahu kapan dia akan
datang, mereka selalu menyiapkan nasinya dahulu dan diam-diam menaruh
sayuran atau telur di dalam nasi.
Setelah akrab dengan pemuda itu, suatu
hari, pemilik rumah makan berkata, “Untuk siapa kamu membeli nasi untuk
dibawa pulang setiap hari?” Pemuda itu berkata, “Itu untuk makan siang
saya keesokan harinya.”
Pasangan suami istri itu merasa bahwa pemuda itu sangat giat dan bekerja keras sehingga sangat menyayanginya. Empat tahun kemudian, sebelum lulus, pemuda itu datang dan berkata pada mereka, “Terima kasih atas perhatian kalian selama ini. Saya pasti akan mengingat kebaikan kalian.”
Mereka berkata, “Kamu juga anak yang baik.”
Setelah lulus, pemuda ini pun pergi.
Awalnya, dia sering mengirimkan surat kepada mereka. Namun, beberapa
tahun kemudian, surat darinya pun semakin sedikit. Beberapa waktu
kemudian, tidak pernah ada kabar lagi darinya.
Di perkotaan, berhubung jalan terus diperluas, maka rumah makan itu pun harus dibongkar. Apa yang harus mereka lakukan? Mereka terus mengajukan permohonan kepada pemerintah, tetapi percuma. Pemilik rumah makan sangat khawatir tentang kelangsungan hidup keluarganya.
Suatu hari, seorang laki-laki berdasi
mendatangi rumah makan itu dan bertanya, “Apakah Anda pemilik rumah
makan ini?” Laki-laki itu lalu memberikan kartu namanya.
Pemilik rumah makan berkata, “Ada
perlu apa?” Laki-laki itu berkata, “Manajer umum kami yang mengutus saya
ke sini. Beliau tahu bahwa tempat ini akan dibongkar. Perusahaan kami
memiliki banyak karyawan. Masalah makan sangat memusingkan bagi kami.
Perusahaan kami membutuhkan kafetaria. Jadi, kami ingin mengajak Anda
untuk membuka sebuah kafetaria di gedung kami.”
Pasangan suami istri itu sangat gembira meski juga merasa curiga. Jadi, mereka menerima tawaran tersebut. Lalu, mereka pergi ke perusahaan besar itu untuk menemui manajer umum itu.
Saat bertemu, manajer umum itu
berkata, “Bos, Anda tidak mengenali saya?” Istrinya menyadari bahwa dia
adalah pemuda itu dan dengan gembira berkata, “Kamu juga bekerja di
sini?”
Sang asisten lalu berkata, “Beliaulah manajer umum kami.”
Demikianlah, pasangan suami istri ini mulai membuka kafetaria di gedung perusahaan besar ini.
Kita harus sungguh-sungguh berpegang
pada tekad kita, seperti manajer umum dari perusahaan besar yang begitu
sukses ini. Beliau juga pernah hidup miskin. Namun, beliau selalu
berpegang pada tekadnya dan bersungguh-sungguh. Karena itulah, beliau
tekun belajar.
Beliau sangat giat dan bekerja keras. Meski dia hanya membeli dua mangkuk nasi setiap hari, tetapi pemilik rumah makan selalu diam-diam menaruh sayur di dalam nasinya demi tidak melukai harga dirinya. Berhubung tahu bahwa dirinya dibantu, pemuda itu pun selalu mengingat kebaikan mereka di dalam hati. Saat mereka membutuhkan bantuan, dia pun segera membalas kebaikan mereka.
Di sisi lain, meski telah membantu
pemuda itu, mereka tidak merasa bahwa itu sesuatu yang besar. Mereka
hanya menggenggam kesempatan untuk mencurahkan cinta kasih saat pemuda
itu membutuhkan. Mereka menganggap itu sebagai hal yang biasa. Mereka
memang bersumbangsih tanpa pamrih. Namun, hidup ini ada naik dan turun.
Saat mengalami kesulitan, mereka mendapatkan bantuan dari pemuda yang dahulu pernah mereka bantu, meski mereka hanya murni bersumbangsih dan menganggapnya suatu hal yang biasa. Jadi, kisah ini sungguh penuh kehangatan.
Saudara sekalian, dalam kehidupan
sehari-hari, antarmanusia hendaklah saling membantu. Saat kita membantu
sesama dengan sukacita, meski kita tidak memiliki pamrih, tetapi
demikian benih yang ditabur, demikian pulalah buah yang dituai. Inilah
hukum sebab akibat.
Berhubung telah menabur benih cinta
kasih dengan bersumbangsih dalam setiap kesempatan, pasangan suami istri
itu pun memperoleh buah cinta kasih. Benih karma mereka langsung
berbuah pada kehidupan yang sama. Jadi, kehidupan manusia sungguh
menakjubkan.
Kita harus memandang penting hukum sebab akibat. Sebagian orang langsung memperoleh buah karma mereka pada kehidupan itu juga. Contohnya mahasiswa dan pemilik rumah makan itu. Pasangan suami istri itu membantu pemuda itu dengan gembira dan tanpa pamrih, sedangkan pemuda itu tekun belajar dan tidak tergoda oleh gemerlap kehidupan perkotaan hingga akhirnya memperoleh kesuksesan. Jadi, ini bergantung pada tekad kita.
Saya sering berkata bahwa dengan
berpegang pada tekad dan prinsip kebenaran, jalan kita akan sangat
lapang. Jadi, kita harus bersungguh-sungguh menjaga pikiran.
Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, Devi (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Khusnul Khotimah
Hakikat terpenting dari pendidikan adalah mewariskan cinta kasih
dan hati yang penuh rasa syukur dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -
Komentar