Mengapa Jepang terobsesi dengan robot? - Dari sejarah kekalahan perang, agama Shinto, hingga Astro Boy Amos Zeeberg BBC Future 25 Agustus 2021
'Jurang luar biasa'
Meskipun proto-robot sudah ketinggalan zaman selama modernisasi cepat abad ke-20 di Jepang, gagasan tentang makhluk mekanis sebagai hiburan mungkin masih ada dalam kesadaran nasional.
Ketika Masahiro Mori, pemikir robotika terkenal yang menciptakan istilah "jurang luar biasa", pertama kali melakukan penelitian tentang robot pada 1970-an, ia dipandang sebelah mata.
"Pada masa itu, orang tidak berpikir universitas harus melakukan penelitian tentang robot," katanya dalam sebuah wawancara dengan majalah IEEE Spectrum.
"Mereka berpikir bahwa mengerjakan 'mainan' itu sembrono."
Jepang telah dipaksa untuk melakukan demiliterisasi selama pendudukan Amerika, dan negara di kawasan pasifik itu secara resmi tidak banyak berusaha menggunakan robot sebagai senjata.
Faktor-faktor ini membantu menanamkan pandangan yang umumnya positif tentang robot di Jepang pascaperang.
Otomasi industri telah memberikan keuntungan ekonomi yang besar, dan robot humanoid adalah keingintahuan yang tidak berbahaya.
Baca juga:
Barat, sementara itu, cenderung mengambil pandangan yang kurang optimis.
AS, yang disibukkan dengan Perang Dingin, menggelontorkan dana ke robotika untuk keperluan militer, yang menimbulkan aura mengancam di lapangan.
Dan para pekerja di Barat telah lama menganggap otomatisasi sebagai ancaman yang akan mengambil pekerjaan manusia, sejak Luddites menghancurkan mesin tekstil di Inggris pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.
Manga superstar: Astro Boy
Pandangan yang berbeda tentang teknologi ini terungkap dalam budaya pop pada paruh kedua abad ke-20.
Salah satu karakter Jepang yang paling terkenal saat ini adalah Astro Boy, yang diperkenalkan dalam komik manga pada tahun 1952 dan muncul di buku, acara TV, film, dan berbagai macam sovenir seperti boneka dan kartu koleksi.
Astro Boy adalah android yang menggunakan kekuatan supernya untuk kebaikan dan mengumpulkan pesan positif tentang teknologi di negara ini — bahkan jika dia awalnya tidak dimaksudkan seperti itu.
"Menurut [pencipta Astro Boy Osamu] Tezuka, dia telah dipaksa untuk menggambar sebuah pandangan teknologi yang sangat optimis ... oleh perusahaan penerbitan dan pembacanya.
"Untuk memberi harapan kepada Jepang, yang pada 1950-an masih menderita kehancuran perang dan kesadaran akan inferioritas teknologi mereka terhadap pemenang perang Barat," tulis Wagner.
"Pesan Tezuka tentang kritik terhadap perilaku manusia tidak dipahami; sebaliknya hanya karakter ramah penyelamat robot yang diidealkan sebagai harapan masa depan masyarakat Jepang."
Pesan tersebut meninggalkan bekas yang kuat pada generasi Jepang, terutama mereka yang akan terus membuat android mereka sendiri.
"Robotika Jepang didorong oleh mimpi Astro Boy," menurut insinyur Yoji Umetani.
"Jika tidak ada robot fiksi, tidak akan ada robotika" adalah keyakinan banyak peneliti dan pengembang robotika terkemuka di Jepang.
"Sejak SMA, mereka memimpikan Astro Boy dan menjadi peneliti robotik karena dia."
Citra negatif Barat akan robot
Barat juga telah menceritakan kisah-kisah positif tentang robot, tetapi yang paling berpengaruh adalah tentang efek negatif dan ancaman yang ditimbulkannya terhadap kemanusiaan.
Pada tahun 2001: 'A Space Odyssey', sistem komputer cerdas "Hal" menjadi tidak terkontrol dan membunuh beberapa awak di pesawat ruang angkasa yang dia kendalikan.
Dalam buku 'Do Androids Dream of Electric Sheep?' yang diadaptasi di film Blade Runner, android yang mirip manusia secara meyakinkan memberontak melawan perbudakan sampai mereka diburu dan dibunuh.
Ketakutan Barat terhadap robot dikristalkan paling kuat dalam seri Terminator, di mana jaringan komputer pertahanan SkyNet memperoleh kesadaran diri. Manusia mencoba mematikannya, namun SkyNet menggunakan android yang disebut Terminator untuk berperang melawan manusia.
Banyak karya sci-fi Barat mengingatkan kembali pada peringatan moral yang sama dari Frankenstein dan RUR: kebodohan menciptakan kehidupan buatan, paradoks apakah sesuatu yang dibuat oleh manusia dapat memiliki jiwa, ketidakmungkinan orang hidup berdampingan dengan ciptaan kita yang paling canggih.
Kekurangan tenaga kerja
Sementara itu, Jepang, yang tidak terlalu terganggu oleh kekhawatiran tentang pemberontakan robot, sangat ingin menggunakan robot untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja yang akut dan menangani tugas-tugas seperti merawat populasi lansia yang tumbuh cepat di negara itu.
Tapi ketika Astro Boy membantu melahirkan antusiasme Jepang untuk ide robot, dia mungkin juga berkontribusi pada ambivalensi atau kondisi yang bertentangan dalam praktik, sejauh ini.
Rathmann mengatakan orang Jepang memiliki "sindrom Astro Boy": mereka cenderung membayangkan robot humanoid sebagai robot yang cerdas, fleksibel, dan kuat, namun sejauh ini, robotika kehidupan nyata belum memenuhi harapan mereka.
Dia mengatakan bahwa berdasarkan teknologi yang tersedia sekarang, seperti para insinyur yang bekerja pada robot perawatan lansia, lebih fokus pada kegunaan yang praktis dan sederhana daripada pada hal yang mengesankan mata tetapi mahal dan tidak praktis.
Pada akhirnya, bahkan orang Jepang mungkin lebih suka kebutuhan manusia mereka ditangani oleh manusia yang sebenarnya.
"Ketika saya bepergian di Jepang, saya menemukan bahwa fasilitas perawatan di Jepang tidak dipadati oleh perangkat robot sama sekali," kata peneliti Marketta Niemela.
"Sentuhan manusia dihargai sebagai gantinya."
Astro Boy memberi Jepang visi optimis tentang masa depan robot.
Orang Jepang mempertahankan optimisme itu, tetapi robot untuk saat ini tetap ada di masa depan.
Komentar