Dampak perubahan iklim: Ribuan warga Madagaskar yang kelaparan makan daun kaktus dan serangga Andrew Harding Koresponden Africa, BBC News 25 Agustus 2021..
Madagaskar menjadi negara pertama di dunia yang berada di ambang "wabah kelaparan karena perubahan iklim", menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Menurut laporan PBB, puluhan ribu orang sudah menderita pada level "bencana besar" dari kelaparan dan ketahanan pangan karena selama empat tahun negara itu tak pernah hujan.
Kekeringan - yang terburuk selama empat dekade - telah menghancurkan komunitas pertanian yang terisolasi di bagian selatan negara itu, membuat warganya harus mengais-ngais serangga untuk bertahan hidup.
"Ini adalah kondisi seperti-kelaparan, dan itu terjadi karena perubahan iklim, bukan konflik," kata Shelley Thakral dari Program Pangan Dunia PBB, World Food Programme (WFP).
Baca juga:
PBB memperkirakan bahwa 30.000 orang saat ini mengalami tingkat kegentingan pangan tertinggi yang diakui secara internasional - level lima - dan ada kekhawatrian jumlah yang terkena dampak akan meningkat tajam seperti saat Madagaskar memasuki "musim paceklik" tradisional sebelum panen.
"Hal ini tak terduga. Orang-orang ini tak melakukan hal-hal yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Mereka tidak membakar bahan bakar fosil... namun mereka menanggung beban perubahan iklim," kata Thakral.
Di desa terpencil, Fandiova, distrik Amboasary, warga menunjukkan belalang-belalang sebagai makanan sehari-hari mereka kepada tim WFP yang berkunjung.
"Saya membersihkan serangga ini sebisa mungkin, tapi sudah hampir tidak ada air," kata Tamaria, ibu empat anak.
"Anak-anak dan saya memakan ini setiap hari sekarang, selama delapan bulan, karena kami sudah tak punya apa-apa lagi untuk dimakan, dan tak ada hujan yang memungkinkan kami memanen dari apa yang telah kami tanam," tambahnya.
"Hari ini kami sudah tak punya apa-apa lagi untuk dimakan, kecuali daun kaktus," kata Bole, ibu tiga anak yang duduk di tanah yang kering.
Dia mengatakan, suaminya baru-baru ini meninggal karena kelaparan. Kondisi yang sama dialami tetangganya, yang meninggalkan dan menyerahkan dua anak untuk diberi makan.
"Saya mau bilang apa lagi? Hidup kami saat ini bergantung dari pencarian daun kaktus, lagi dan lagi, untuk bertahan hidup."
Meningkatkan pengelolaan air
Meskipun Madagaskar memiliki pengalaman kekeringan yang berkepanjangan, dan sering kali dikarenakan perubahan pola cuaca seperti El Niño, para ahli meyakini perubahan iklim bisa terkait langsung dalam krisis yang saat ini terjadi.
"Dengan laporan IPCC terbaru, kami melihat bahwa kekeringan di Madagaskar telah meningkat. Dan itu diperkirakan akan terus meningkat jika perubahan iklim berlanjut.
"Dalam banyak cara, hal ini bisa dilihat sebagai alasan yang sangat kuat bagi orang-orang untuk mengubah cara hidupnya," kata Rondro Barimalala, ilmuan Madagaskar yang bekerja di Universitas Cape Town di Afrika Selatan.
Melihat data mengenai atmosfer yang sama di Universitas Santa Barbara di California, direktur Climate Hazards Center, Chris Funk mengkonfirmasi kaitan dengan "pemanasan di atsmosfer", dan mengatakan pihak berwenang Madagaskar perlu bekerja untuk meningkatkan pengelolaan air.
"Kami pikir ada banyak yang bisa dilakukan dalam jangka pendek. Kami sering memperkirakan kapan akan terjadi hujan di atas normal, dan para petani bisa menggunakan informasi ini untuk meningkatkan produksi pertanian mereka. Kita bukan tanpa daya dalam menghadapi perubahan iklim," tambahnya.
Dampak masa paceklik yang saat ini terjadi juga dirasakan di kota-kota lain di selatan Madagaskar, banyak anak-anak terpaksa mengemis di jalanan untuk mendapatkan makanan.
"Harga barang di pasar meningkat - tiga hingga empat kali lipat. Orang-orang menjual lahan mereka untuk mendapatkan uang, dan membeli makanan," tambah Tshina Endor yang bekerja untuk badan amal Seed di Tolanaro.
Rekannya, Lomba Hasoavana, mengatakan ia dan yang lainnya tidur di ladang singkong untuk berusaha melindungi tanaman dari orang-orang yang membutuhkan makanan, tapi hal ini terlalu berbahaya.
"Kami bisa mempertaruhkan hidup. Saya merasa sangat, sangat sulit karena setiap hari saya harus berpikir untuk makan buat diri sendiri dan keluarga saya," katanya, lalu menambahkan: "Segalanya bisa sangat tak terduga mengenai cuaca hari ini. Ini adalah pertanyaan besar yang harus digaris bawahi - apa yang akan terjadi besok?"
Komentar