Mengapa Jepang terobsesi dengan robot? - Dari sejarah kekalahan perang, agama Shinto, hingga Astro Boy Amos Zeeberg BBC Future 25 Agustus 2021 RobotSUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES Keterangan gambar, Jepang meluncurkan robot di panti jompo, kantor, dan sekolah seiring bertambahnya usia populasi dan berkurangnya tenaga kerja Ketika negara-negara Barat cenderung melihat robot dan kecerdasan buatan sebagai ancaman, Jepang memiliki pandangan lebih filosofis yang menciptakan hubungan 'mesra dan kompleks' antara negara dengan mesin. Di sebuah kuil Buddha berusia 400 tahun, pengunjung dapat berjalan-jalan melalui taman batu yang tenang, duduk untuk menikmati secangkir teh yang hangat, dan mendengarkan ajaran Buddha dari seorang pendeta yang tidak biasa: android (robot menyerupai manusia) bernama Mindar. Ia memiliki wajah yang tenang dan penampilan yang netral — tidak tua atau muda, bukan laki-laki atau perempuan. Kepala dan tubuh bagian atas Mindar dibalut kulit sintetis, sementara di bawahnya masih terlihat tabung dan mesin yang terbuka.
Animisme Jepang bertentangan dengan tradisi filosofis Barat. Orang Yunani Kuno adalah animistik karena mereka melihat roh di tempat-tempat alami seperti sungai, tetapi mereka menganggap jiwa dan pikiran manusia terpisah dari dan di atas alam.
Kemudian, agama-agama Abrahamik menempatkan manusia pada posisi yang bahkan lebih tinggi, sebagai ciptaan Tuhan yang terbesar, satu-satunya bejana yang berisi jiwa-jiwa yang tidak berkematian.
Orang Israel Kuno diperingatkan dengan tegas agar tidak terlalu menganggap istimewa benda-benda, jangan sampai mereka mendekati penyembahan berhala, suatu bentuk dosa yang secara tegas dilarang oleh Sepuluh Perintah Allah.
Sementara di Islam, secara khusus menolak penyembahan berhala dan melarang membuat gambar manusia atau binatang apa pun.
Jangan main-main dengan alam
Menurut pandangan tradisional Barat, sebuah mesin yang bertindak dan serupa seperti manusia adalah bentuk pelanggaran atas batas-batas alam, dan berbahaya menggabungkan yang sakral dan yang tercemar.
Peringatan etis ini muncul dengan jelas dalam mitos modern tentang teknologi, seperti Frankenstein, yang mendapatkan banyak pesan moralnya dari Alkitab, kata Christopher Simons, profesor budaya komparatif di International Christian University di Tokyo.
"Frankenstein menciptakan kehidupan lain di sebuah monster. Ini seperti manusia makan dari pohon pengetahuan di Eden. Itu dosa asal, akibatnya kita dihukum," katanya.
Di akhir cerita yang tragis, dengan Frankenstein dan monsternya mati, pelajarannya jelas, kata Simons: "Hati-hati, manusia. Jangan mengambil peran Tuhan."
Drama Ceko tahun 1920 "RUR", yang memperkenalkan kata "robot," penuh dengan tema keagamaan.
Satu karakter menciptakan android untuk membuktikan bahwa tidak ada tuhan, yang lain berpendapat bahwa robot harus memiliki jiwa, dan dua robot yang jatuh cinta diganti namanya "Adam dan Hawa".
Di akhir cerita, robot membunuh seluruh manusia kecuali satu.
Penggerak industri
Beberapa peneliti mengatakan bahwa akar dari pandangan positif Jepang tentang teknologi, dan robot pada khususnya, terutama adalah faktor sosial ekonomi dan sejarah ketimbang agama dan filosofis.
Pada tahun-tahun setelah Perang Dunia Kedua, Jepang beralih ke teknologi baru untuk membangun kembali tidak hanya ekonominya tetapi juga citra diri nasionalnya.
"Robot industri memainkan peran utama dalam kebangkitan ekonomi Jepang selama tahun 60-an," kata Martin Rathmann, seorang sarjana Jepang di Universitas Siegen di Jerman.
"Alih-alih melonggarkan kebijakan imigrasi yang ketat untuk membantu kekurangan tenaga kerja, mereka memperkenalkan otomatisasi yang meluas melalui robotika."
Setelah mengotomatisasi lini manufakturnya sendiri, meningkatkan efisiensi dan produksi, Jepang menjadi pengekspor utama robot industri ke negara lain.
Ketika beberapa insinyur beralih dari membuat robot industri fungsional ke robot humanoid, sejarah Jepang kemungkinan mewarnai persepsi mereka.
Pada tahun 1649, penguasa militer Jepang melarang penggunaan teknologi untuk mengembangkan senjata baru, untuk mencegah munculnya saingan baru, menurut penelitian oleh Cosima Wagner, seorang peneliti di Freie Universität di Berlin.
Jadi pengerajin Jepang berfokus pada kreasi yang lebih tidak berbahaya, seperti boneka mekanis yang ditampilkan di teater atau robot yang menyajikan teh.
Ketika Jepang akhirnya membuka diri terhadap kontak asing lebih dari dua abad kemudian, para pengembang mainan yang terampil itu memimpin dalam mengadaptasi teknologi Barat untuk penggunaan yang lebih praktis.
Pada tahun 1875, misalnya, pembuat boneka Tanaka Hisashige memulai Tanaka Seisakusho (Tanaka Engineering Works), perusahaan teknik mesin pertama di Jepang; 64 tahun kemudian, setelah merger besar, dikenal dengan nama yang lebih akrab Toshiba.
Komentar