‘Harta karun’ tersembunyi di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa Jerome Wirawan-BBC Indonesia-16 Februari 2018
Sebuah papan merah berukir dengan aksara emas tampak mencolok di kawasan rumah-toko yang terletak di bilangan BSD, Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
Berbeda dengan tetangga-tetangganya yang berbisnis asuransi dan jasa keuangan, ruko tersebut berfungsi sebagai museum. Sebagaimana tertera pada papan merah di muka gedung, museum itu bernama 'Museum Pustaka Peranakan Tionghoa'.
Ketika memasuki ruangan museum, deretan buku beraksara latin serta Mandarin langsung menyambut dari berbagai penjuru. Warna kertas yang kecokelatan dan berlubang juga menjadi pemandangan lazim.
Azmi Abubakar, pemilik museum, mengatakan tak kurang dari 30.000 dokumen ada di tempat itu.
- Museum peranakan Cina di tengah Pasar Lama Tangerang
- Masjid kuno 'multi etnik' Angke yang dirancang dan dibangun orang Cina
- 'Dicina-cinakan' di jalan: pengalaman putra 'tokoh integrasi' Tionghoa Indonesia pada 1965
Selain buku, terdapat koran, majalah, cerita silat, komik, dan foto-foto di museum tersebut. Saat berada di sana, saya bahkan menjumpai akta kelahiran seorang warga keturunan Cina tahun 1940 yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda di Semarang.
Di antara tumpukan dokumen, Azmi menyoroti keberadaan manuskrip beraksara Jawa karya Tjan Tjoen Hiang di Surakarta pada 1891 yang menceritakan kembali kisah roman klasik Cina, Sie Djin Kwie.
"Itu bentuk akulturasi yang paling istimewa menurut saya," kata Azmi, yang berasal dari keluarga Aceh.
Kemudian, tersembunyi di antara deretan kursi, sebuah papan kayu hitam luput dari perhatian.
Tak disangka, papan kayu beraksara Mandarin itu tadinya bagian dari sekolah yang didirikan Tiong Hoa Hwee Kwan, sebuah organisasi yang didirikan pada 1900 oleh beberapa tokoh keturunan Cina di Batavia.
Papan itu kian istimewa lantaran menjadi penanda sekolah swasta modern pertama, bukan saja di Batavia, tetapi juga di Hindia Belanda.
"Memang hanya satu-satunya itu," cetus Azmi.
'Orang harus tahu'
Buku-buku dan berbagai koleksi di museum tersebut dikumpulkan Azmi sedikit demi sedikit saat dia masih menjadi pedagang buku bekas.
Pada 2011, setelah koleksinya makin banyak, dia mendirikan museum ini.
Mengapa dia begitu berhasrat pada literatur mengenai komunitas Indonesia keturunan Cina?
"Semakin banyak saya baca, saya terkaget-kaget dengan kisah-kisah orang Indonesia keturunan Cina. Ini orang harus tahu!" serunya, bersemangat.
Azmi mencontohkan Laksamana John Lie, pahlawan nasional Indonesia yang mengabdi di Angkatan Laut. Dia juga menyebut Souw Phan Ciang alias Khe Panjang atau Kapitan Sepanjang, salah satu pemimpin Tionghoa yang bersatu dengan pasukan Jawa untuk melawan pasukan VOC pada 1740-1743.
"Harusnya kita tahu, harusnya itu disampaikan ketika SD atau SMP. Kalau kita menerima asupan informasi itu, tentu paradigma berbeda, tentu akan mencoret stigma di kepala kita bahwa orang Tionghoa itu hanya pedagang, cari untung," papar Azmi.
Didorong untuk menyampaikan informasi mengenai warga keturunan Cina, Azmi tak segan merogoh koceknya demi keperluan museum. Sedemikian banyak uang yang dia keluarkan, dia bingung menghitungnya.
"Kalau berbicara berapa banyak uang, ini kekayaan saya seluruhnya di sini. Pemasukan dari penjualan buku bekas, pendapatan sebagai kontraktor kecil-kecilan, semua mengalir ke sini," akunya.
Apakah sampai Rp2 miliar atau Rp3 miliar? Tanya saya.
"Saya kira lebih. Sebelum bicara nilai koleksi, bangunan ini saja sudah menjadi aset museum sepenuhnya," katanya.
Sejak mendirikan museum dan mengoperasikannya, Azmi mengklaim tidak mau menerima sepeser pun bantuan dari kalangan keturunan Cina.
"Mereka nggak boleh bantu, ini kan kita yang mau bantu. Saya tahu betul jiwa sosial mereka tinggi, berkali-kali ditawarkan bantuan uang, tapi berkali-kali pula saya menolak. Saya masih kuat menolak sampai hari ini," tegasnya.
'Tidak untuk dijual'
Penolakan Azmi tidak terbatas pada tawaran bantuan, tapi juga tawaran pembelian.
Dia mengaku ada seorang tokoh terpandang yang beberapa kali berupaya membeli sejumlah koleksi di museumnya. Namun, dia tetap pada pendiriannya.
"Saya katakan kepada dia, ketika ini ada di museum, ini akan bisa diakses lebh banyak orang. Kalau dia yang memiliki, siapa yang berani datang ke rumahnya? Apakah dia punya waktu untuk melayani pengunjung? Tentu barang itu akan dia perlakukan seperti emas berlian. 'Jangan pegang', 'jangan colek'," papar Azmi.
"Kalau sudah begitu kan tidak ada interaksi antara barang tersebut dan manusia. Padahal, yang ingin kami lakukan adalah bagaimana informasi ini tersampaikan ke masyarakat," lanjutnya.
Niat Azmi ini mendapat apresiasi kalangan peneliti. Didi Kwartanada, sejawaran dari Yayasan Nabil, menyebut kontribusi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa amat besar bagi penelitian.
"Buku, tanda pengenal, kartu identitas, dan dokumen lainnya kalau di ilmu sejarah disebut sumber primer, bisa menunjang penelitian. Dokumen semacam itu kan belum tentu ada di Arsip Nasional dan perpustakaan," ujar Didi.
Agni Malagina, peneliti budaya keturunan Cina dari Universitas Indonesia, mengaku sangat terbantu oleh koleksi dokumen Museum Pustaka Peranakan Tionghoa.
Agni sendiri telah menelurkan beragam tulisan, termasuk disertasi, mengenai budaya peranakan Cina dan pemikiran mereka.
"Kontribusinya besar bagi penelitian, karena dari koran-koran kuno di sana saya mendapat banyak info. Peran arsip, koran, buku, teks-teks lama, karya terjemahan, merupakan sumber yang sangat kaya. Harta karun yang sangat besar bagi khazanah kepustakaan Indonesia, terutama kajian Cina di Indonesia," ucap Agni.
'Merajut kebhinekaan'
Apresiasi terhadap museum tersebut juga datang dari kalangan keturunan Cina. Aji Chen, salah satu pengurus Asosiasi Peranakan Tionghoa, memuji Azmi sebagai sosok yang penuh keuletan sehingga mampu mengumpulkan banyak koleksi berharga.
Ditanya bagaimana tanggapannya melihat seorang non-Cina memiliki sebuah museum khusus mengenai warga keturunan Cina, Aji mengaku "tidak malu dan tidak merasa tersindir, tapi justru merasa tertantang" untuk memberikan sumbangsih kepada masyarakat.
Beragam sanjungan itu tidak membuat Azmi Abubakar besar kepala. Menurutnya, dia hanya mencoba mewujudkan jargon 'merajut kebhinekaan' yang selama ini sering dikoarkan.
"Kita sering mendengar 'merajut kebhinekaan'. Itu benar, tapi bagaimana metodenya? Dengan keterbatasan saya berpikir, tindakan saya yang mengurus orang Tionghoa, lalu orang Tionghoa mengurus orang Nusa Tenggara Barat, orang Nusa Tenggara Barat mengurus orang Maluku, dan seterusnya, itu Indonesia yang sangat ideal," tutup Azmi sembari tersenyum lebar.
Komentar