TIGA CORAK UMUM (TILAKKHANA) Disusun oleh: Tanhadi "Sabbe sankhara anicca`ti. Yada pannaya passati; atha nibbindati dukkhe. Esa maggo visuddhiya." Segala sesuatu yang berkondisi adalah Anicca [TIDAK KEKAL-ABADI-SELALU BER UBAH2]. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini; maka ia akan merasa jemu dengan Penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada Kesucian BATIN. (Dhammapada 277) "Sabbe sankhara dukkha`ti. Yada pannaya passati; atha nibbindati dukkhe. Esa maggo visuddhiya." Segala sesuatu yang berkondisi adalah Dukkha [MEMBAWA PENDERITAAN LAHIR BATIN]. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan Penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada Kesucian BATIN. (Dhammapada 278) "Sabbe dhamma anatta`ti. Yada pannaya passati; atha nibbindati dukkhe. Esa maggo visuddhiya." Segala sesuatu yang berkondisi dan tidak berkondisi adalah Anatta [TANPA DIRI-AKU-EGO-KOSONG]. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian. (Dhammapada 279)

 


 




Tilakkhana atau Tiga Corak Umum atau kadang disebut Tiga Corak Kehidupan yaitu anicca [TIDAK KEKAL-ABADI-SELALU BER UBAH2], dukkha [MEMBAWA PENDERITAAN LAHIR BATIN]dananatta  [TANPA DIRI-AKU-EGO-KOSONG], merupakan tiga corak umum yang ada di setiap segala sesuatu atau fenomena yang terbentuk dari perpaduan unsur (berkondisi) yang ada di alam semesta ini, termasuk makhluk hidup. Ciri ini merupakan salah satu bentuk dari Hukum Kebenaran Mutlak (Paramatha-sacca) karena berlaku dimana saja dan kapan saja. Oleh karena itu, Tilakkhana merupakan corak yang universal.

Tilakkhana ( 3 sifat universal) :
 
· Sabbe Sankhara Anicca
· Sabbe Sankhara Dukkha
· Sabbe Dhamma Anatta

Sang Buddha pernah bersabda:
 
"Para Bhikkhu, walau dengan hadirnya Sang Tatthagata
atau tanpa hadirnya seorang Tatthagatha,
tetaplah berlaku suatu hukum,
suatu kesunyataan yang mutlak
bahwa segala sesuatu yang terbentuk adalah tidak kekal,...
tidak memuaskan,...dan tanpa inti ...."
 
(Angutara Nikaya, Yodhajiva-Vagga, 124)


ANICCA ( Perubahan/Ketidak kekalan )

“ Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya.
Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini;
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah jalan yang membawa pada kesucian.”
 
( Dhammapada XX ; 277 )

"Adalah tidak kekal segala sesuatu yang terbentuk,
segalanya muncul dan lenyap kembali.
Mereka muncul dan kembali terurai.
Kebahagiaan tercapai bila segalanya telah harmonis."
 
(Digha-Nikaya, Mahaparinibbana Sutta)

Satu kata yang sederhana ini, Anicca (ketidakkekalan), merupakan inti dari ajaran Buddha. Makhluk hidup juga ditandai dua sifat kehidupan lain, penderitaan (dukkha) dan tanpa inti (anatta).

Anicca berasal dari kata “an” yang merupakan bentuk negatif atau sering diterjemahkan sebagai tidak atau bukan. Dan “nicca” yang berarti tetap, selalu ada, kekal, abadi. Jadi kata ”an-nicca” berarti tidak tetap, tidak selalu ada, tidak kekal, tidak abadi, berubah. Dalam bahasa Sanskerta disebut juga sebagai anitya.

Sabbe sankhara anicca berarti segala sesuatu yang berkondisi (terbentuk dari perpaduan unsur) akan mengalami perubahan (tidak kekal). ( Majjhima Nikaya I : 228)

Anicca (Ketidak-kekalan) merupakan suatu fakta yang bersifat Universal. Hal ini berlaku bagi manusia, gagasan, pemikiran dan perasaan, bagi hewan, tanaman, gunung, sungai atau segala sesuatu yang mungkin bisa kita beri nama. Ketidak-kekalan adalah suatu fakta yang tak terhindarkan. Segala sesuatunya mengalami perubahan yang konstan dari waktu ke waktu, seperti halnya suatu proses, kehamilan berlanjut ke proses kelahiran, bayi tumbuh menjadi anak-anak, anak-anak tumbuh mejadi remaja, remaja tumbuh menjadi dewasa, lalu menjadi tua dan mati.

Semua fenomena yang ada didalam alam semesta ini selalu mengalami perubahan yang tak putus-putusnya, selalu dalam keadaan bergerak dan mengalami proses, yaitu: Uppada (timbul), kemudian Thiti (berlangsung), dan kemudian Bhanga (berakhir/lenyap). Tidak ada sesuatupun yang tetap sama selama dua saat yang berturut-turut walaupun dalam perbedaan detik. Hukum anicca bersifat netral dan tidak memihak. Karena segala sesuatu merupakan hasil dari sebab-sebab dan kondisi yang berubah, maka segala sesuatu juga terus-menerus berubah.

Kita tidak dapat mengatakan bahwa barang apa pun, hidup atau mati, organic atau anorganik, “ini adalah abadi.“ Bahkan sementara kita sedang membicarakannya, perubahan itu pun sedang berlangsung. Semua ini berlalu dengan cepat : keindahan bunga, kicau burung, dengungan lebah, dan keagungan matahari yang terbenam.

“Misalkan engkau sedang memandang indahnya matahari yang terbenam. Seluruh langit di sebelah barat memancarkan cahaya yang berwarna merah : tetapi engkau sadar bahwa dalam setengah jam semua warna yang cerah ini berangsur – angsur akan hilang dari hadapan matamu, walaupun matamu tidak dapat mengenali sebelumnya kesimpulan yang beralasan itu. Dan apakah kesimpulannya ? Kesimpulannya adalah engkau tidak pernah dapat menyebutkan ataupun membayangkan, melihat suatu warna yang kekal, warna apapun yang sebenarnya bahkan untuk waktu yang paling singkat. Dalam perjutaan detik seluruh keagungan dari langit yang terlukis mengalami rangkaian perubahan yang tak terhitung banyaknya. Satu perubahan digantikan dengan yang lain dengan kecepatan yang membuat semua pengukuran tertinggal, karena proses itu tidak dapat diukur….. akal sehat menolak untuk menahan periode tertentu dari pemandangan yang berlalu itu, atau untuk mengungkapkan begitu, karena kalaupun ada yang berusaha, seketika hal itu sudah tiada. Ini merupakan rangkaian perubahan warna yang cepat, tiada satu pun darinya tetap ada, karena semuanya secara terus menerus lenyap menjadi yang lain. “

Semua paduan unsur, yaitu segala sesuatu yang timbul sebagai akibat dari suatu sebab, dan yang pada gilirannya kemudian menimbulkan akibat, dapat dinyatakan dalam satu kata anicca, ketidakkekalan. Oleh karena itu, semua sifat hanyalah merupakan variasi yang terbentuk dari paduan ketidakkekalan, penderitaan ( ketidakpuasan ), dan tanpa diri atau inti : anicca, dukkha dan anatta.

Realitas alam semesta ini bukanlah merupakan suatu kolam yang tenang, akan tetapi merupakan suatu arus/ aliran yang mengalir deras. Tidak ada suatu makhluk yang tetap, tetapi yang ada hanyalah segala sesuatu yang timbul dan tenggelam.

Pembentukan (uppada) dan Penghancuran (nirodha) yang berlangsung terus-menerus, yang tidak berhenti walau sekejappun. dapat digambarkan seperti sebuah gelombang.

Sebuah gelombang terbentuk naik, kemudian turun dan tenggelam, menimbulkan gelombang lain yang menyusul timbul. kemudian tenggelam pula, demikianlah seterusnya tidak henti-hentinya. Timbulnya sebuah gelombang bergantung kepadda tenggelamnya gelombang yang mendahuluinya, dan tenggelamnya sebuah gelombang menimbulkan gelombang lain pula yang menyusulnya. Demikianlah arus ini mengalir terus tidak putus-putusnya.

Perhatikanlah setangkai bunga, akan tertampak waktu kuncupnya, disusul oleh mekarnya, setelah mekar mencapai puncak kemegahannya, akan menjadi layu, busuk, kering dan akhirnya lenyap.

Semua sankhara (paduan unsur)
memperlihatkan sifat-sifat demikian :
“ Timbul, berlangsung, lenyap”.
 

Fajar menyingsing dan bumi mulai terang, pada jam 12.00 tengah hari matahari mencapai puncaknya, setelah lewat jam 12.00 matahari mulai condong ke barat dan bumi mulai teduh, disusul oleh senja yang berubah menjadi malam. Segala sesuatu di alam semesta ini mengalami proses perubahan, tetapi kita tidak menyadarinya, Mengapa?

Oleh karena:
 
1. Perhatian kita tidak ditujukan kepada proses perubahan itu.
2. Proses tersebut ada yang berjalan sangat cepat, seperti arus sungai dan bentuk-bentuk pikiran.
3.  atau proses tersebut berlangsung sangat perlahan, antara lain: batu, gunung dan bumipun tidak terlepas dari proses tersebut.

Proses perubahan itu dinamakan Anicca atau ketidak kekalan.

Ketidak kekalan yang diajarkan dalam agama Buddha ini bukanlah suatu yang direka-reka atau yang dibuat-buat, akan tetapi merupakan kenyataan, fakta, yang dirasakan dan dialami dengan jelas sekali dalam kehidupan kita sehari-hari.

Dalam kitab Abhidhamma-manavibhasa-sastra mengatakan bahwa : “ Selama 24 jam terdapat 6.400.099.988 Kshana atau Saat ; sedangkan lima kelompok kehidupan (pancakkhandha) manusia berproses terus-menerus terbentuk dan lenyap kembali dalam tiap-tiap Kshana.”

Disebutkan di dalam kitab suci Tipitaka bahwa, bilamana seorang siswa telah menembus Kesunyataan atau Dhamma, ia akan menyadari : yamkinci uppadadhammang sabbang tang nirodhadhammang (segala sesuatu yang terbentuk pasti akan lenyap kembali). Penembusan yang sempurna terhadap kesunyataan ini, hanya dapat tercapai apabila seseorang telah bebas samasekali dari segala macam keinginan apapun juga.

Selama kita belum dapat mengusir “keinginan” atau “Tanha” itu, maka pandangan sesat (sakkayaditthi) akan tetap ada, itulah yang menyebabkan kita tidak mampu untuk menyadari sepenuhnya terhadap corak ketidak kekalan daripada segala sesuatu yang terbentuk atau sankhara.

Didalam Anguttara Nikaya IV : 100 ff, Sang Buddha menasihati siswa-siswanya demikian:

“ Tidak kekallah, O para siswa,
segala sesuatu yang berpaduan (sankhara) itu tidaklah abadi,
karena itu tidaklah ada alasan untuk menikmati”.

Keseluruhan dari filosofi tentang perubahan yang diajarkan dalam agama Buddha adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur, yang terkondisi adanya, merupakan proses dan bukan merupakan kelompok kesatuan hidup yang kekal, tetapi perubahan itu terjadi dalam rangkaian yang sedemikian cepat sehingga orang – orang memandang rohani dan jasmani sebagai kesatuan hidup yang tetap. Mereka tidak melihat timbulnya dan hancurnya (udaya – vaya), namun memandang secara kesatuan, melihat sebagai suatu keseluruhan (ghana sanna).


DUKKHA ( Penderitaan )

Dukkha berasal dari kata ”du” yang berarti sukar dan kata ”kha” yang berarti dipikul, ditahan. Jadi kata ”du-kha” berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Jadi kata ”duh-kha” berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Pada umumnya dukkha dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, beban.

Sabbe sankhara dukkha berarti segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur, merupakan sesuatu yang tidak memuaskan yang akan menimbulkan beban berat atau penderitaan.

Mengapa segala fenomena tidak memuaskan dan menimbulkan beban berat atau penderitaan? Hal ini dikarenakan segala fenomena tersebut mengalami perubahan, tidak kekal. Dan ketika kita tidak bisa memahami dan menerima bahwa segala fenomena selalu mengalami perubahan, tidak kekal, maka timbul perasaan ketidaksukaan, ketidakpuasan pada diri kita dan akhirnya menimbulkan beban berat atau penderitaan.

Terdapat 12 macam dukkha, yaitu:
 
1.     Penderitaan dari kelahiran (Jati-dukkha)
2.     Penderitaan dari ketuaan (Jara-dukkha)
3.     Penderitaan dari kesakitan (Byadhi-dukkha)
4.     Penderitaan dari kematian (Marana-dukkha)
5.     Penderitaan dari kesedihan (Soka-dukkha)
6.     Penderitaan dari ratap tangis (Parideva-dukkha)
7.     Penderitaan dari jasmani (Kayika-dukkha)
8.     Penderitaan dari batin (Domanassa-dukkha)
9.     Penderitaan dari putus asa (Upayasa-dukkha)
10.  Penderitaan karena berkumpul dengan orangyang tidak disenangi atau dengan musuh (Appiyehisampayoga-dukkha)
11.  Penderitaan karena berpisah dengan sesuatu / seseorang yang dicintai (Piyehivippayoga-dukkha)
12.  Penderitaan karena tidak tercapai apa yang dicita-citakan. (Yampicchannaladhi-dukkha)

" Para Bhikkhu, apakah yang disebut Dukkha itu?
Itu bukan lain adalah kelima kelompok kemelekatan
(Panca-Khandha). "
 
(Samyutta Nikaya, Khandha Samyutta, 104)

Didalam Ajaran Empat Kebenaran Mulia, pengertian tentang Dukkha tidak terbatas pada penderitaan saja. Dalam arti yang lebih luas, Dukkha bisa juga berarti ketidak puasan, ketidak sempurnaan atau ketidak abadian.

Agama Buddha tidak pernah menyangkal adanya kegembiraan atau kebahagiaan dalam hidup sehari-hari walaupun diakui bahwa salah satu ciri keberadaan dari alam semesta adalah Dukkha. Tetapi hendaknya dimengerti bahwa setiap kegembiraan bahkan dalam keadaan Jhana yang dicapai dengan meditasi tingkat tinggi, yang telah bebas dari pencerapan suka dan duka pun masih tetap berada dalam ciri keberadaan Dukkha.

Tidak seperti ciri keberadaan atau corak kehidupan yang lain seperti Anicca dan Anatta yang mudah diterima secara obyektif, Corak Penderitaan (Dukkha Lakkhana) ini sulit diterima begitu saja oleh manusia, karena secara obyektif sulit bagi kita memahami bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah menimbulkan penderitaan dan ketidak puasan.

Pandangan tentang Dukkha dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu:

1.  Dukkha-Dukkha, yaitu Dukkha sebagai penderitaan yang biasa atau Dukkha yang dialami manusia secara langsung pada fisiknya melalui panca indera dan pada perasaannya. Penderitaan pada kehidupan manusia seperti lahir, sakit, usia tua, berkumpul dengan orang yang tidak disenangi, tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan dan lain-lain termasuk dalam kelompok Dukkha ini. 
 
2. Viparinama-Dukkha, yaitu Dukkha sebagai akibat dari perubahan. Segala keadaan yang menyenangkan manusia adalah tidak kekal dan selalu berubah dari saat ke saat. Perubahan ini biasanya menimbulkan penderitaan atau kemurungan. 
 
3. Sankhara-Dukkha, yaitu Dukkha yang timbul akibat kondisi- kondisi yang selalu bergerak atau berubah-rubah. Dukkha inilah yang berhubungan dengan lima kelompok kemelekatan (Pancakkhandha).
 
(Lihat juga “ Tiga Bentuk Dukkha di halaman 80 s/d 88)

Dari kelima khandha tersebut. tidak satupun yang dapat dikatakan sebagai diri atau ciri dari suatu individu, tetapi apabila kelima khandha itu saling berhubungan dan bekerja sama, maka akan terasa seakan-akan ada suatu diri yang menjadi ciri dari suatu individu atau keadaan tertentu. Jelmaan yang terbentuk oleh kombinasi kelima khandha itulah yang tak lain merupakan Dukkha itu sendiri. Dukkha yang dimaksudkan disini memiliki arti yang lebih luas daripada hanya sekedar pengertian duka atau penderitaan secara umum  yaitu dukkha yang mencakup segala kefanaan, perubahan dan ketidak kekalan. Tidak ada suatu jelmaan atau diri yang berada di balik kelima khandha ini, tak ada suatu jelmaan atau diri yang mengalami Dukkha ini sebab pancakkhandha itu sendiri merupakan Dukkha dalam arti yang luas itu, dan di dalam Dukkha yang mempunyai arti yang luas inilah terdapat kehidupan, kehidupan yang tak lain merupakan perubahan itu sendiri. Dukkha, kehidupan dan perubahan sebenarnya bukanlah hal berbeda.

Di dalam pengertian Sankhara-Dukkha, ditekankan bahwa tidak ada suatu diri atau atta yang berada di balik Pancakkhandha ini yang akan merasakan Dukkha; bahwa Dukkha itu timbul akibat kondisi-kondisi yang tercakup di dalam kelima khandha yang selalu bergerak dan berubah-ubah , pula tidak ada sesuatupun yang berada di luar kondisi yang berubah-ubah tersebut  yang menggerakkan atau yang menyebabkan perubahan-perubahan itu; bahwa yang ada hanyalah perubahan-perubahan itu sendiri.


ANATTA ( Tiada Inti Diri )

“ Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti;
apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan,
Inilah jalan yang membawa pada kesucian .”
 
( Dhammapada XX ; 279 )

Anatta adalah kata bahasa Pali yang berasal dari awalan 'an' yang sering diterjemahkan sebagai tidak, bukan atau tiada. 'atta' berarti ‘inti’, ‘diri sejati’ ‘roh’ atau jiwa. Dalam bahasa Sanskerta disebut juga sebagai anatman. Jadi kata ”an-atta” berarti  ‘‘bukan diri sejati” atau dalam konteks penulisan ini , anatta akan diterjemahkan sebagai “Tiada inti diri” .

Kata atta mempunyai makna yang luas dan dapat ditemukan dalam bidang ilmu psikologi, filsafat, maupun peristilahan sehari-hari, contohnya, atta dapat berarti “diri”, “mahkluk”, “ego”, “jiwa”, “roh”, “aku” atau “kepribadian”. Namun sebelum membahas tentang apa itu atta, maka perlu melihat berbagai arti atta yang ditelaah dari sudut pandang Buddhis maupun non-Buddhis, agar kita dapat memahami dengan tepat, apa yang ditolak Sang Buddha ketika Beliau membabarkan doktrin anatta, yang mana Ia menolak keberadaan atta.

Definisi atta menurut non-Buddhis dan Buddhis

Definisi atta menurut non-Buddhis:
 
1) Dalam Abingdon Dictionary of Living Religions :
Sesuatu yang memberi kehidupan kepada suatu makhluk hidup; atau bagian atau dimensi dalam makhluk hidup, yang merupakan inti, tidak berbentuk; atau sesuatu yang tidak berbentuk namun menghidupkan; atau sesuatu yang tidak berbentuk namun menciptakan individu.

2) Dalam A Dictionary of Mind and Spirit oleh Donald Watson :
Jiwa dikenal dengan banyak nama: jiva (Jain), Atman (Hindu), Ruh (Islam), Monad, Ego, Diri, Diri yang lebih tinggi, sesuatu yang melebihi Diri, Diri yang tidak dapat dipahami, batin, atau bahkan pikiran.


Sedangkan definisi atta menurut Buddhis:
 
1) Dalam Buddhist Dictionary karya Nyanatiloka:
Segala sesuatu yang secara mutlak dipandang sebagai keberadaan diri, sosok ego, jiwa, atau substansi pokok yang bersifat kekal.
2) Dalam The Truth of Anatta oleh Dr. G.P.Malalasekera:
Atta adalah diri suatu keberadaan metafisik yang halus, jiwa. Berbagai definisi atta atau jiwa sebagai diri, ego, jiwa, atau pikiran, sejalan dengan bidang psikologi. Karena itu perlu juga melihat definisi atta dari sudut pandang ini.

Menurut Dictionary of Psychology, 'diri' adalah:
1.  Individu sebagai makhluk hidup;
2.  Ego atau aku;
3.  Kepribadian atau kumpulan sifat.

Definisi 'ego' adalah: diri, terutama gagasan seseorang akan dirinya sendiri. Definisi 'kepribadian' adalah kumpulan sistem psikofisik dalam individu yang bersifat dinamis dan menentukan cara berpikir dan perilaku seseorang atau sesuatu yang memberikan prakiraan apa yang akan dilakukan seseorang dalam menghadapi suatu situasi. Istilah-istilah psikologis itu bersesuaian dengan beberapa istilah yang dipakai dalam ajaran Buddha untuk menerangkan kehidupan konvensional makhluk hidup. Peristilahan itu berguna sebagai label, namun secara mutlak, label-label tersebut, seperti yang akan kita lihat, hanya sekedar nama yang semata-mata merupakan kebenaran ilusi.

Dalam bahasa Pali, ada istilah seperti satta, puggala, jiva, dan atta untuk menerangkan psikologi konvensional mengenai makhluk.

Satta, menurut Nyanatiloka, berarti makhluk hidup. Puggala berarti individu, orang, berikut padanannya: kepribadian, perangai, makhluk (satta), diri (atta). Jiva adalah kehidupan sesuatu yang vital/ jiwa.

Beberapa pengertian tentang Jiwa :

·       Dalam The International Dictionary of Religion : " Banyak agama mengajarkan bahwa manusia tersusun atas badan fisik yang bisa mati serta Inti yang tidak kasat mata dan kekal, yang merupakan jati diri atau Jiwa ".

Jiwa juga dipahami sebagai : " Segala sesuatu yang secara mutlak dipandang sebagai keberadaan diri, sosok ego, atau Substansi pokok yang bersifat kekal.”

Dalam kitab kuno India milik kaum Brahman / Hindu, yaitu kitab Upanishad, dikatakan bahwa sesuatu yang disebut " Jiwa ", " Inti Diri ", " Roh ", Harus memiliki kuasa untuk memerintah. Jiwa tidak menerima perintah dari penguasa lain, Jiwa adalah Penguasa Tertinggi yang menjadi tuan atas dirinya sendiri. Jiwa berbeda dengan diri kita, namun tinggal didalam diri kita.

Arti lain atta adalah jiwa, suatu sosok rohaniah di dalam semua orang, jiwa, yang disebut atman dalam kitab-kitab Hindu, adalah diri individual dan identik dengan diri Universal, Makhluk tertinggi, yang disebut Brahman.

Atman tinggal dalam setiap makhluk hidup. Seperti Brahman, atman adalah kekal. Saat tubuh mati, atman berpindah dan menempati tubuh lain sebagai rumah barunya. Dengan cara ini, atman berpindah dari satu tubuh ke tubuh lainnya, meninggalkan tubuh lama yang telah usang dan menempati tubuh baru.

Atta mempunyai makna yang luas, yang dibahas dalam 2 kitab terkemuka Hindu yaitu Upanishad dan Bahagavad Gita. Dalam ajaran Buddha berbagai pandangan tentang Atta dapat ditemukan dalam Brahmajala Sutta.  Atta adalah inti dalam segala sesuatu, gagasan tentang atta sebagai inti dari segala sesuatu ditemukan dalam Chandogya dan Brihadaranyaka Upanishad.

Beberapa pemakaian istilah atta juga ada dalam bidang psikologi. Menurut Dr. Malalasekera, atta dapat berarti, diri seseorang, misalnya attahitaya patipanno no parahitaya (berbuat menurut diri sendiri, bukan menurut orang lain) atau attanava akatam sadhu (apa yang dilakukan oleh diri sendiri adalah baik). Atta dapat pula bermakna diri sendiri, kepribadian, termasuk tubuh dan pikiran, seperti dalam attabhava (kehidupan), attapatilabha (kelahiran dalam beberapa bentuk kehidupan).

Ketika mengulas mengenai istilah satta, Nyanatiloka menambahkan, Istilah ini, sama seperti atta, puggala, jiva dan istilah lainnya yang berkenaan dengan 'ego', dianggap sebagai sekedar istilah konvensional (voharavacana) pada umumnya, dan sama sekali tidak mempunyai makna kebenaran.

Dalam pengertian kebenaran mutlak, Sang Buddha menolak konsep psikologi dan agama mengenai segala macam 'diri' atau 'jiwa'. Tetapi kita bisa memakai istilah seperti 'diri' dan 'ego' untuk menggambarkan hal tertentu dari kelima khandha (agregat atau kelompok) yang menampilkan penampakan semu suatu individu. Seperti yang dikatakan Arahat Vajira yang hidup semasa kehidupan Sang Buddha:

“Bilamana semua bagian penyusun ada, Kita menyebutnya sebagai 'pedati'; Demikian pula, di mana kelima kelompok ada, Kita menyebutnya sebagai 'makhluk hidup' ”.

Doktrin anatta diajarkan oleh Sang Buddha dari sudut pandang seseorang yang telah mencapai Pencerahan Sempurna, pandangan yang melihat bahwa segala sesuatu adalah anatta.

Sabbe dhamma anatta berarti segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur, dan juga sesuatu yang tidak berkondisi merupakan sesuatu yang tidak memiliki inti/’jiwa’ dan  bukan diri yang sejati.

Fenomena sebagai ketidakkekalan dan tanpa-Aku

Secara umum dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak terlepas dari kata “Aku”, Kamu, Kami, Kita atau Milikku, Milikmu, Milik kita dsb. Pembedaan semacam itu diperlukan untuk menggambarkan keberadaan suatu “individu”, “label”, kesepakatan bahasa sebagai sarana bantu pemahaman dan komunikasi serta untuk membedakan seseorang dengan lainnya.

Sebagai contoh , seseorang bertanya kepada kita : “ Rumah ini milik siapa ya?”
Kita pasti menjawab : “ o..rumah itu milikku “, atau “ rumah itu Milik si A”...

Hal ini umum dan wajar-wajar saja diucapkan oleh setiap orang dalam berkomunikasi sehari-hari, bayangkan saja , apa jadinya kalau kita tidak boleh menggunakan lagi istilah “aku” dalam berkomunikasi ? pasti banyak hal-hal yang lucu dan ribet akan terjadi !

Ajaran Buddha tidak berkeberatan untuk memakai kata atta, satta, atau puggala untuk menggambarkan individu sebagai suatu kesatuan atau untuk membedakan seseorang dengan lainnya. Bahkan Sang Buddha terkadang memakai istilah-istilah tersebut :

“Ini adalah pemakaian duniawi, istilah percakapan duniawi, uraian duniawi, dengannya Sang Tathagata berkomunikasi tanpa menyalah-artikannya “.
(Digha Nikaya I : 195) .

Beberapa orang telah salah memahami mengenai ajaran anatta dengan beranggapan bahwa tidak ada diri, tidak ada yang namanya orang/person (puggala), anggapan ini keliru. Sang Buddha sebenarnya tidak pernah menyatakan bahwa tidak ada suatu jiwa atau atta di alam semesta ini.   

Yang sering ditekankan oleh Sang Buddha adalah bahwa tak ada satu benda atau bentuk  yang khusus yang dapat dikatakan memiliki diri atau jiwa yang kekal. Beliau mengajarkan bahwa ada yang disebut dengan diri atau orang/person (puggala), tetapi diri atau orang/person (puggala) tersebut bukanlah benar-benar inti atau jati diri dari diri atau orang (person) tersebut, melainkan hanyalah merupakan perpaduan dari unsur-unsur fisik dan mental , yang membuatnya ada atau eksis , yang setiap saat mengalami perubahan dan berada dalam keadaan dukkha. Karena perpaduan unsur-unsur inilah diri seseorang terbentuk. Dan karena segala sesuatu yang terbentuk dari perpaduan unsur-unsur pasti mengalami perubahan, maka diri seseorang pun mengalami perubahan, penguraian, yang akhirnya eksistensi dari diri seseorang tidak lagi ada atau eksis. Inilah mengapa dikatakan tidak memiliki inti atau Tiada inti diri.

Manusia percaya bahwa ada sesuatu yang kekal di dalam dirinya. Sesuatu yang kekal ini diberi berbagai nama : Atta, Jiwa, Diri, Ego, Aku, Pribadi, Roh dan sebagainya.

Sang Buddha mengatakan; bahwa apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang kekal, semata-mata merupakan gabungan dari kelompok-kelompok energi batin-jasmani ( Pancakkhandha ) yang senantiasa berubah.

Badan jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran adalah lima khandha, yang semuanya tidak memiliki inti diri yang kekal.Bila khandha itu memiliki atta, maka ia dapat berubah sekehendak atta itu dan tidak akan menderita, karena semua keinginannya dapat dipenuhi misalnya, "Semoga khandha-ku begini dan begitu." Tetapi, karena khandha itu anatta, maka ia tidak dapat berubah sekehendak atta itu dan oleh sebab itu menderita, karena semua kehendak dan keinginannya tak dapat dipenuhi. Misalnya, " Semoga khandha-ku begini dan bukan begitu."
( Vin. Mv. Kh. 1 ; cf. S. 22 : 59 ).

Di zaman Buddha, para guru non-Buddhis berusaha mengidentifikasikan dan memisahkan "Aku Sejati"(Pali : atta , Skt : atman) seseorang. Apa yang dimaksud dengan atman adalah entitas kekal dalam diri manusia yang tidak berubah, sumber kebahagiaan sejati dan "pengendali bagian dalam" terhadap tindakan atau apa yang dilakukan manusia. Menurut ajaran Brahmanisme, atman ini dilihat sebagai "aku" universal yang identik dengan Brahman, sedangkan di Jainisme,  ia dilihat sebagai "prinsip kehidupan" (jiva) individu. Buddha memberikan argumentasi bahwa segala sesuatu mengalami perubahan. Lebih lanjut, Beliau mengatakan bahwa apa pun yang tidak berdiri sendiri dan tidak bisa dikendalikan secara penuh oleh keinginan seseorang, tidak dapat dianggap sebagai "Aku Sejati." Lagi pula, menganggap sesuatu yang bukan "aku" sebagai "aku," akan mengakibatkan timbulnya penderitaan. lni terjadi ketika apa yang dianggap orang awam sebagai "aku" yang kekal mengalami perubahan yang bertentangan dengan keinginan dan harapannya.

Sebagai contoh, proses penuaan yang dialami seseorang. Proses semacam ini, yakni rambut menjadi putih, kulit menjadi keriput, mata menjadi rabun, tubuh menjadi lemah, dan lain sebagainya, jelas hal-hal semacam itu tidak diinginkan atau didambakan oleh seorangpun. Tetapi siapakah yang dapat mencegahnya? Lalu jika demikian dapatkah kita menganggap tubuh ini sebagai "aku" atau "milikku"?
 

Dalam Majjhima Nikaya 35, terdapat kisah mengenai seorang pertapa terpelajar yang sangat terkenal, bernama Saccaka. Pada suatu hari ia mendengar bahwa Sang Buddha mengajarkan doktrin Anatta. Karena dia adalah seorang ahli debat yang sangat piawai, dia memutuskan untuk mendatangi dan meyakinkan Sang Buddha bahwa doktrin anatta adalah salah. Saccaka sangatlah percaya diri; dia menyatakan bahwa bila ia berdebat melawan sebuah tiang yang tanpa akal, maka tiang tersebut akan terguncang , menggigil, gemetar dan berkeringat. Dia menyatakan bahwa ibarat orang kuat yang dapat dengan mudah merenggut seekor kambing dan menyeretnya kesana kemari, maka dia akan dengan mudah mengalahkan Sang Buddha dalam perdebatan.

 Saccaka dan para pengikutnya mendatangi Sang Buddha. Setelah bertukar salam, Saccaka meminta Sang Buddha untuk menjelaskan doktrin-doktrin yang diajarkanNya. Sang Buddha menjawab bahwa ia mengajar Anatta. Saccaka ber-argumentasi ; bahwasanya seseorang mempunyai bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan mental, dan kesadaran sebagai diri (atta) dan berdasar atas atta itu dia menghasilkan jasa kebajikan atau perbuatan buruk...

 Sang Buddha bertanya kembali kepada Saccaka:" Saccaka, apakah engkau menyatakan bahwa bentuk materi (Jasmani) adalah diriku?, perasaan adalah diriku?, persepsi (Pencerapan) adalah diriku?, bentukan-bentukan (Bentukan mental) adalah diriku?, kesadaran adalah diriku ?."

" Saya menyatakan demikian, guru Gotama ", jawab Saccaka.

" Bagaimana pendapatmu , Saccaka ?, Ketika engkau mengatakan demikian: Bentuk materi adalah diriku,. apakah engkau mempunyai kekuasaan atas bentuk materi tersebut dengan berkata : " biarlah bentukku seperti ini; biarlah bentukku tidak seperti ini ". Ketika hal ini dikatakan oleh Sang Buddha, Saccaka putra Nigantha-pun terdiam.

 Untuk kedua kalinya Sang buddha mengajukan pertanyaan yang sama, dan untuk kedua kalinya Saccaka terdiam.

 Untuk ketiga kalinya Sang Buddha mengajukan pertanyaan yang sama, dan karena merasa telah tersudut oleh pernyataannya sendiri, butir-butir keringat mulai membasahi dahinya, Saccaka-pun akhirnya menjawab : "Tidak Guru Gotama ." 

" Perhatikan, Saccaka, perhatikan bagaimana engkau menjawab, apa yang telah engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya"...., ketika engkau mengatakan bahwa ;"Perasaan adalah diriku","Persepsi adalah diriku", "Bentukan-bentukan adalah diriku", "Kesadaran adalah diriku", apakah engkau mempunyai kekuasaan atas semuanya itu ?"

“Tidak Guru Gotama ." jawab Saccaka.

" Bagaimana pendapatmu,Saccaka, apakah lima khandha itu kekal atau tidak kekal ?."

" Tidak kekal Guru Gotama ."

" Sesuatu yang tidak kekal itu, merupakan penderitaan atau kebahagiaan, Saccaka ? "

“ Penderitaan Guru Gotama."

" Sesuatu yang tidak kekal, penderitaan, dan terkena perubahan itu, apakah tepat untuk dianggap demikian : " Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku ?"

"Tidak, Guru Gotama."

 Ketika Dhamma telah dibabarkan oleh Sang Buddha, Saccaka hanya duduk terdiam, cemas, dengan bahu yang lunglai dan kepala tertunduk , tanpa tanggapan lagi.

"Guru Gotama, tadi kami sungguh nekad dan tidak sopan, karena berpikir bahwa kami dapat menyerang Guru Gotama dalam perdebatan..., Sudilah Yang Terberkahi bersama dengan Sangha para Bhikkhu bersedia menerima dana makanan esok hari dari saya.? Sang Buddha menyetujui dengan berdiam diri.

Disini dapat kita lihat Sang Buddha mematahkan argumentasi tentang beberapa karakteristik yang dikaitkan dengan atta. Jika Saccaka memiliki atta, dia dapat memerintah atta untuk mengerahkan kekuasaannnya untuk mengubah penampakannya, karena atta identik dengan Brahman, sang penguasa tertinggi, yang tak terbatas, pencipta yang maha kuasa dan sumber segala sesuatu, seperti tercantum dalam Bhagavad Gita.

Namun, menurut Sang Buddha, yang ada hanyalah kelima khandha, dan mereka bukanlah atta karena mereka terikat oleh hukum-hukum kefanaan, tidak memuaskan dan tiada inti diri. Rupa (bentuk materi) bukanlah atta, bukan tuan dan pemerintah dirinya sendiri, serta terikat pada kesengsaraan. Khandha lainnya (perasaan, pencerapan, bentukan mental dan kesadaran) juga terikat pada hukum yang sama.

 

Ajaran mengenai anatta atau "tanpa-aku" ini tidak hanya bertujuan meruntuhkan konsep "aku" yang dianut oleh Brahmanisme atau Jainisme, tetapi juga konsep umum yang telah lama dipegang orang awam pada umumnya dan perasaan-perasaan mendalam mengenai adanya sang "aku."

Bila kita masih merasakan adanya bagian dari diri kita yang tidak pernah atau belum berubah semenjak kanak-kanak hingga dewasa, maka itu berarti kita masih memiliki kepercayaan tentang "aku" yang kekal. Merasa bahwa diri kita tidak akan pernah mati, adalah pandangan bahwa seolah-olah kita memiliki "aku."

Mengaitkan fenomena pengalaman mental seperti misalnya dengan mengatakan: "Saya merasa cemas…,  gembira… , marah…", adalah juga merupakan keyakinan akan adanya sang "aku." Melakukan identifikasi dengan tubuh, gagasan, dan tindakan seseorang, dan lain-lain, adalah mencerap semuanya itu sebagai bagian dari sang "aku".

 

Ajaran "Anatta" pada intinya adalah ajaran praktis yang ditujukan untuk menaklukkan kemelekatan. Sang Buddha menekankan bahwa semua fenomena yang benar-benar kita pandang sebagai "Aku", seharusnya diamati dan dianalisa secara seksama untuk menyadari kesalahan serta ketidak-benaran pandangan atau anggapan semacam itu. Sebagai hasil dari pengamatan tersebut, seorang akhirnya berkembang secara spiritual dan melihat segala sesuatu, semua dhamma, sebagai "tanpa-aku," dan karenanya menghancurkan semua kemelekatan serta mencapai Nibbana.


Dalam proses pelatihan spritual ini, tidaklah perlu mengemukakan suatu "penolakan" filosofis terhadap keberadaan sang "aku," karena konsep "aku" dengan sendirinya akan menghilang perlahan-lahan. Buddhisme memandang tidak perlu merumuskan keberadaan "aku" permanen, melainkan menjelaskan fenomena fungsi kepribadian, dalam kehidupan dan dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya, dalam konteks suatu aliran proses yang senantiasa berubah dan berkondisi. Kelahiran kembali tidak mengharuskan adanya suatu "aku" permanen atau "aku" yang substansial, tetapi justru kepercayaan tentang adanya sang "aku" itulah yang merupakan salah satu musabab terjadinya kelahiran kembali.

Mengapa segala fenomena tidak ada inti atau bukan diri sejati? 
 
Di dalam Anattalakkhana Sutta; Samyutta Nikaya 22.59 {S 3.66}, Sang Buddha menjelaskan bahwa Rupa (jasmani), Vendana (perasaan), Sanna (pencerapan),  Sankhara (pikiran) dan Vinnana (kesadaran) disebut sebagai Panca Khandha (lima kelompok kehidupan/kemelekatan) yang semuanya bukanlah diri sejati.  Jika Khandha itu merupakan diri sejati, maka tidak akan mengalami penderitaan, dan semua keinginan seseorang akan khandha-nya akan terpenuhi,”Biarkan Khandha-ku seperti ini dan bukan seperti itu”. Tetapi karena khandha tidak dapat dikendalikan sesuai dengan keinginan atau harapan seseorang, “Biarkan Khandha-ku seperti ini dan bukan seperti itu”, dan juga mengalami penderitaan, maka dikatakan bahwa khandha bukanlah diri sejati.

Kontroversi mengenai doktrin anatta sepertinya didasari oleh rasa takut yang mendalam terhadap penolakan adanya jiwa. Manusia pada umumnya sangat melekat pada hidupnya, sehingga mereka cenderung untuk mempercayai adanya sesuatu yang bersifat tetap, kekal, abadi di dalam dirinya. Bila ada orang yang mengatakan bahwa tiada sesuatu pun yang kekal dalam diri mereka, tidak ada semacam jiwa dalam diri mereka yang akan berlangsung selamanya,mereka akan merasa ketakutan.

Mereka bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan mereka di masa mendatang mereka takut jadi musnah! Sang Buddha memahami hal ini, seperti yang dapat kita lihat dalam cerita tentang Vacchagotta, yang seperti orang pada umumnya, takut dan bingung terhadap doktrin anatta.

Vacchagotta adalah seorang pertapa yang pada suatu hari mengunjungi Sang Buddha untuk menanyakan beberapa hal penting. Dia bertanya kepada Sang Buddha, Apakah atta itu ada? Sang Buddha diam. Kemudian, dia bertanya kembali, Apakah atta itu tidak ada? Namun Sang Buddha tetap diam. Setelah Vacchagotta berlalu, Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda, mengapa Ia telah bersikap diam. Sang Buddha menjelaskan bahwa Ia mengetahui Vacchagotta sedang mengalami kebingungan tentang atta, dan jika Ia menjawab bahwa atta itu ada, berarti Ia mengajarkan paham eternalistik, teori jiwa yang kekal, yang tidak Ia setujui. Namun, bila Ia menjawab bahwa atta itu tiada, maka Vacchagotta akan berpikir Sang Buddha mengajarkan paham nihilistik, paham yang mengajarkan bahwa makhluk hidup hanyalah suatu organisme batin-jasmani yang akan musnah total setelah kematian.

Sang Buddha tidak setuju dengan paham nihilistik karena paham ini tidak sesuai dengan kamma, tumimbal lahir, dan hukum sebab-akibat yang saling bergantungan (paticcasamuppada). Sebaliknya Sang Buddha mengajarkan bahwa manusia terlahir kembali dengan patisandhi, kesadaran yang berkesinambungan, kesadaran tumimbal lahir yang tidak berpindah dari kehidupan sebelumnya, melainkan timbul karena adanya berbagai kondisi dari kehidupan sebelumnya, misalnya kondisi seperti kamma. Jadi orang yang terlahir kembali bukanlah orang  yang sama dengan yang telah meninggal, namun juga bukan orang yang sepenuhnya berbeda dengan yang telah meninggal. Yang paling penting, dalam ajaran Buddha tidak dikenal adanya tubuh metafisik, jiwa, atau roh yang sama yang berlanjut dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya.

Namun ajaran ini terlalu sulit bagi Vacchagotta, dan Sang Buddha ingin menunggu sampai Vacchagotta telah matang secara intelektual. Sang Buddha bukanlah seperti komputer yang akan menjawab setiap pertanyaan secara otomatis. Demi kebaikan para penanya, Ia mengajar sesuai dengan kesiapan dan perangai seseorang. Cerita selanjutnya, melalui meditasi Vipassana, Vacchagotta mampu mencapai kematangan spiritual, memahami sifat segala sesuatu yang tidak memuaskan, fana, dan tiada inti diri; dan akhirnya dia menjadi seorang Arahat.

Secara lebih umum, dapat dikatakan bahwa hanya ada dua kelompok fenomena dalam kehidupan ini, yaitu nama dan rupa. Selain keduanya, tidak ada apa pun yang dapat kita sebut atta. Satu-satunya hal yang ada selain alam nama dan rupa adalah yang tak terkondisi (asankhata), Nibbana, Kebenaran Mutlak, namun bahkan Nibbana pun bersifat anatta.

Sifat kefanaan (Anicca - ketidakkekalan)
 
Tersamarkan oleh kesinambungan. Jika kita melihat nyala sebuah lilin, kita akan berpikir bahwa nyala tersebut sama dari waktu ke waktu. Padahal, nyala lilin itu secara terus-menerus lenyap dan muncul lagi setiap saat. Kita melihat ilusi satu nyala yang sama karena gagasan dan penampakan yang berkesinambungan.

Sifat tidak memuaskan (Dukkha - penderitaan)
 
Tersamarkan oleh perubahan posisi tubuh. Ketika kita duduk dan merasa tidak nyaman, kita mengubah posisi dan merasa nyaman kembali. Sesungguhnya, kita selalu mengubah posisi setiap saat dalam hidup kita, tetapi kita tidak menyadarinya. Setiap saat rasa tidak nyaman muncul, kita segera mengubah posisi tubuh kita.

Sifat tiada inti diri (Anatta)
 
Tersamarkan oleh persepsi bahwa segala sesuatu adalah berbentuk dan solid. Kita melihat segala benda dan diri kita sendiri sebagai sesuatu yang solid dan berbentuk. Kita tidak akan memahami sifat segala sesuatu yang sejati- tiada inti diri- jika kita tidak mengetahui bahwa persepsi ini salah.

Sifat Anatta tidak hanya berlaku untuk bentuk dan keadaan yang tercakup dalam Panca Khandha melainkan merupakan sifat dari seluruh keadaan, bentuk atau jelmaan dari yang sangat halus sampai yang maha besar. Tidak ada Atta atau diri yang kekal baik di dalam suatu individu ataupun dalam bentuk semesta yang lebih besar. Yang ada hanyalah diri atau sifat vang sementara, yang senantiasa berubah dari saat ke saat. Suatu saat akan terbentuk diri dari suatu individu; di saat lain diri itu mungkin terurai menjadi diri-diri unsur-unsur pembentuknya yang juga terbentuk dari unsur-unsur lainnya yang memiliki diri masing-masing yang juga tidak kekal dan senantiasa berubah; bisa pula di saat lain diri suatu individu itu bersatu dengan diri dari individu-individu yang lain membentuk suatu organisasi dengan diri atau ciri yang lain pula yang juga tidak kekal dan senantiasa berubah.

Selain ajaran Anatta yang diajarkan oleh Guru Buddha, di dunia ini terdapat 2 ajaran atau paham lain yang terdapat dalam kepercayaan lain, yaitu:

1. Attavada, yaitu paham atau ajaran yang menyatakan bahwa terdapat atta atau inti atau diri sejati yang tidak mengalami perubahan, yang ada sepanjang masa atau abadi meskipun melalui tahap kelahiran kembali. Paham ini juga disebut sebagai paham Eternalisme (paham ini tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).

2. Ucchedavada, yaitu paham atau ajaran yang menyatakan bahwa sama sekali tidak terdapat atta atau diri, dimana ketika mati maka semuanya akan turut lenyap, tidak membentuk apapun lagi, tidak mengalami kelahiran kembali. Paham ini juga disebut sebagai paham Nihilisme (paham ini tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).
  

Secara matematika paham-paham tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

A. Paham Eternalisme (Attavada) :
Adalah paham adanya Roh kekal yang berpindah-pindah ke tubuh baru (Paham Reinkarnasi).
1. A+P = A+P
2. (A+P) + P1 = A+P+P1
3. (A+P+P1)+P2 = A+P+P1+P2
4. (A+P+P1+P2)+P3+ Pn = A+P+P1+P2+P3+Pn

B. Paham Nihilisme ( Ucchedavada) :
Adalah paham setelah kematian semuanya ikut lenyap/musnah.
 
1. A+P = Nihil

C. Paham Anatta :
Adalah paham Tiada inti diri yang kekal.(Setelah kematian, ‘patisandhi-vinnana’ yang telah dipengaruhi oleh Kumulatif kammamya melanjutkan kehidupannya di alam mana ia dilahirkan kembali)
 
1. A+P = B
2. B+P1 = C
3. C+P2 = D

Keterangan :
A: adalah Atta/Atma atau Roh
P: adalah Pengalaman hidup
P1, P2, P3...: adalah Pengalaman hidup pada Kehidupan ke 1, ke 2, ke 3 dst......

Pada penjabaran dibawah ini akan tampak dengan jelas bahwa paham anatta tsb. menganut pada “Hukum Perubahan” / tidak ada inti diri yang kekal .

1. Roh + Pengalaman hidup = setelah kematian, terlahir kembali   sebagai B.
2. B + Kehidupan ke 1 = setelah kematian, terlahir kembali sebagai C
3. C + Kehidupan ke 2 = setelah kematian, terlahir kembali sebagai D
dst......

Beberapa contoh nyata mengenai ajaran Anatta.

Ketika kita melihat sebuah sofa maka kita akan melihatnya sebagai hal yang biasa dan menyebutnya sebagai sofa. Tetapi ketika sofa yang terbuat dari kayu, busa, kain, lem, tenaga manusia, dan sebagainya itu kita uraikan, kita pisah-pisahkan, kita bongkar, maka yang kita lihat sekarang hanyalah beberapa potong kayu bekas, kain, busa dan sebagainya yang tidak mungkin sama dengan bahan awal pembuat sofa. Kita hanya menyebutnya sebagai sisa sofa, kain bekas sofa, kayu bekas sofa, dan sebagainya. Kita tidak akan melihat lagi sofa tadi.

Ketika kita membuat roti. Roti dibuat dengan memakai tepung, ragi, gula, garam, mentega, susu, air, api, tenaga kerja dan lain-lain Tetapi setelah menjadi roti tidak mungkin kita akan menunjuk satu bagian tertentu dan mengatakan: ini adalah tepungnya, ini garamnya, ini menteganya, ini airnya, ini apinya, ini tenaga kerjanya dst. Karena setelah bahan-bahan itu diaduk menjadi satu dan dibakar di oven, maka bahan-bahan itu telah berubah sama sekali. Meskipun roti itu terdiri dari bahan-bahan yang tersebut di atas, namun setelah melalui proses pembuatan dan pembakaran di oven telah menjadi sesuatu yang baru sama sekali dan tidak mungkin lagi untuk mengembalikannya dalam bentuknya yang semula.

Jika kita dihadapkan dengan benda-benda seperti Ban, jok, pedal, kanvas rem, lampu, kabel-kabel, skrup, accu, seker, kabel kopling, shock beker, rangkaian mesin, dynamo , stang stir, dsb., Dapatkah kita  mengatakan itu adalah sebuah Sepeda Motor? Tentu saja Tidak !. Namun setelah keseluruhan benda-benda itu dirangkai menjadi satu, barulah kita dapat mengatakannya; " Oh...itu adalah Sepeda Motor ! "

Jadi apa yang dilihat dan yang kita namakan sebagai Sepeda motor sebenarnya hanyalah gabungan dari unsur-unsur pembentuk, sepeda motor itu pada hakikatnya " Tidak memiliki inti " atau " tidak ada satupun dari spare-parts tersebut yang dapat disebut sebagai  sepeda motor " sebelum semua unsur-unsur pembentuknya disatu-padukan.

Demikian pula dengan segala hal, termasuk diri kita, pada dasarnya adalah perpaduan dari berbagai unsur yang masing-masing bersifat tidak kekal. Jika unsur-unsur pembentuknya dipisah-pisah maka hal tersebut akan menjadi tiada, Kosong. Karenanya, tidak ada yang disebut dengan diri yang hakiki, yang independen, baik itu diri kita maupun diri lainnya (segala mahluk, benda, maupun hal-hal fenomenal lainnya).

Pemahaman ajaran anatta ini dapat juga dianalisa dan direnungkan dalam ajaran mengenai Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada).
 
 

oooOOooo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

" NAMA-NAMA BUDDHIS "

“大悲咒 | Ta Pei Cou (Mahakaruna Dharani) & UM-MANI-PAD-ME-HUM”

“ Fangshen cara membayar Hutang Karma Buruk dengan cepat dan Instan “