Tilakkhana atau Tiga Corak Umum atau kadang disebut Tiga Corak Kehidupan yaitu anicca [TIDAK KEKAL-ABADI-SELALU BER UBAH2], dukkha [MEMBAWA PENDERITAAN LAHIR BATIN]dananatta [TANPA DIRI-AKU-EGO-KOSONG],
merupakan tiga corak umum yang ada di setiap segala sesuatu atau
fenomena yang terbentuk dari perpaduan unsur (berkondisi) yang ada di
alam semesta ini, termasuk makhluk hidup. Ciri ini merupakan salah satu
bentuk dari Hukum Kebenaran Mutlak (Paramatha-sacca) karena berlaku dimana saja dan kapan saja. Oleh karena itu, Tilakkhana merupakan corak yang universal.
Tilakkhana ( 3 sifat universal) :
· Sabbe Sankhara Anicca
· Sabbe Sankhara Dukkha
· Sabbe Dhamma Anatta
Sang Buddha pernah bersabda:
"Para Bhikkhu, walau dengan hadirnya Sang Tatthagata
atau tanpa hadirnya seorang Tatthagatha,
tetaplah berlaku suatu hukum,
suatu kesunyataan yang mutlak
bahwa segala sesuatu yang terbentuk adalah tidak kekal,...
tidak memuaskan,...dan tanpa inti ...."
(Angutara Nikaya, Yodhajiva-Vagga, 124)
ANICCA ( Perubahan/Ketidak kekalan )
“ Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya.
Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini;
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah jalan yang membawa pada kesucian.”
( Dhammapada XX ; 277 )
"Adalah tidak kekal segala sesuatu yang terbentuk,
segalanya muncul dan lenyap kembali.
Mereka muncul dan kembali terurai.
Kebahagiaan tercapai bila segalanya telah harmonis."
(Digha-Nikaya, Mahaparinibbana Sutta)
Satu
kata yang sederhana ini, Anicca (ketidakkekalan), merupakan inti dari
ajaran Buddha. Makhluk hidup juga ditandai dua sifat kehidupan lain,
penderitaan (dukkha) dan tanpa inti (anatta).
Anicca berasal dari kata “an” yang merupakan bentuk negatif atau sering diterjemahkan sebagai tidak atau bukan. Dan “nicca” yang berarti tetap, selalu ada, kekal, abadi. Jadi kata ”an-nicca” berarti tidak tetap, tidak selalu ada, tidak kekal, tidak abadi, berubah. Dalam bahasa Sanskerta disebut juga sebagai anitya.
Sabbe sankhara anicca
berarti segala sesuatu yang berkondisi (terbentuk dari perpaduan unsur)
akan mengalami perubahan (tidak kekal). ( Majjhima Nikaya I : 228)
Anicca (Ketidak-kekalan)
merupakan suatu fakta yang bersifat Universal. Hal ini berlaku bagi
manusia, gagasan, pemikiran dan perasaan, bagi hewan, tanaman, gunung,
sungai atau segala sesuatu yang mungkin bisa kita beri nama.
Ketidak-kekalan adalah suatu fakta yang tak terhindarkan. Segala
sesuatunya mengalami perubahan yang konstan dari waktu ke waktu, seperti
halnya suatu proses, kehamilan berlanjut ke proses kelahiran, bayi
tumbuh menjadi anak-anak, anak-anak tumbuh mejadi remaja, remaja tumbuh
menjadi dewasa, lalu menjadi tua dan mati.
Semua
fenomena yang ada didalam alam semesta ini selalu mengalami perubahan
yang tak putus-putusnya, selalu dalam keadaan bergerak dan mengalami
proses, yaitu: Uppada (timbul), kemudian Thiti (berlangsung), dan kemudian Bhanga
(berakhir/lenyap). Tidak ada sesuatupun yang tetap sama selama dua saat
yang berturut-turut walaupun dalam perbedaan detik. Hukum anicca
bersifat netral dan tidak memihak. Karena segala sesuatu merupakan hasil
dari sebab-sebab dan kondisi yang berubah, maka segala sesuatu juga
terus-menerus berubah.
Kita
tidak dapat mengatakan bahwa barang apa pun, hidup atau mati, organic
atau anorganik, “ini adalah abadi.“ Bahkan sementara kita sedang
membicarakannya, perubahan itu pun sedang berlangsung. Semua ini berlalu
dengan cepat : keindahan bunga, kicau burung, dengungan lebah, dan
keagungan matahari yang terbenam.
“Misalkan
engkau sedang memandang indahnya matahari yang terbenam. Seluruh langit
di sebelah barat memancarkan cahaya yang berwarna merah : tetapi engkau
sadar bahwa dalam setengah jam semua warna yang cerah ini berangsur –
angsur akan hilang dari hadapan matamu, walaupun matamu tidak dapat
mengenali sebelumnya kesimpulan yang beralasan itu. Dan apakah
kesimpulannya ? Kesimpulannya adalah engkau tidak pernah dapat
menyebutkan ataupun membayangkan, melihat suatu warna yang kekal, warna
apapun yang sebenarnya bahkan untuk waktu yang paling singkat. Dalam
perjutaan detik seluruh keagungan dari langit yang terlukis mengalami
rangkaian perubahan yang tak terhitung banyaknya. Satu perubahan
digantikan dengan yang lain dengan kecepatan yang membuat semua
pengukuran tertinggal, karena proses itu tidak dapat diukur….. akal
sehat menolak untuk menahan periode tertentu dari pemandangan yang
berlalu itu, atau untuk mengungkapkan begitu, karena kalaupun ada yang
berusaha, seketika hal itu sudah tiada. Ini merupakan rangkaian
perubahan warna yang cepat, tiada satu pun darinya tetap ada, karena
semuanya secara terus menerus lenyap menjadi yang lain. “
Semua
paduan unsur, yaitu segala sesuatu yang timbul sebagai akibat dari
suatu sebab, dan yang pada gilirannya kemudian menimbulkan akibat, dapat
dinyatakan dalam satu kata anicca, ketidakkekalan. Oleh karena itu,
semua sifat hanyalah merupakan variasi yang terbentuk dari paduan
ketidakkekalan, penderitaan ( ketidakpuasan ), dan tanpa diri atau inti :
anicca, dukkha dan anatta.
Realitas
alam semesta ini bukanlah merupakan suatu kolam yang tenang, akan
tetapi merupakan suatu arus/ aliran yang mengalir deras. Tidak ada suatu
makhluk yang tetap, tetapi yang ada hanyalah segala sesuatu yang timbul
dan tenggelam.
Pembentukan (uppada) dan Penghancuran (nirodha) yang berlangsung terus-menerus, yang tidak berhenti walau sekejappun. dapat digambarkan seperti sebuah gelombang.
Sebuah
gelombang terbentuk naik, kemudian turun dan tenggelam, menimbulkan
gelombang lain yang menyusul timbul. kemudian tenggelam pula,
demikianlah seterusnya tidak henti-hentinya. Timbulnya sebuah gelombang
bergantung kepadda tenggelamnya gelombang yang mendahuluinya, dan
tenggelamnya sebuah gelombang menimbulkan gelombang lain pula yang
menyusulnya. Demikianlah arus ini mengalir terus tidak putus-putusnya.
Perhatikanlah
setangkai bunga, akan tertampak waktu kuncupnya, disusul oleh mekarnya,
setelah mekar mencapai puncak kemegahannya, akan menjadi layu, busuk,
kering dan akhirnya lenyap.
Semua sankhara (paduan unsur)
memperlihatkan sifat-sifat demikian :
“ Timbul, berlangsung, lenyap”.
Fajar
menyingsing dan bumi mulai terang, pada jam 12.00 tengah hari matahari
mencapai puncaknya, setelah lewat jam 12.00 matahari mulai condong ke
barat dan bumi mulai teduh, disusul oleh senja yang berubah menjadi
malam. Segala sesuatu di alam semesta ini mengalami proses perubahan,
tetapi kita tidak menyadarinya, Mengapa?
Oleh karena:
1. Perhatian kita tidak ditujukan kepada proses perubahan itu.
2. Proses tersebut ada yang berjalan sangat cepat, seperti arus sungai dan bentuk-bentuk pikiran.
3. atau proses tersebut berlangsung sangat perlahan, antara lain: batu, gunung dan bumipun tidak terlepas dari proses tersebut.
Proses perubahan itu dinamakan Anicca atau ketidak kekalan.
Ketidak
kekalan yang diajarkan dalam agama Buddha ini bukanlah suatu yang
direka-reka atau yang dibuat-buat, akan tetapi merupakan kenyataan,
fakta, yang dirasakan dan dialami dengan jelas sekali dalam kehidupan
kita sehari-hari.
Dalam kitab Abhidhamma-manavibhasa-sastra mengatakan bahwa : “ Selama 24 jam terdapat 6.400.099.988 Kshana atau Saat ; sedangkan lima kelompok kehidupan (pancakkhandha) manusia berproses terus-menerus terbentuk dan lenyap kembali dalam tiap-tiap Kshana.”
Disebutkan
di dalam kitab suci Tipitaka bahwa, bilamana seorang siswa telah
menembus Kesunyataan atau Dhamma, ia akan menyadari : yamkinci uppadadhammang sabbang tang nirodhadhammang
(segala sesuatu yang terbentuk pasti akan lenyap kembali). Penembusan
yang sempurna terhadap kesunyataan ini, hanya dapat tercapai apabila
seseorang telah bebas samasekali dari segala macam keinginan apapun
juga.
Selama kita belum dapat mengusir “keinginan” atau “Tanha” itu, maka pandangan sesat (sakkayaditthi)
akan tetap ada, itulah yang menyebabkan kita tidak mampu untuk
menyadari sepenuhnya terhadap corak ketidak kekalan daripada segala
sesuatu yang terbentuk atau sankhara.
Didalam Anguttara Nikaya IV : 100 ff, Sang Buddha menasihati siswa-siswanya demikian:
“ Tidak kekallah, O para siswa,
segala sesuatu yang berpaduan (sankhara) itu tidaklah abadi,
karena itu tidaklah ada alasan untuk menikmati”.
Keseluruhan
dari filosofi tentang perubahan yang diajarkan dalam agama Buddha
adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur, yang
terkondisi adanya, merupakan proses dan bukan merupakan kelompok
kesatuan hidup yang kekal, tetapi perubahan itu terjadi dalam rangkaian
yang sedemikian cepat sehingga orang – orang memandang rohani dan
jasmani sebagai kesatuan hidup yang tetap. Mereka tidak melihat
timbulnya dan hancurnya (udaya – vaya), namun memandang secara kesatuan, melihat sebagai suatu keseluruhan (ghana sanna).
DUKKHA ( Penderitaan )
Dukkha berasal dari kata ”du” yang berarti sukar dan kata ”kha” yang berarti dipikul, ditahan. Jadi kata ”du-kha”
berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Jadi kata
”duh-kha” berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Pada
umumnya dukkha dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penderitaan,
ketidakpuasan, beban.
Sabbe sankhara dukkha
berarti segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur,
merupakan sesuatu yang tidak memuaskan yang akan menimbulkan beban
berat atau penderitaan.
Mengapa
segala fenomena tidak memuaskan dan menimbulkan beban berat atau
penderitaan? Hal ini dikarenakan segala fenomena tersebut mengalami
perubahan, tidak kekal. Dan ketika kita tidak bisa memahami dan menerima
bahwa segala fenomena selalu mengalami perubahan, tidak kekal, maka
timbul perasaan ketidaksukaan, ketidakpuasan pada diri kita dan akhirnya
menimbulkan beban berat atau penderitaan.
Terdapat 12 macam dukkha, yaitu:
1. Penderitaan dari kelahiran (Jati-dukkha)
2. Penderitaan dari ketuaan (Jara-dukkha)
3. Penderitaan dari kesakitan (Byadhi-dukkha)
4. Penderitaan dari kematian (Marana-dukkha)
5. Penderitaan dari kesedihan (Soka-dukkha)
6. Penderitaan dari ratap tangis (Parideva-dukkha)
7. Penderitaan dari jasmani (Kayika-dukkha)
8. Penderitaan dari batin (Domanassa-dukkha)
9. Penderitaan dari putus asa (Upayasa-dukkha)
10. Penderitaan karena berkumpul dengan orangyang tidak disenangi atau dengan musuh (Appiyehisampayoga-dukkha)
11. Penderitaan karena berpisah dengan sesuatu / seseorang yang dicintai (Piyehivippayoga-dukkha)
12. Penderitaan karena tidak tercapai apa yang dicita-citakan. (Yampicchannaladhi-dukkha)
" Para Bhikkhu, apakah yang disebut Dukkha itu?
Itu bukan lain adalah kelima kelompok kemelekatan
(Panca-Khandha). "
(Samyutta Nikaya, Khandha Samyutta, 104)
Didalam
Ajaran Empat Kebenaran Mulia, pengertian tentang Dukkha tidak terbatas
pada penderitaan saja. Dalam arti yang lebih luas, Dukkha bisa juga
berarti ketidak puasan, ketidak sempurnaan atau ketidak abadian.
Agama
Buddha tidak pernah menyangkal adanya kegembiraan atau kebahagiaan
dalam hidup sehari-hari walaupun diakui bahwa salah satu ciri keberadaan
dari alam semesta adalah Dukkha. Tetapi hendaknya dimengerti bahwa
setiap kegembiraan bahkan dalam keadaan Jhana yang dicapai dengan
meditasi tingkat tinggi, yang telah bebas dari pencerapan suka dan duka
pun masih tetap berada dalam ciri keberadaan Dukkha.
Tidak
seperti ciri keberadaan atau corak kehidupan yang lain seperti Anicca
dan Anatta yang mudah diterima secara obyektif, Corak Penderitaan
(Dukkha Lakkhana) ini sulit diterima begitu saja oleh manusia, karena
secara obyektif sulit bagi kita memahami bahwa segala sesuatu di alam
semesta ini adalah menimbulkan penderitaan dan ketidak puasan.
Pandangan tentang Dukkha dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu:
1. Dukkha-Dukkha,
yaitu Dukkha sebagai penderitaan yang biasa atau Dukkha yang dialami
manusia secara langsung pada fisiknya melalui panca indera dan pada
perasaannya. Penderitaan pada kehidupan manusia seperti lahir, sakit,
usia tua, berkumpul dengan orang yang tidak disenangi, tidak bisa
mendapatkan apa yang diinginkan dan lain-lain termasuk dalam kelompok
Dukkha ini.
2. Viparinama-Dukkha, yaitu
Dukkha sebagai akibat dari perubahan. Segala keadaan yang menyenangkan
manusia adalah tidak kekal dan selalu berubah dari saat ke saat.
Perubahan ini biasanya menimbulkan penderitaan atau kemurungan.
3. Sankhara-Dukkha,
yaitu Dukkha yang timbul akibat kondisi- kondisi yang selalu bergerak
atau berubah-rubah. Dukkha inilah yang berhubungan dengan lima kelompok
kemelekatan (Pancakkhandha).
(Lihat juga “ Tiga Bentuk Dukkha di halaman 80 s/d 88)
Dari
kelima khandha tersebut. tidak satupun yang dapat dikatakan sebagai
diri atau ciri dari suatu individu, tetapi apabila kelima khandha itu
saling berhubungan dan bekerja sama, maka akan terasa seakan-akan ada
suatu diri yang menjadi ciri dari suatu individu atau keadaan tertentu.
Jelmaan yang terbentuk oleh kombinasi kelima khandha itulah yang tak
lain merupakan Dukkha itu sendiri. Dukkha yang dimaksudkan disini
memiliki arti yang lebih luas daripada hanya sekedar pengertian duka
atau penderitaan secara umum yaitu
dukkha yang mencakup segala kefanaan, perubahan dan ketidak kekalan.
Tidak ada suatu jelmaan atau diri yang berada di balik kelima khandha
ini, tak ada suatu jelmaan atau diri yang mengalami Dukkha ini sebab
pancakkhandha itu sendiri merupakan Dukkha dalam arti yang luas itu, dan
di dalam Dukkha yang mempunyai arti yang luas inilah terdapat
kehidupan, kehidupan yang tak lain merupakan perubahan itu sendiri.
Dukkha, kehidupan dan perubahan sebenarnya bukanlah hal berbeda.
Di dalam pengertian Sankhara-Dukkha,
ditekankan bahwa tidak ada suatu diri atau atta yang berada di balik
Pancakkhandha ini yang akan merasakan Dukkha; bahwa Dukkha itu timbul
akibat kondisi-kondisi yang tercakup di dalam kelima khandha yang selalu
bergerak dan berubah-ubah , pula tidak ada sesuatupun yang berada di
luar kondisi yang berubah-ubah tersebut yang menggerakkan atau yang menyebabkan perubahan-perubahan itu; bahwa yang ada hanyalah perubahan-perubahan itu sendiri.
ANATTA ( Tiada Inti Diri )
“ Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti;
apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan,
Inilah jalan yang membawa pada kesucian .”
( Dhammapada XX ; 279 )
Anatta adalah kata bahasa Pali yang berasal dari awalan 'an' yang sering diterjemahkan sebagai tidak, bukan atau tiada. 'atta' berarti ‘inti’, ‘diri sejati’ ‘roh’ atau jiwa. Dalam bahasa Sanskerta disebut juga sebagai anatman. Jadi kata ”an-atta” berarti ‘‘bukan diri sejati” atau dalam konteks penulisan ini , anatta akan diterjemahkan sebagai “Tiada inti diri” .
Kata atta
mempunyai makna yang luas dan dapat ditemukan dalam bidang ilmu
psikologi, filsafat, maupun peristilahan sehari-hari, contohnya, atta dapat berarti “diri”, “mahkluk”, “ego”, “jiwa”, “roh”, “aku” atau “kepribadian”.
Namun sebelum membahas tentang apa itu atta, maka perlu melihat
berbagai arti atta yang ditelaah dari sudut pandang Buddhis maupun
non-Buddhis, agar kita dapat memahami dengan tepat, apa yang ditolak
Sang Buddha ketika Beliau membabarkan doktrin anatta, yang mana Ia
menolak keberadaan atta.
Definisi atta menurut non-Buddhis dan Buddhis
Definisi atta menurut non-Buddhis:
1) Dalam Abingdon Dictionary of Living Religions :
Sesuatu
yang memberi kehidupan kepada suatu makhluk hidup; atau bagian atau
dimensi dalam makhluk hidup, yang merupakan inti, tidak berbentuk; atau
sesuatu yang tidak berbentuk namun menghidupkan; atau sesuatu yang tidak
berbentuk namun menciptakan individu.
2) Dalam A Dictionary of Mind and Spirit oleh Donald Watson :
Jiwa
dikenal dengan banyak nama: jiva (Jain), Atman (Hindu), Ruh (Islam),
Monad, Ego, Diri, Diri yang lebih tinggi, sesuatu yang melebihi Diri,
Diri yang tidak dapat dipahami, batin, atau bahkan pikiran.
Sedangkan definisi atta menurut Buddhis:
1) Dalam Buddhist Dictionary karya Nyanatiloka:
Segala sesuatu yang secara mutlak dipandang sebagai keberadaan diri, sosok ego, jiwa, atau substansi pokok yang bersifat kekal.
2) Dalam The Truth of Anatta oleh Dr. G.P.Malalasekera:
Atta
adalah diri suatu keberadaan metafisik yang halus, jiwa. Berbagai
definisi atta atau jiwa sebagai diri, ego, jiwa, atau pikiran, sejalan
dengan bidang psikologi. Karena itu perlu juga melihat definisi atta
dari sudut pandang ini.
Menurut Dictionary of Psychology, 'diri' adalah:
1. Individu sebagai makhluk hidup;
2. Ego atau aku;
3. Kepribadian atau kumpulan sifat.
Definisi 'ego' adalah:
diri, terutama gagasan seseorang akan dirinya sendiri. Definisi
'kepribadian' adalah kumpulan sistem psikofisik dalam individu yang
bersifat dinamis dan menentukan cara berpikir dan perilaku seseorang
atau sesuatu yang memberikan prakiraan apa yang akan dilakukan seseorang
dalam menghadapi suatu situasi. Istilah-istilah psikologis itu
bersesuaian dengan beberapa istilah yang dipakai dalam ajaran Buddha
untuk menerangkan kehidupan konvensional makhluk hidup. Peristilahan itu
berguna sebagai label, namun secara mutlak, label-label tersebut,
seperti yang akan kita lihat, hanya sekedar nama yang semata-mata
merupakan kebenaran ilusi.
Dalam bahasa Pali, ada istilah seperti satta, puggala, jiva, dan atta untuk menerangkan psikologi konvensional mengenai makhluk.
Satta, menurut Nyanatiloka, berarti makhluk hidup. Puggala berarti individu, orang, berikut padanannya: kepribadian, perangai, makhluk (satta), diri (atta). Jiva adalah kehidupan sesuatu yang vital/ jiwa.
Beberapa pengertian tentang Jiwa :
· Dalam The International Dictionary of Religion : " Banyak agama mengajarkan bahwa manusia tersusun atas badan fisik yang bisa mati serta Inti yang tidak kasat mata dan kekal, yang merupakan jati diri atau Jiwa ".
Jiwa juga dipahami sebagai : " Segala sesuatu yang secara mutlak dipandang sebagai keberadaan diri, sosok ego, atau Substansi pokok yang bersifat kekal.”
Dalam kitab kuno India milik kaum Brahman / Hindu,
yaitu kitab Upanishad, dikatakan bahwa sesuatu yang disebut " Jiwa ", "
Inti Diri ", " Roh ", Harus memiliki kuasa untuk memerintah. Jiwa tidak
menerima perintah dari penguasa lain, Jiwa adalah Penguasa Tertinggi
yang menjadi tuan atas dirinya sendiri. Jiwa berbeda dengan diri kita,
namun tinggal didalam diri kita.
Arti lain atta adalah jiwa,
suatu sosok rohaniah di dalam semua orang, jiwa, yang disebut atman
dalam kitab-kitab Hindu, adalah diri individual dan identik dengan diri
Universal, Makhluk tertinggi, yang disebut Brahman.
Atman tinggal dalam setiap makhluk hidup.
Seperti Brahman, atman adalah kekal. Saat tubuh mati, atman berpindah
dan menempati tubuh lain sebagai rumah barunya. Dengan cara ini, atman
berpindah dari satu tubuh ke tubuh lainnya, meninggalkan tubuh lama yang
telah usang dan menempati tubuh baru.
Atta mempunyai makna yang luas, yang dibahas dalam 2 kitab terkemuka Hindu yaitu Upanishad dan Bahagavad Gita. Dalam ajaran Buddha berbagai pandangan tentang Atta dapat ditemukan dalam Brahmajala Sutta. Atta adalah inti dalam segala sesuatu, gagasan tentang atta sebagai inti dari segala sesuatu ditemukan dalam Chandogya dan Brihadaranyaka Upanishad.
Beberapa pemakaian istilah atta juga ada dalam bidang psikologi. Menurut Dr. Malalasekera, atta dapat berarti, diri seseorang, misalnya attahitaya patipanno no parahitaya (berbuat menurut diri sendiri, bukan menurut orang lain) atau attanava akatam sadhu
(apa yang dilakukan oleh diri sendiri adalah baik). Atta dapat pula
bermakna diri sendiri, kepribadian, termasuk tubuh dan pikiran, seperti
dalam attabhava (kehidupan), attapatilabha (kelahiran dalam beberapa bentuk kehidupan).
Ketika mengulas mengenai istilah satta, Nyanatiloka menambahkan, Istilah ini, sama seperti atta, puggala, jiva dan istilah lainnya yang berkenaan dengan 'ego', dianggap sebagai sekedar istilah konvensional (voharavacana) pada umumnya, dan sama sekali tidak mempunyai makna kebenaran.
Dalam pengertian kebenaran mutlak, Sang
Buddha menolak konsep psikologi dan agama mengenai segala macam 'diri'
atau 'jiwa'. Tetapi kita bisa memakai istilah seperti 'diri' dan 'ego'
untuk menggambarkan hal tertentu dari kelima khandha (agregat atau
kelompok) yang menampilkan penampakan semu suatu individu. Seperti yang
dikatakan Arahat Vajira yang hidup semasa kehidupan Sang Buddha:
“Bilamana
semua bagian penyusun ada, Kita menyebutnya sebagai 'pedati'; Demikian
pula, di mana kelima kelompok ada, Kita menyebutnya sebagai 'makhluk
hidup' ”.
Doktrin
anatta diajarkan oleh Sang Buddha dari sudut pandang seseorang yang
telah mencapai Pencerahan Sempurna, pandangan yang melihat bahwa segala
sesuatu adalah anatta.
Sabbe dhamma anatta berarti
segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur, dan
juga sesuatu yang tidak berkondisi merupakan sesuatu yang tidak memiliki
inti/’jiwa’ dan bukan diri yang sejati.
Fenomena sebagai ketidakkekalan dan tanpa-Aku
Secara
umum dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak terlepas dari kata “Aku”,
Kamu, Kami, Kita atau Milikku, Milikmu, Milik kita dsb. Pembedaan
semacam itu diperlukan untuk menggambarkan keberadaan suatu “individu”,
“label”, kesepakatan bahasa sebagai sarana bantu pemahaman dan
komunikasi serta untuk membedakan seseorang dengan lainnya.
Sebagai contoh , seseorang bertanya kepada kita : “ Rumah ini milik siapa ya?”
Kita pasti menjawab : “ o..rumah itu milikku “, atau “ rumah itu Milik si A”...
Hal
ini umum dan wajar-wajar saja diucapkan oleh setiap orang dalam
berkomunikasi sehari-hari, bayangkan saja , apa jadinya kalau kita tidak
boleh menggunakan lagi istilah “aku” dalam berkomunikasi ? pasti banyak hal-hal yang lucu dan ribet akan terjadi !
Ajaran
Buddha tidak berkeberatan untuk memakai kata atta, satta, atau puggala
untuk menggambarkan individu sebagai suatu kesatuan atau untuk
membedakan seseorang dengan lainnya. Bahkan Sang Buddha terkadang
memakai istilah-istilah tersebut :
“Ini
adalah pemakaian duniawi, istilah percakapan duniawi, uraian duniawi,
dengannya Sang Tathagata berkomunikasi tanpa menyalah-artikannya “.
(Digha Nikaya I : 195) .
Beberapa
orang telah salah memahami mengenai ajaran anatta dengan beranggapan
bahwa tidak ada diri, tidak ada yang namanya orang/person (puggala), anggapan ini keliru. Sang Buddha sebenarnya tidak pernah menyatakan bahwa tidak ada suatu jiwa atau atta di alam semesta ini.
Yang sering ditekankan oleh Sang Buddha adalah bahwa tak ada satu benda atau bentuk yang khusus yang dapat dikatakan memiliki diri atau jiwa yang kekal. Beliau mengajarkan bahwa ada yang disebut dengan diri atau orang/person (puggala), tetapi
diri atau orang/person (puggala) tersebut bukanlah benar-benar inti
atau jati diri dari diri atau orang (person) tersebut, melainkan
hanyalah merupakan perpaduan dari unsur-unsur fisik dan mental , yang
membuatnya ada atau eksis , yang setiap saat mengalami perubahan dan
berada dalam keadaan dukkha. Karena perpaduan unsur-unsur inilah diri
seseorang terbentuk. Dan karena
segala sesuatu yang terbentuk dari perpaduan unsur-unsur pasti
mengalami perubahan, maka diri seseorang pun mengalami perubahan,
penguraian, yang akhirnya eksistensi dari diri seseorang tidak lagi ada
atau eksis. Inilah mengapa dikatakan tidak memiliki inti atau Tiada inti diri.
Manusia
percaya bahwa ada sesuatu yang kekal di dalam dirinya. Sesuatu yang
kekal ini diberi berbagai nama : Atta, Jiwa, Diri, Ego, Aku, Pribadi,
Roh dan sebagainya.
Sang
Buddha mengatakan; bahwa apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang
kekal, semata-mata merupakan gabungan dari kelompok-kelompok energi
batin-jasmani ( Pancakkhandha ) yang senantiasa berubah.
Badan
jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran
adalah lima khandha, yang semuanya tidak memiliki inti diri yang
kekal.Bila khandha itu memiliki atta, maka ia dapat berubah sekehendak
atta itu dan tidak akan menderita, karena semua keinginannya dapat
dipenuhi misalnya, "Semoga khandha-ku begini dan begitu." Tetapi, karena
khandha itu anatta, maka ia tidak dapat berubah sekehendak atta itu dan
oleh sebab itu menderita, karena semua kehendak dan keinginannya tak
dapat dipenuhi. Misalnya, " Semoga khandha-ku begini dan bukan begitu."
( Vin. Mv. Kh. 1 ; cf. S. 22 : 59 ).
Di
zaman Buddha, para guru non-Buddhis berusaha mengidentifikasikan dan
memisahkan "Aku Sejati"(Pali : atta , Skt : atman) seseorang. Apa yang
dimaksud dengan atman adalah entitas kekal dalam diri manusia yang tidak
berubah, sumber kebahagiaan sejati dan "pengendali bagian dalam"
terhadap tindakan atau apa yang dilakukan manusia. Menurut ajaran Brahmanisme, atman ini dilihat sebagai "aku" universal yang identik dengan Brahman, sedangkan di Jainisme, ia dilihat sebagai "prinsip kehidupan" (jiva) individu. Buddha memberikan argumentasi
bahwa segala sesuatu mengalami perubahan. Lebih lanjut, Beliau
mengatakan bahwa apa pun yang tidak berdiri sendiri dan tidak bisa
dikendalikan secara penuh oleh keinginan seseorang, tidak dapat dianggap
sebagai "Aku Sejati." Lagi pula, menganggap sesuatu yang bukan "aku"
sebagai "aku," akan mengakibatkan timbulnya penderitaan. lni terjadi
ketika apa yang dianggap orang awam sebagai "aku" yang kekal mengalami
perubahan yang bertentangan dengan keinginan dan harapannya.
Sebagai contoh,
proses penuaan yang dialami seseorang. Proses semacam ini, yakni rambut
menjadi putih, kulit menjadi keriput, mata menjadi rabun, tubuh menjadi
lemah, dan lain sebagainya, jelas hal-hal semacam itu tidak diinginkan
atau didambakan oleh seorangpun. Tetapi siapakah yang dapat mencegahnya? Lalu jika demikian dapatkah kita menganggap tubuh ini sebagai "aku" atau "milikku"?
Dalam
Majjhima Nikaya 35, terdapat kisah mengenai seorang
pertapa terpelajar yang sangat terkenal, bernama Saccaka. Pada suatu hari ia
mendengar bahwa Sang Buddha mengajarkan doktrin Anatta. Karena dia adalah
seorang ahli debat yang sangat piawai, dia memutuskan untuk mendatangi dan
meyakinkan Sang Buddha bahwa doktrin anatta adalah salah. Saccaka sangatlah
percaya diri; dia menyatakan bahwa bila ia berdebat melawan sebuah tiang yang
tanpa akal, maka tiang tersebut akan terguncang , menggigil, gemetar dan
berkeringat. Dia menyatakan bahwa ibarat orang kuat yang dapat dengan mudah
merenggut seekor kambing dan menyeretnya kesana kemari, maka dia akan dengan mudah
mengalahkan Sang Buddha dalam perdebatan.
Saccaka dan para pengikutnya
mendatangi Sang Buddha. Setelah bertukar salam, Saccaka meminta Sang Buddha
untuk menjelaskan doktrin-doktrin yang diajarkanNya. Sang Buddha menjawab bahwa
ia mengajar Anatta. Saccaka ber-argumentasi ; bahwasanya seseorang mempunyai
bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan mental, dan kesadaran
sebagai diri (atta) dan berdasar atas atta itu dia menghasilkan jasa kebajikan
atau perbuatan buruk...
Sang Buddha bertanya kembali
kepada Saccaka:" Saccaka, apakah engkau menyatakan bahwa bentuk materi
(Jasmani) adalah diriku?, perasaan adalah diriku?, persepsi (Pencerapan) adalah
diriku?, bentukan-bentukan (Bentukan mental) adalah diriku?, kesadaran adalah
diriku ?."
" Saya menyatakan demikian,
guru Gotama ", jawab Saccaka.
" Bagaimana pendapatmu ,
Saccaka ?, Ketika engkau mengatakan demikian: Bentuk materi adalah diriku,.
apakah engkau mempunyai kekuasaan atas bentuk materi tersebut dengan berkata :
" biarlah bentukku seperti ini; biarlah bentukku tidak seperti ini ".
Ketika hal ini dikatakan oleh Sang Buddha, Saccaka putra Nigantha-pun terdiam.
Untuk kedua kalinya Sang buddha
mengajukan pertanyaan yang sama, dan untuk kedua kalinya Saccaka terdiam.
Untuk ketiga kalinya Sang Buddha
mengajukan pertanyaan yang sama, dan karena merasa telah tersudut oleh
pernyataannya sendiri, butir-butir keringat mulai membasahi dahinya,
Saccaka-pun akhirnya menjawab : "Tidak Guru Gotama ."
" Perhatikan, Saccaka,
perhatikan bagaimana engkau menjawab, apa yang telah engkau katakan sebelumnya
tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya"...., ketika engkau
mengatakan bahwa ;"Perasaan adalah diriku","Persepsi adalah
diriku", "Bentukan-bentukan adalah diriku", "Kesadaran
adalah diriku", apakah engkau mempunyai kekuasaan atas semuanya itu
?"
“Tidak Guru Gotama ." jawab
Saccaka.
" Bagaimana
pendapatmu,Saccaka, apakah lima khandha itu kekal atau tidak kekal ?."
" Tidak kekal Guru Gotama
."
" Sesuatu yang tidak kekal
itu, merupakan penderitaan atau kebahagiaan, Saccaka ? "
“ Penderitaan Guru Gotama."
" Sesuatu yang tidak kekal,
penderitaan, dan terkena perubahan itu, apakah tepat untuk dianggap demikian :
" Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku ?"
"Tidak, Guru Gotama."
Ketika Dhamma telah dibabarkan
oleh Sang Buddha, Saccaka hanya duduk terdiam, cemas, dengan bahu yang lunglai
dan kepala tertunduk , tanpa tanggapan lagi.
"Guru Gotama, tadi kami
sungguh nekad dan tidak sopan, karena berpikir bahwa kami dapat menyerang Guru
Gotama dalam perdebatan..., Sudilah Yang Terberkahi bersama dengan Sangha para
Bhikkhu bersedia menerima dana makanan esok hari dari saya.? Sang Buddha
menyetujui dengan berdiam diri.
Disini dapat kita lihat Sang
Buddha mematahkan argumentasi tentang beberapa karakteristik yang dikaitkan
dengan atta. Jika Saccaka memiliki atta, dia dapat memerintah atta untuk
mengerahkan kekuasaannnya untuk mengubah penampakannya, karena atta identik
dengan Brahman, sang penguasa tertinggi, yang tak terbatas, pencipta yang maha
kuasa dan sumber segala sesuatu, seperti tercantum dalam Bhagavad Gita.
Namun, menurut Sang Buddha, yang
ada hanyalah kelima khandha, dan mereka bukanlah atta karena mereka terikat
oleh hukum-hukum kefanaan, tidak memuaskan dan tiada inti diri. Rupa (bentuk
materi) bukanlah atta, bukan tuan dan pemerintah dirinya sendiri, serta terikat
pada kesengsaraan. Khandha lainnya (perasaan, pencerapan, bentukan mental dan
kesadaran) juga terikat pada hukum yang sama.
Ajaran mengenai anatta atau
"tanpa-aku" ini tidak hanya bertujuan meruntuhkan konsep
"aku" yang dianut oleh Brahmanisme atau Jainisme, tetapi juga konsep
umum yang telah lama dipegang orang awam pada umumnya dan perasaan-perasaan
mendalam mengenai adanya sang "aku."
Bila kita masih merasakan adanya
bagian dari diri kita yang tidak pernah atau belum berubah semenjak kanak-kanak
hingga dewasa, maka itu berarti kita masih memiliki kepercayaan tentang
"aku" yang kekal. Merasa bahwa diri kita tidak akan pernah mati,
adalah pandangan bahwa seolah-olah kita memiliki "aku."
Mengaitkan fenomena pengalaman
mental seperti misalnya dengan mengatakan: "Saya merasa cemas…,
gembira… , marah…", adalah juga merupakan keyakinan akan adanya sang
"aku." Melakukan identifikasi dengan tubuh, gagasan, dan tindakan
seseorang, dan lain-lain, adalah mencerap semuanya itu sebagai bagian dari sang
"aku".
Ajaran
"Anatta" pada intinya adalah ajaran praktis yang ditujukan untuk
menaklukkan kemelekatan. Sang Buddha menekankan bahwa semua fenomena
yang benar-benar kita pandang sebagai "Aku", seharusnya diamati dan
dianalisa secara seksama untuk menyadari kesalahan serta ketidak-benaran
pandangan atau anggapan semacam itu. Sebagai hasil dari pengamatan
tersebut, seorang akhirnya berkembang secara spiritual dan melihat
segala sesuatu, semua dhamma, sebagai "tanpa-aku," dan karenanya
menghancurkan semua kemelekatan serta mencapai Nibbana.
Komentar