Manusia bertinggal di empat tempat, yaitu
1. Uttarakurudîpa,
2. Pubbavidehadîpa,
3. Aparagoyânadîpa, dan
4. Jambudîpa.
Umat manusia yang berada di Uttarakurudîpa berusia sampai
seribu tahun, yang berada di Pubbavidehadîpa berusia sampai tujuh ratus tahun,
yang berada di Aparagoyânadîpa berusia sampai lima ratus tahun, sedangkan yang
berada di Jambudîpa berusia tidak menentu, tergantung kadar kebajikan serta
kesilaan yang dimiliki. Pernah terjadi bahwa umat manusia tidak begitu
mengindahkan kebajikan serta kesilaan sehingga usia rata-rata umat manusia
menjadi sependek 10 tahun.
Pada zaman Buddha Gotama, usia rata-rata umat
manusia ialah 100 tahun. Diprakirakan bahwa setiap satu abad, usia manusia
memendek selama satu tahun. Karena Buddha Gotama telah mangkat sejak dua puluh
lima abad yang lampau, usia rata-rata umat manusia pada saat sekarang ini ialah
75 tahun ( dan ternyata teori itu benar bukan ? Karena, rata-rata umur manusia
sekarang ini adalah tujuh-puluh-lima ( 75 ) tahun ).
Seorang Sammâsambuddha tidak akan muncul apabila usia
rata-rata manusia lebih pendek dari 100 tahun karena kesempatan bagi kebanyakan
orang untuk dapat memahami kebenaran Dhamma terlalu singkat, tetapi juga tidak
akan muncul apabila lebih panjang dari 100,000 tahun karena kebanyakan orang
akan merasa sulit untuk dapat menembus hakikat ketakkekalan atau kefanaan
hidup. Beliau hanya terlahirkan di Jambudîpa, tidak pernah terlahirkan di tiga
tempat lainnya apalagi di alam-alam kehidupan selain alam manusia.
Kitab Majjhima Nikâya bagian Mûlapannâsaka memberikan
penjelasan secara terinci mengapa manusia mempunyai keadaan yang berbeda. Orang
yang dalam kehidupan lampau suka membinasakan atau membunuh makhluk lain
niscaya akan terlahirkan sebagai manusia dengan umur pendek; yang suka
menganiaya atau menyiksa makhluk lain niscaya akan dihinggapi banyak penyakit;
yang suka murkah atau marah niscaya akan berparas buruk; yang suka cemburu atau
irihati nis-caya akan tak berwibawa; yang suka berdana atau murah hati niscaya
akan memiliki kekayaan melimpah; yang suka bersikap angkuh atau sombong niscaya
akan terlahirkan di keluarga yang rendah; yang tak gemar menimba ilmu
pengetahuan atau memperdalam pengertian Dhamma niscaya akan terlahirkan dengan
sedikit kebijaksanaan.
Demikian pula kebalikannya. Selaras dengan ilmu pengetahuan
modern, dalam Aggañña Sutta disebutkan bahwa umat manusia di bumi ini adalah
suatu hasil evolusi yang panjang. Manusia bukanlah suatu makhluk yang pada saat
pertama kali muncul / lahir di dunia ini sudah berbentuk, berupa atau berwujud
sebagaimana yang tertampak pada saat sekarang ini. Dalam wejangan tersebut juga
dijelaskan bahwa bumi beserta isinya ini terbentuk dalam suatu proses yang amat
panjang, bukan diciptakan secara gaib selama enam hari pada sekitar 6,000 tahun
yang lampau sebagaimana yang ditafsirkan dari Alkitab.
Para Bodhisatta ( Calon Buddha ) lebih memilih alam manusia
karena alam ini adalah tempat terbaik untuk mengabdi pada dunia dan memenuhi
persyaratan ke-Buddhaan. Pada alam manusia ini seseorang benar-benar bisa
mengenali sifat / hakekat sejati alam semesta dan alam kehidupan. Pada alam
neraka, peta, asura, seorang makhluk hanya mengalami keadaan yang tidak
menyenangkan, penderitaan, karena itu iapun tidak sempat mengenal / menembus
hakekat, karena ia lebih memikirkan penderitaan demi penderitaan, dan oleh
karenanya tidak sempat untuk mencapai alam Kebuddhaan / Nirvana.
Pada alam
surgawi, hanya ada kesenangan, tidak ada kesedihan / dukkha, sehingga mereka
tidak mampu mengenali bahwa hakekat hidup ini adalah dukkha, dan pada alam ini
pun para makhluk ( yakni para Dewa ) lebih suka menikmati kesenangan demi
kesenangan daripada “nglakoni” untuk mencapai “Yang-Mutlak”. Oleh karenannyalah
para Buddha selalu dilahirkan sebagai manusia.
b).Catummaharajika
Ini merupakan alam surga yang paling rendah, saf kedua dari
alam sugati, tempat Dewa-dewa Pelindung dari empat sudut cakrawala bertempat
tinggal dengan para pengikut mereka.
Alam Câtumahârâjikâ adalah suatu alam surgawi paling rendah
yang berada dalam kekuasaan empat raja dewa, yakni:
1. Dhatarattha,
2. Virudhaka,
3. Virûpakkha, dan
4. Kuvera.
Empat raja dewa ini juga dipercayai sebagai pelindung alam
manusia, dan karenanya dikenal dengan sebutan ‘Catulokapâla‘. Dalam Kitab
Lokîyapakarattha, empat dewa pelindung dunia ini dipanggil sebagai:
1. Inda ( Sanskrit : Indra ),
2. Yama,
3. Varuttha dan
4. Kuvera.
Berdasarkan tempat tinggalnya, para dewa-dewi tingkat
Câtumahârâjikâ terbagi atas tiga, yaitu:
1. Yang berada di daratan (bhumattha),
2. Yang berada di pohon (rukkha).
Dalam Kitab Ulasan atas Dhammapada dan Buddhavamsa, para
dewa-dewi yang hidup di pohon dimasukkan dalam kelompok bhummattha.
3. Yang berada di angkasa (âkâsattha).
Empat raja langit ini serta beberapa dewa lainnya mempunyai
‘istana’ (vimâna) khusus bagi diri mereka masing-masing. Bagi yang tak
mempunyai istana secara khusus, maka gunung, sungai, lautan, pohon yang
ditinggali itulah istana bagi mereka. Kehidupan di Câtumaharâjikâ berlangsung
selama 500 tahun dewa atau kira-kira sembilan juta tahun manusia (Perbandingan
usia di alam-alam surga tidaklah sama, tergantung tingkatannya. Satu hari di
alam surga tertentu berbanding satu abad di alam manusia, dan ada pula yang
lebih lama lagi).
Para dewa-dewi di tingkat Câtumahârâjikâ ada yang cenderung
berhati jahat, yaitu:
1. Gandhabbo/Gandhabbî: yang berada di pohon-pohon berbau
harum, yang belakangan mungkin dikenali oleh orang-orang Jawa sebagai
‘GANDARUWA’ / ‘GENDERUWA’. Makhluk halus ini sangat melekati tempat tinggalnya.
Walaupun pohon tempat tinggalnya ditebang, ia masih tetap mengikuti ke mana
pohon itu dipindahkan tidak seperti rukkhadeva lainnya, yang akan mengungsi ke
pohon lain yang masih hidup,
2. Kumbhanno/Kumbhannî: penjaga harta pusaka, hutan, dan
sebagainya,
3. Nâgo/Nâgî: naga yang memiliki kesaktian, yang mampu
menyalin rupa dalam wujud makhluk lain seperti manusia, binatang dan
sebagainya,
4. Yakkho/Yakkhinî: raksasa yang gemar menganiaya para
penghuni neraka.
Segala macam Dewa / Dewi yang menguasai bumi, seperti Dewa
/ Dewi Penguasa / Penghuni Laut-Laut tertentu, Penguasa Gunung Tertentu, dan
Penguasa Bumi, termasuk hidup di alam Catummaharajika ini.
Sebagai contoh, hari Minggu malam, tanggal 14 Sepetember
2008, dirumah saya hadir para praktisi Yoga. Masing-masing, ada yang sebenarnya
sudah bergelar “Master-Reiki”, ada yang sudah bertahun-tahun belajar Meditasi
Buddhis, bahkan hingga ke Burma, dan lainnya. Kemudian jam 21.30 WIB kami
bermeditasi bersama-sama, dan seperti biasa, setelah saya menguncarkan kata
Puja kepada Sang Bhagava, Sang Buddha, saya menguncarkan puja kepada para Dewa,
dan mengundang mereka untuk ikut hadir. Saya sendiri meniatkan untuk berdiam
dalam Jhana II hingga dua jam kedepan.
Dan, baru 2 menit berjalan, sesosok
Dewa-Yang-Perkasa, ikut hadir diruangan tersebut (hingga meditasi kami
selesai), beserta seekor naga meliuk-liuk turun dari atas langit, dan para
pengikutnya yang bercahaya cemerlang berkilauan, memenuhi ruangan meditasi
dirumah saya. Beliau, oleh masyarakat China dikenal sebagai “Kwan-Kong”.
Beliau
berdiri dengan gagah disatu sisi didepan kami, lengkap dengan pakaian perang,
baju-zirah, topi baja pelindung, dan tongkat dengan ujungnya berupa Golok.
Mukanya Merah, “galak”, matanya “mentheleng”, berkumis, dan berjenggot
panjangnya sekitar 15 – 20 cm. Gagah. Beliau memberkati kami dan memberikan
beberapa pesan. Setelah beliau, seekor naga, dan para pengikutnya “naik”
kembali kealamnya, barulah saya mengakhiri meditasi, dengan menguncarkan,
“Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitatta” ; “SEMOGA SEMUA MAKHLUK BERBAHAGIA!!” .
Sepertinya beliau termasuk penghuni alam Surga
Catummaharajika ini.
c).Tavatimsa
Alam Tâvatimsa adalah alam surgawi tingkat kedua. Alam ini
sebelumnya / dulunya merupakan tempat tinggal para asurakâya. Ini adalah alam
Dewa saf berikutnya, saf ketiga dari alam Sugati. Secara harafiah berarti :
tiga puluh tiga.
Ini adalah alam surga dari tiga puluh tiga ( 33 ) Dewa dengan
dewa Sakka sebagai rajanya. Asal-usul dari nama ‘Tâvatimsa‘ tersebut berkaitan
dengan sejarah tiga puluh tiga relawan yang tidak mementingkan diri sendiri,
yang dipimpin oleh Magha ( nama lain dari Sakka ), karena perbuatan-perbuatan
baik mereka berhasil menyingkirkan para asurakâya. , terlahir dialam surgawi
iniDi dalam surga inilah Sang Buddha mengajarkan Abhidhamma kepada para Dewa
selama tiga ( 3 ) bulan.
Komentar