Alam brahma terdiri atas 16 alam, yakni:
1. Tiga alam bagi peraih Jhâna pertama (paöhama),
2. Tiga alam bagi peraih Jhâna kedua (dutiya),
3. Tiga alam bagi peraih Jhâna ketiga (tatiya),
4. Dua alam bagi peraih Jhâna keempat(catuttha),
5. Dan lima alam Suddhâvâsa.
Sang Buddha, dalam rangka meluruskan pandangan kaum
Brahmana, menginterpretasikan kembali pengertian mengenai “Brahma-Yang-Agung”
ini, dari yang semula dianggap satu-dewa-tunggal “Yang-Maha-Kuasa” menjadi
suatu kelompok dewa tinggi yang berdiam di alam berbentuk ( Rupadhatu /
Rupaloka ), jauh diatas surga-surga alam sugati ( Kammadhatu ).
Kediaman Brahma ini disebut sebagai “Alam-Brahma”, yang ada
banyak dengan berbagai dimensi dan tingkat kekuasaan. Didalam dunia mereka,
para Brahma hidup secara berkelompok, dan “Mahabrahma” adalah penguasa para
Brahma tersebut, lengkap denga para menteri dan dewan-dewan Brahma.
Seperti halnya semua makhluk hidup, para Brahma itupun
tidak kekal, terkena hukum alam, dan juga bertumimbal lahir, meskipun terkadang
diantara mereka melupakan hal ini dan menganggap bahwa mereka adalah
“Yang-Mutlak”, “Jalan-Keluar-dan-Harapan”.
Para Brahma, dengan Maha Brahma sebagai pemimpinnya, memang
memiliki kekuasaan yang besar. Mahabrahma dapat menolong ummatnya yang datang
kepadanya, berdoa kepadanya, memohon ridlonya. Namun sesungguhnya, ia bukanlah
“Sang-Pencipta”, bukanlah “Yang-Maha-Kuasa”, “Yang-Mutlak”.
Yang membuat Mahabrahma dan para Brahma beranggapan mereka
adalah kekal-abadi, “Sang-Pencipta”, “Awal-dan-Akhir”, adalah karena usia
mereka yang sangat panjang ( a. Brahma Parisajja / Dewan Brahma berusia 1/3
Asankheyya Kappa ; b. Brahma Purohita / Para Menteri Brahma berusia ½
Asankheyya Kappa ; dan, c). Maha Brahma berusia 1 Asankheyya Kappa. Ingat, 1
Asankeyya Kappa = 20 Antara Kappa, 1 Kappa adalah = 1 siklus daur-hidup
alam-semesta ( dari big-bang s/d kiamat, dan menuju awal evolusi alam semesta
kembali )
Sang Buddha tidak mengajarkan tiadanya “Yang-Mutlak”,
karena justru Sang Buddhalah yang pertama kali didunia manusia ini yang
menyatakan hal sebagai berikut “
“ O Bhikkhu, ada sesuatu Yang-Tidak-Dilahirkan,
Yang-Tidak-Menjelma, Yang-Tidak-Tercipta, Yang-Mutlak. Jika seandainya saja, O,
Bhikkhu, tidak ada Yang-Tidak-Dilahirkan, Yang-Tidak-Menjelma,
Yang-Tidak-Diciptakan, Yang-Mutlak, maka tidak akan ada jalan keluar untuk
bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
… dst” ( Sutta-Pitaka, Udana VII : 3 )
Akan tetapi, yang ditolak dengan tegas oleh Sang-Buddha
adalah, bahwa “Yang-Mutlak”, “Yang-Maha-Kuasa”, “Jalan-Keluar-dan-Harapan”, itu
adalah : T U H A N / M A H A – D E W A , yang oleh ummat Brahmanisme dikenal
dengan nama Maha-Brahma. Sebab, para Brahma itu sendiri “berbentuk”,
“tercipta”, oleh karenanya, bukan “Yang-Mutlak”.
Yang disebut “Yang-Mutlak” ini
dalam agama Buddha adalah tidak bisa dikatakan. Sejalan dengan pengertian Tao,
“ TAO yang dapat dibicarakan bukanlah TAO yang sebenarnya atau yang abadi dan
nama yang dapat diberikan bukanlah nama sejati “ ( Tao Tee Cing ). Dalam ajaran
Kejawen, “Yang-Mutlak” ini adalah “ Tan-Kena-Kinaya-Ngapa”,
“Ora-Arah-Ora-Enggon”,
“Kang-Langgeng-Tan-Owah-Gingsir-TANPA-KAWITAN-TANPA-WEKASAN”. Jadi, kalau masih
bisa “Kinaya-Ngapa” / “Di-Seperti-Apakan” , bisa ditunjukan
“Arah-dan-Tempat”-nya, “Wujud”-nya, maka itu bukanlah “Yang-Mutlak”.
Pernyataan Sang Buddha mengenai kesalah-pahaman Maha-Brahma
dalam mengidentifikasikan dirinya sebagai “Maha-Pencipta” ,
“Bapa-Semua-Makhluk”, bisa kita temui dalam Brahmajala-Sutta, yang bunyinya
sebagai berikut :
“ Para Bhikkhu, pada suatu masa yang lampau, setelah
berlangsungnya suatu masa yang lama sekali, “bumi ini belum ada”. Ketika itu
umumnya makhluk-makhluk hidup di alam dewa Abhassara, disitu mereka hidup
ditunjang oleh kekuatan pikiran, diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya
dan melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, mereka hidup demikian
dalam masa yang lama sekali.
Demikianlah pada suatu waktu yang lampau, ketika
berakhirnya suatu masa yang lama sekali, bumi ini mulai berevolusi dalam proses
pembentukan, ketika hal ini terjadi alam Brahma kelihatan dan masih kosong. Ada
makhluk dari alam dewa Abhassara yang masa hidupnya atau “pahala karma baiknya”
untuk hidup di alam itu telah habis, ia meninggal dari alam Abhassara itu dan
terlahir kembali di alam Brahma. Disini, ia hidp ditunjang pula oleh keuatan
pikirannya, diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya-cahaya dan
melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, ia hidup demikian dalam
masa yang lama sekali.
Karena terlalu lama ia hidup sendirian disitu, maka dalam
dirinya muncullah rasa ketidakpuasan, juga muncul suatu keinginan, “O semoga
ada makhluk lain yang datang dan hidup bersama aku disini!”
Pada saat itu ada makhluk lain yang disebabkan oleh masa
usianya atau pahala karma baiknya telah habis, mereka meninggal di alam
Abhassara dan terlahir kembali di alam Brahma sebagai pengikutnya, tetapi dalam
banyak hal sama dengan dia.
Para Bhikkhu, berdasarkan itu, maka makhluk pertama yang
terlahir di alam Brahma berpendapat : “Aku Brahma, Maha Brahma, Maha Agung,
Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan Dari Semua, Pembuat, Pencipta, Maha
Tinggi, Penentu Tempat Bagi Semua Makhluk, Asal Mula Kehidupan, BAPA DARI YANG
TELAH ADA DAN YANG AKAN ADA. SEMUA MAKHLUK INI ADALAH CIPTAANKU.”
Mengapa demikian ? Baru saja berpikir, semoga mereka
datang, dan berdasarkan pada keinginanku itu maka makhluk-makhluk ini muncul.”
Makhluk-makhluk itu pun berpikir, “ Dia Brahma, Maha
Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan Dari Semua, Pembuat,
Pencipta, Maha Tinggi, Penentu Tempat Bagi Semua Makhluk, Asal Mula Kehidupan,
BAPA DARI YANG TELAH ADA DAN YANG AKAN ADA. KITA SEMUA ADALAH CIPTAANNYA”.
Mengapa ? Sebab, setahu kita, Dialah yang lebih dahulu
berada disini, sedangkan kita muncul sesudah-Nya. “
Para Bhikkhu, dalam hal ini makhluk pertama yang berada
disitu memiliki usia yang lebih panjang, lebih mulia, lebih berkuasa daripada
makhluk-makhluk yang datang sesudahnya.
Para Bhikkhu, selanjutnya ada beberapa makhluk yang
meninggal di alam tersebut dan terlahir kembali di bumi.
Setelah berada di bumi ia meninggalkan kehidupan berumah
tangga dan menjadi petapa. Karena hidup sebagai petapa, maka dengan
bersemangat, tekad waspada dan kesungguhan bermeditasi, pikirannya terpusat,
batinnya menjadi tenang dan memiliki kemampuan untuk mengingat kembali satu
kehidupannya yang lampau, tetapi tidak lebih dari itu.
Mereka berkata, “ Dia
Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan Dari
Semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu Tempat Bagi Semua Makhluk, Asal
Mula Kehidupan, BAPA DARI YANG TELAH ADA DAN YANG AKAN ADA. Dialah yang
menciptakan kami, ia tetap kekal selamanya, tetapi kami yang diciptakannya dan
datang kesini adalah tidak kekal, berubah dan memiliki usia yang terbatas”.
Namun, para Brahma dan Maha-Brahma ini ,akhirnya, setelah
mendapatkan penjelasan / pengajaran dari Sang Buddha, barulah ia memahami bahwa
ia bukanlah “Awal-dan-Tujuan-Semua-Makhluk”, bukan “Sangkan-Paraning-Dumadi”.
Penjelasan terperinci mengenai hal ini bisa dibaca di Samyutta-Nikaya.
Rupadhatu / Rupaloka ini adalah alam dimana makhluk-makhluk
merasa senang karena kebahagiaan Jhana ( Kegembiraan Luar Biasa ), yang dicapai
dengan melepaskan nafsu keinginan indria. Jika seseorang ingin terlahir dalam
“Rupadhatu” atau “Rupabrahma”, maka ia harus melepaskan keduniawian, mengikis
nafsu indria, dan kemudian hidup bertapa untuk mencapai “Jhana” :
1. Petapa yang berhasil mencapai Jhana I dan jika ia
pertahankan hingga saat kematiannya ( ketika detik-detik meninggal ia tetap
teguh dalam samadhi di Jhana I ), maka ia akan terlahir di alam Brahma tingkat
1, 2, dan 3.
2. Petapa yang berhasil mencapai Jhana II dan jika ia
pertahankan hingga saat kematiannya ( ketika detik-detik meninggal ia tetap
teguh dalam samadhi di Jhana II ), maka ia akan terlahir di alam Brahma tingkat
4, 5, dan 6.
3. Petapa yang berhasil mencapai Jhana III dan jika ia
pertahankan hingga saat kematiannya ( ketika detik-detik meninggal ia tetap
teguh dalam samadhi di Jhana III ), maka ia akan terlahir di alam Brahma
tingkat 7, 8, dan 9.
4. Petapa yang berhasil mencapai Jhana IV dan jika ia
pertahankan hingga saat kematiannya ( ketika detik-detik meninggal ia tetap
teguh dalam samadhi di Jhana IV ), maka ia akan terlahir di alam Brahma tingkat
10, 11, dan 12 ( dimana alam Brahma ke-12 ini, dibagi lagi menjadi 5 alam ,
baca kembali “Rupadhatu” ).
Untuk alam Brahma ke-12, Suddhavasa ( beserta kelima alam
turunannya ), yaitu “ Tempat Kediaman Sejati “, adalah alam khusus para Anagami
( Yang Tak Pernah Kembali, baca kembali “Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam
Buddhisme “ ), makhluk biasa tidak dilahirkan dalam keadaan ini. Sehingga,
untuk bisa terlahir dialam ini harus mencapai Jhana keempat dan telah mendapat
“magga” sampai anagami. Untuk mencapai Anagami, seseorang harus melenyapkan
kelima belenggu sebagai berikut ini :
1. Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa, atau “AKU”
yang kekal ( sakkaya-ditthi ).
2. Keragu-raguan yang skeptis pada Buddha, Dhamma, Sangha,
dan tentang kehidupan yang lampau dan kehidupan yang akan datang, juga keraguan
kepada hukum sebab-akibat ( vicikiccha ).
3. Kemelekatan pada suatu kepercayaan bahwa hanya dengan
melaksanakan aturan-aturan dan upacara keagamaan seseorang dapat mencapai
kebebasan( silabbata-paramasa ).
4. Nafsu indriya ( kama-raga ).
5. Dendam dan dengki ( vyapada ).
CIRI-CIRI PARA “BRAHMA”
Para Brahma hidup di alam Rupadhatu. Yang membedakan dengan
alam surga dilingkup-keindriaan / Kamadhatu adalah, bahwa dialam Rupadhatu
bentuk-bentuk materi yang kasar telah lenyap, yang ada adalah bentuk-bentuk
materi yang lebih halus, jauh lebih halus daripada dewa apapun yang terdapat di
Kamadhatu.
Penghuni Rupadhatu juga merupakan dewa, hanya, untuk
membedakan dengan para dewa Kamadhatu, mereka disebut : Brahma. Waktu hidup /
umur para Brahma jauh lebih lama dibanding para dewa Kamadhatu. Di ala mini,
nafsu-nafsu indria sudah mereda, termasuk nafsu sexual.
Di alam Rupadhatu ini sudah mulai tidak terdapat perbedaan
jenis kelamin. Brahma, yang meskipun disebut sebagai “BAPA” Alam-Semesta,
“BAPA” dari semua makhluk, tidaklah tepat jika dinyatakan berjenis kelamin
laki-laki, karena dialam Brahma ini, sudah tidak terdapat laki-laki maupun
perempuan. Ini sekaligus untuk menjawab kebingungan para ummat samawi, “Apakah
jenis kelamin Bapa kita di surga ? Apakah Bapa seorang laki-laki, atau
perempuan ? “ Jawabannya, “Bukan Laki-laki , bukan pula perempuan “.
Sesungguhnya, jauh sebelum Kristus lahir, jauh sebelum Nabi Muhammad lahir,
bahkan jauh sebelum Sang Buddha lahir, orang-orang India kuno telah mengenal
“Bapa-Yang-Kekal-Abadi” yang berdiam dalam “Kerajaan-Surga”, yaitu di alam
“Brahma” tersebut. Brahma inilah “Bapa” yang dikenal oleh ummat manusia hingga
sekarang ini.
Mengapa ummat manusia bisa salah paham sehingga menyebut
ada “Bapa” dari segenap alam semesta ini ? Karena Brahma mempunyai usia yang
panjang, dimana Maha Brahma tersebut berusia 1 Asankheyya Kappa, dimana 1 A.K
tersebut = 20 Antara Kappa, dan 1 Kappa adalah satu siklus dunia, , dan usia
Maha Brahma adalah sama dengan 20 kali siklus dunia. Beberapa sarjana
menyatakan 1 Asankheyya Kappa ini jika ditulis dalam Aljabar maka sama dengan
angka satu ( 1 ) diikuti 140 angka “nol” ( 0 ), atau 10 pangkat 14 ( Coba
dituliskan sendiri, hehehehe… ).
Komentar