Telaah Iptek tentang Kelahiran dan Kematian
[Gandhabba dan Patisandhi Winyana]
Oleh Gunaratna
Gandhabba Faktor non-Biologis dalam Kelahiran.
Sains modern di abad materi ini mencoba menjelaskan kelahiran
berdasarkan premis-premis yang dapat dijangkau indera, dengan kata lain, yang
berasal dari kehidupan saat ini. Karenanya para ahli biologi hanya dapat
menyatakan bahwa bersatunya sel sperma dari ayah dan sel telur dari ibu akan
menghasilkan kelahiran seorang anak. Bahwa karakteristik mental orang tua dan
para leluhur sedarah lainnya dapat menurun pada anak tersebut.
Tapi, biologi hanya mengenal faktor
keturunan dan faktor lingkungan. Ia tidak pernah menyentuh faktor spiritual,
sehingga tidak pernah berhasil memberi jawaban yan tuntas. Ambil contoh kasus
dua orang anak dari orang tua yang sama dan hidup di lingkungan yang sama.
Mengapa salah seorang anak itu hidup sehat sejak lahirnya, sedangkan yang
satunya lemah fisik sejak lahir? Jawaban yang mungkin adalah kondisi ibu yang
berbeda saat mengandung dua orang anak tersebut. Sekarang, bagaimana
halnyadengan dua orang anak kembar yang lahir dari kandungan yang sama, dan
tumbuh di lingkugan yang sama pula.
Mengapa sampai terdapat perbedaan
fisik dan mental pada kedua anak tersebut? Misalnya kasus kembar Siam bernama
Chang dan Eng yang tubuhnya menyatu sejak lahir. Mereka juga tumbuh di
ligkungan yang identik. Tapi para ahli di London yang mengamatinya melaporkan
perbedaan watak yang besar pada kedua anak itu. Selain itu, Chang nampak
ketagihan minuman keras sementara Eng seorang pecandu teh. Dapatkah teori
keturunan dan teori lingkungan menjelaskan kasus anak-anak ajaib baik di Timur
dan di Barat, dimana orang tua maupun leluhur anak-anak itu tidak menunjukkan
tanda-tanda atau kecendurangan yang sama?
Pertanyaan-pertanyaan yang tidak
terjawab ini seharusnya merangsang piiran yang kritis untuk berpaling kepada
suatu faktor di luar faktor-faktor keturunan dan lingkungan. Pun jelas amat
keliru jika kita menganggap bahwa organisme batin dan jasmani manusia yang
rumit ini hanya berasal dari pertemuan sperma dan sel telur, dua faktor yang
murni bersifat jasmaniah. Mesti ada campur tangan faktor ketiga, yang batiniah
sifatnya, hingga terbentuk sebuah kehidupan.
Minyak dan sumbu tidak akan berubah
menjadi nyala pelita, hingga sebuah pemantik api menyulutkan api diujungnya.
Begitu pula, gabungan dua faktor jasmani sel sperma dan sel telur tidak akan
menyalakan kehidupan embrio yang merupakan gabungan batin dan jasmani. Harus
ada faktor batiniah sebagai pemantiknya. Lebih lanjut, para ahli biologi
menentukan jenis kelamin embrio berdasarkan perpaduan kromoson yang terkandung
dalam sel sperma ayah dan sel telur ibu. Sel sperma diakatakan mengandung satu
kromoson X dan satu kromoson Y.
Pada saat pembuahan, sel sperma
bersatu dengan sel telur, dan membentuk sel baru yang akan menjadi embrio. Tapi
kombinasi kromoson-kromoson di dalamnya tidak
selalu menghasilkan jenis kelamin tertentu. “Encyclopedia of the Biological
Sciences” (edisi ke-6 th 1968) yang disunting oleh Prof. Peter Gray. Ahli
biologi dari Universitas pittsburgh, menyimpulkan uraian panjang tentang
genetika dengan kalimat: “Banyak gambaran tentang prilaku gen bersifat
hipotetis dan masih terus diteliti detil-detilnya”.
Dalam buku “Bbiologi for the Modern
World” karya Prof.C.H.Waddington, ahli genetika hewan dari Universitas Ediburgh,
menyatakan: ”Kromoson-kromoson mempengaruhi jenis hormon yang diproduksi embrio.
Embrio dengan kromoson XY akan memproduksi hormon pria, sedangkan kromoson
XX akan memproduksi hormon wanita. Dalam
sistem ini, perbedaan tersebut sangat tergantung pada mekanisme tubuh yang
memisahkan pasangan kromoson-kromoson itu menjadi kromoson sebuah sel tunggal..
Tapi seringkali mekanisme itu menyimpang dari pola yang ada... dan
penelitian atas penyimpangan itu baru mencapai tahap awal”. Prof.weddington
menemukan bhawa seringkali kobinasi pasangan-pasanagn kromoson yang seharusnya
menghasilkan embrio pria, nyatanya menghasilkan embrio wanita.Demikian pula
sebaliknya. Karena itulah empat orang Profesor (krupp. Swertz. Jawetsz. dan
Biglieri) manyatakan dalam buku mereka “Physician’s handbook” pada bab yang
berjudul “Chromosomal Sex Determination” : “Kita belum dapat mengindetikkan
jenis kelamin kromoson dengan jenis kelamin gen”.
Buddha Gotama yang hidup
berabad-abad lalu lebih awal dari para ilmuwan itu telah menyatakan bahwa
semata-mata faktor jasmaniah seeprti sel sperma dan sel telur, tidak dapat
menimbulkan kelahiran embrio. Manusia adalah orgnisme batin dan jasmani, karena
faktor-faktor yang menyebabkan keberadaannya haruslah bersifat batiniah
disamping jasmaniah.
Dalam Maha Tanha Sangkhaya Sutta
Majjhima Nikaya 38, Buddha Gotama menyatakan bahwa selain bersatunya
ayah dan ibu yang sedang masa subur, harus ada sesuatu yang disebut faktor Gandhabba. Kata Gandhabba ini secara
harafiah berarti ‘orang asing’ atau ‘Orang yang datang dari jauh’.
Variasi dari kata ini adalah ‘Gantabba’ dan ‘Gacchati’, yang berarti ‘seseorang
yang harus pergi’. Dengan kata lain istilah tersebut merujuk pada seseorang
yang mati disuatu tempat, bukan faktor orang tua. ‘Gandhabba’ menunjuk pada corak batin seseorang sebelum ia mati,
yang mewarnai kesadaran penyambung (patisandhi winyana), yang memberi corak
pada gabungan sel sperma dan sel telur, hingga terbentuk sebuah embrio. Ia
adalah energi kehidupan yang ‘pergi’
dari orang mati tadi, dan ‘datang dari
jauh’ ke dalam rahim ibu melalui patisandhi winyana.
Patisandhi winyana kesadaran setelah mati.
‘Patisandhi Winayana’ adalah kesadaran yang menyambung kesadaran akhir
saat seseorang mati dengan ‘kesadaran awal’ dari sebuah embrio. Mengenai hal
ini, sains modern mulai dapat menyentuh apa yang diajarkan Buddha Gotama
puluhan abad silam. Sebuah lembaga psikiatri bernama Emile Coue of Nancy
melakukan penelitian, dengan cara memberi latihan-latihan sebelum dan sesudah
tidur kepada sejumlah responden. Psikologi telah membuktikan bahwa kesadaran
seseorang saat menjelang tidur,mempunyai pengaruh kuat pada kesadaran awal
ketika terbangun dari tidurnya.
Jika misalnya seseorang hendak naik
kereta api pagi dan sebelum tidur mencamkan pada diri sendiri untuk bangun
lebih awal, maka ia benar-benar akan bangun lebih awal dari jadwal kereta api
pada pagi harinya. Hal ini sudah menjadi pengalaman biasa, bahkan bagi mereka
yang tidak baisa bangun pagi. Lebih jauh ahli-ahli psikologi itu menarik
hipotesis bahwa kesadaran akhir seseorang menjelang kematiannya (sebagai suatu
tidur panjang) merupakan kesadaran awal saat ia terbangun pada kelahirannya
yang baru.
Buddha Gotama menyatakan, bahwa
didorong oleh keinginan untuk menjadi atau mengada (bhawa-tanha) yang melandasi
hampir semua aktifitas manusia, maka pada saat kematian seseorang keinginannya
berubah menjadi suatu kekuatan mental yang terus melekat dan mencari bentuk kehidupan
baru (upadana-melekat).
Keinginan untuk menjadi itu
seakan-akan suatu energi yang terkonsentrasi saat kematian menjelang, yang
seperti ditulis oleh Dr.E.R.Roast
dalam bukunya ‘Nature of Consciousness’.
‘...terkunci dalam sel-sel otak, dalam ujud kesadarn, Ia tidak hilang atau
melebur di angkasa, melainkan seeprti dalam hdup ini dimana kesadaran merupakan
suatu arus kehidupan, demikian pula ia
tetap merupakan arus yang hidup bahkan setelah seseorang dinyatakan
mati’.
Dalam perjalanannya, ‘arus’
kehidupan itu mebutuhkan kromoson-kromoson kehidupan yang baru, dalam bentuk embrio.
Untuk dapat mencapai embrio itulah, ia memerlukan media dari jenis yang sama,
yaitu kesadaran penyambung yang disebut ‘patisandhi winyana’. Selanjutnya
‘arus’ kehidupan itu akan menggetarkan rahim seorang ibu, bukan sembarang ibu,
tapi yang cocok dengan tumpukan karma dalam kehidupan yang lalu.
Seperti dikatakan oleh Y.M. Nyanatiloka Mahathera: “Di saat
kematiannya, seseorang yang masih sangat terikat pada kehidupan akan melepaskn
kekuatan karmanya, seperti selarik sinar yang ditembakkan, melesat menuju rahim
ibu yang siap menerimanya.” Hal ini diulangi tidak kurang dan tidak lebih oleh Schopenhauer, seorang filsuf Jerman
dalam kata-katanya: “Di saat menjelang kematian itulah seluruh kekuatan
misterius dalam diri manusia beraksi menentukan nasib (manusia itu)
selanjutnya.”
Penerjemah: Sraddha.
Penyunting akhir: B.Sudhammacaro.
Komentar