"Petruk Dadi Ratu adalah Simbol Perlawanan terhadap Oligarki".
Fadli Zon Kembali Sindir Jokowi dengan 'Petruk Dadi Ratu'
Arief Ikhsanudin - detikNews-Selasa, 12 Feb 2019 12:38 WIB.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon kembali menyindir Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti kisah 'Petruk Dadi Ratu' (Petruk jadi ratu). Maksudnya, orang yang tidak cakap menjadi pejabat tapi mendapat keberuntungan menjadi raja.
"Saya ingin mulai dengan cerita Petruk Dadi Ratu. Singkat cerita, Petruk menjadi Prabu Kantong Bolong, lalu menjadi raja saat dapat Wahyu Keprabon. Saat lepas, dia menjadi Petruk lagi," ucap Fadli dalam diskusi di Seknas Prabowo Sandi, Jalan HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (12/2/2019).
"Saya ingin mulai dengan cerita Petruk Dadi Ratu. Singkat cerita, Petruk menjadi Prabu Kantong Bolong, lalu menjadi raja saat dapat Wahyu Keprabon. Saat lepas, dia menjadi Petruk lagi," ucap Fadli dalam diskusi di Seknas Prabowo Sandi, Jalan HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (12/2/2019).
Saat Petruk kembali menjadi wujud semula, dia selalu berbuat salah. Apa yang dilakukan pasti bermasalah.
"Setelah itu, apa yang dilakukan salah. Pakai baju salah, naik motor salah. Mau ulang kata-kata bocor saja mikrofon yang tendang mulutnya," ucap Wakil Ketua DPR itu.
Menurut Fadli, inti ceritanya adalah soal kapasitas menjadi pemimpin atau pejabat.
"Saat dia dapat Wahyu Keprabon, dia jadi raja. Setelah Wahyu Keprabon hilang, maka dia kembali. Masalahnya memang kapasitas," ucap Fadli.
"Setelah itu, apa yang dilakukan salah. Pakai baju salah, naik motor salah. Mau ulang kata-kata bocor saja mikrofon yang tendang mulutnya," ucap Wakil Ketua DPR itu.
"Saat dia dapat Wahyu Keprabon, dia jadi raja. Setelah Wahyu Keprabon hilang, maka dia kembali. Masalahnya memang kapasitas," ucap Fadli.
Terkait soal perumpamaan 'Petruk Dadi Ratu', Fadli pernah membuat puisi
dengan judul 'Petruk Jadi Raja'. Puisi itu dibuat pada November 2018.
Fadli Zon menyindir soal poster 'Raja Jokowi' dengan bertanya-tanya apakah perlu Indonesia menjadi kerajaan sehingga dibuat poster 'Raja'. Sindiran tersebut berujung lahirnya puisi berjudul 'Petruk Jadi Raja'.
Fadli Zon menyindir soal poster 'Raja Jokowi' dengan bertanya-tanya apakah perlu Indonesia menjadi kerajaan sehingga dibuat poster 'Raja'. Sindiran tersebut berujung lahirnya puisi berjudul 'Petruk Jadi Raja'.
tirto.id - Saling
serang antarpendukung capres dan cawapres terus terjadi. Pada Selasa
(12/2/2019) Fadli Zon, pendukung pasangan Prabowo-Sandi, menyindir
Jokowi sang petahana. Fadli kembali menggunakan lakon wayang Petruk Dadi
Ratu sebagai bahan sindiran.
“Saya ingin mulai dengan cerita Petruk Dadi Ratu. Singkat cerita, Petruk
menjadi Prabu Kantong Bolong, lalu menjadi raja saat dapat Wahyu
Keprabon. Saat lepas, dia menjadi Petruk lagi […] Masalahnya memang
kapasitas,” ungkapnya seperti dikutip
Baca selengkapnya di artikel "Petruk Dadi Ratu adalah Simbol Perlawanan terhadap Oligarki", https://tirto.id/dg6v
Baca selengkapnya di artikel "Petruk Dadi Ratu adalah Simbol Perlawanan terhadap Oligarki", https://tirto.id/dg6v
Oleh: Irfan Teguh - 16
Februari 2019
Dibaca Normal 3 menit
Lakon Petruk Dadi Ratu yang disitir Fadli Zon sebenarnya mengandung
makna lebih dalam: itulah cara rakyat mendobrak oligarki.
tirto.id - Saling serang antarpendukung capres dan cawapres terus
terjadi. Pada Selasa (12/2/2019) Fadli Zon, pendukung pasangan
Prabowo-Sandi, menyindir Jokowi sang petahana. Fadli kembali menggunakan
lakon wayang Petruk Dadi Ratu sebagai bahan sindiran.
“Saya ingin mulai dengan cerita Petruk Dadi Ratu. Singkat cerita, Petruk
menjadi Prabu Kantong Bolong, lalu menjadi raja saat dapat Wahyu
Keprabon. Saat lepas, dia menjadi Petruk lagi […] Masalahnya memang
kapasitas,” ungkapnya seperti dikutip Detik.
Pada November 2018 ia bahkan membuat puisi untuk menajamkan sindirannya
saat beredar poster bergambar Jokowi memakai mahkota yang membuatnya
seolah-olah seorang raja. Berikut sepenggal puisi itu:
“Petruk bertahta di singgasana
mimpi perbaiki keadaan
tak tahu apa mau dilakukan
merusak aturan tatanan
semua jadi dagelan”
Lakon Petruk Dadi Ratu mendapat banyak perhatian dari pelbagai kalangan,
baik politikus, sejarawan, seniman, maupun akademisi. Dan tentu saja
dengan beragam tafsirnya.
Antropolog Paul Stange dalam Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan
Jawa (2008) sempat mencatat sebuah peristiwa yang dipantik oleh lakon
ini saat Orde Baru masih berkuasa.
Warsa 1971, sebelum pemilu digelar, seorang pemain wayang orang bernama
Surono ditahan aparat keamanan. Petruk yang tengah berkuasa yang ia
perankan tertimpa sebuah pohon beringin. Alih-alih melindungi, pohon itu
justru membuatnya celaka.
Baca juga: Pagelaran Wayang Ditolak Padahal Lekat dengan Pesan Sosial
Di tangan Surono, dengan penambahan ceritanya tentang Petruk yang
tertimpa pohon beringin, lakon ini dipakai untuk menyindir rezim Orde
Baru.
“Dalam konteks ini, hal tersebut ditafsirkan sebagai pernyataan bahwa
Golkar, yang kebetulan berlambang beringin mungkin akan berakibat tidak
baik bagi Soeharto,” tulis Stange.
Benedict Anderson, Indonesianis yang sempat dicekal masuk Indonesia,
menulis artikel bertajuk “Petrus Dadi Ratu” di jurnal New Left Review
(Mei-Juni 2000) untuk memaparkan keterlibatan Soeharto dalam peristiwa
G30S. Penjelasan Anderson didasarkan atas pengakuan Kolonel Abdul
Latief, bekas Komandan Brigade I Kodam V Jakarta Raya, yang terlibat
dalam malam berdarah tersebut.
Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun itu dinilai culas dan bertakhta
dari peristiwa goro-goro, mirip Petruk yang menjadi raja saat orang lain
bertikai.
Pandangan lain yang menggunakan lakon Petruk Dadi Ratu untuk mengkritisi
pemimpin nasional adalah Sri-Bintang Pamungkas. Dalam Ganti Rezim Ganti
Sistim: Pergulatan Mengusai Nusantara (2014), dengan menyitir ramalan
Jayabaya, ia menilai kursi presiden ketujuh yang diraih Jokowi lahir
karena faktor luar yang sangat dominan, bukan kapasitas dirinya.
“Konon Petruk yang seorang kawula, di antara para pelayan atau Punakawan
para Ksatria dan Raja, tiba-tiba memimpikan menjadi Raja, dia
berkesempatan mencuri Jimat Kalimasada (benda suci yang bertuah, berasal
dari kata-kata “dua kalimat Syahadat” dalam agama Islam) […] Seketika
Petruk berubah menjadi Raja, lalu berperilaku yang aneh-aneh, tidak
rasional,” tulisnya.
Dalam konteks kontemporer, hal ini ia padankan dengan terpilihnya Jokowi
karena permainan media sosial yang menyebarluaskan pelbagai cerita
sanjungan yang meningkatkan popularitasnya. Polesan-polesan ini akhirnya
membuat “Petruk” dipuji dan dianggap seolah-olah berilmu tinggi.
Kritik Wong Cilik sebagai Penyelamat
Dalam trilogi Nusa Jawa Silang Budaya (2018), tepatnya pada bagian
ketiga yang bertajuk Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, sejarawan
Denys Lombard menyebut Petruk sebagai punakawan yang berniat jahat untuk
menarik keuntungan pribadi lewat kesaktian jimat Kalimasada.
Perang antara Bambang Priyambada dan Dewi Mustakaweni menyebabkan jimat
Kalimasada—yang ditafsirkan kaum Muslim sebagai deformasi dari kalimat
syahadat—akhirnya jatuh ke tangan Priyambada. Ia memercayakan jimat
tersebut kepada Petruk, abdinya yang setia agar menyimpannya di tempat
yang aman.
Namun, ternyata Petruk menggunakannya untuk meraih kekuasaan dan menjadi
raja serta memakai gelar Prabu Belgeduwelbeh Tongtongsot. Para raja dan
bangsawan negeri Astina, Amarta, dan Dwarawati kemudian bergerak untuk
menghentikan petualangan Petruk.
Gareng dan Semar sebagai saudara dan bapaknya Petruk pun ikut turun
tangan untuk menghentikannya. Pada akhir cerita, Petruk akhirnya
mengalah dengan mengembalikan jimat Kalimasada yang bukan haknya.
Setelah kejadian itu, para dewa meminta kepada Pandawa untuk tidak
bersikap keras kepada Petruk.
Baca juga: MRT Ratangga dan Sejarah Obsesi Pejabat terhadap Dunia Wayang
Lombard menilai lakon ini merupakan khas punakawan yang
merepresentasikan rakyat jelata dalam mengkritisi kekuasaan.
Kehadirannya selalu dalam kebebasan tertentu dalam berbahasa dan
bertingkah laku.
“Jika dalam kenyataan mereka pada akhirnya selalu tunduk dan patuh,
mereka tidak ragu-ragu mengungkapkan pendapat mereka, mengomel, dan
bahkan mengkritik. Mereka sedikit banyak berfungsi sebagai katup
pengaman sosial,” tulisnya.
Karena mewakili wong cilik, kehadiran mereka selalu ditunggu-tunggu dan
disambut meriah oleh penonton. Seperti ulasan Paul Stange, Lombard juga
menyinggung soal pementasan wayang wong pada tahun-tahun setelah
peristiwa 1965.
“Bahkan ada pemeran Petruk yang 'agak kelewat' kritis memainkan perannya
sampai dijebloskan dalam penjara sesudah tahun 1965,” tambahnya.
Baca juga: Coblos Koalisi Tronjal-Tronjol Karena Dildo Adalah Kita!
Peran punakawan, dalam kasus ini Petruk, yang disebut Lombard sebagai
“katup pengaman sosial”, menurut sastrawan Seno Gumira Ajidarma justru
lebih heroik karena dianggap sebagai penyelamat pusaka negara yang
bernama jimat Kalimasada.
Dalam tuturannya, keputusan Petruk memanfaatkan jimat tersebut untuk
meraih kekuasaan dinilai para dewa sebagai sikap penyelamatan pusaka
agar tak jatuh ke tangan orang yang tidak tepat sehingga akan
menimbulkan bahaya.
Kekuasaannya yang sekejap adalah hadiah atau penghiburan baginya atas
jasanya itu. Tindak-tanduknya saat menjadi raja—yang mengherankan para
bangsawan karena perilakunya yang tetap seperti rakyat dan akhirnya
tunduk kepada Gareng dan Semar—juga menjadi titik perhatian Seno.
“Tapi apa salahnya seperti rakyat biasa? Selain itu, benarkah segala hal
yang tidak mampu diatasi oleh para punggawa, akhirnya harus
diselesaikan oleh rakyat juga—seperti kasus Petruk yang hanya bisa
diatasi oleh Semar dan Gareng?” tulisnya dalam Surat dari Palmerah:
Indonesia dalam Politik Mehong 1996-1999 (2002).
Infograftik Petruk Dadi Ratu
Petruk Mendobrak Oligarki
Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia, menuturkan
bahwa dalam konteks filosofi Jawa para punakawan adalah rakyat kecil
yang sebetulnya berpura-pura. Di balik itu mereka sebetulnya adalah para
dewa.
“Filosofi ini sejatinya membela rakyat kecil, artinya jangan main-main
dengan rakyat kecil. Dalam konteks kekuasaan, lakon Petruk Dadi Ratu ini
adalah sebuah carangan (cerita tambahan yang keluar dari pakem) dalam
menghadapi persoalan-persoalan kekuasaan,” ucapnya.
Ia menambahkan, lakon ini adalah sindiran terhadap kekuasaan tentang
bagaimana jika rakyat menjadi penguasa. Polah Petruk saat menjadi raja
merupakan tingkah rakyat yang sederhana: kadang salah, kadang
terpeleset, dengan tujuan untuk mendobrak kemandekan kekuasaan.
“Mendobrak kemandekan, mendobrak ketidaksesuaian, masalah moral, dan
sebagainya. Jadi kalau Petruk jadi ratu, ia akan membuat
perubahan-perubahan, seperti pola kekuasaan, sikap kekuasaan, tindakan,
dan moral. Ini sebuah sindiran sebetulnya,” terang Prapto.
Dalam pelbagai penuturan di atas, Petruk si rakyat jelata, yang
dikisahkan menjadi raja dengan segala kekurangannya, sejatinya mempunyai
konteks. Lakon ini tak dibangun untuk sekadar menunjukkan kegagapan
rakyat jelata ketika mendapat kuasa, tapi ada makna yang lebih jauh.
Dalam konteks politik kiwari, misalnya, dominasi oligarki mesti didobrak
oleh rakyat agar kekuasaan tak melulu berputar di sekeliling elite lama
atau kelompok tertentu.
Baca juga artikel terkait WAYANG atau tulisan menarik lainnya Irfan
Teguh
(tirto.id - Politik)
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Baca selengkapnya di artikel "Petruk Dadi Ratu adalah Simbol Perlawanan terhadap Oligarki", https://tirto.id/dg6v
Baca selengkapnya di artikel "Petruk Dadi Ratu adalah Simbol Perlawanan terhadap Oligarki", https://tirto.id/dg6v
Oleh: Irfan Teguh - 16 Februari 2019
Baca selengkapnya di artikel "Petruk Dadi Ratu adalah Simbol Perlawanan terhadap Oligarki", https://tirto.id/dg6v
Baca selengkapnya di artikel "Petruk Dadi Ratu adalah Simbol Perlawanan terhadap Oligarki", https://tirto.id/dg6v
Oleh: Irfan Teguh - 16 Februari 2019
Baca selengkapnya di artikel "Petruk Dadi Ratu adalah Simbol Perlawanan terhadap Oligarki", https://tirto.id/dg6v
Baca selengkapnya di artikel "Petruk Dadi Ratu adalah Simbol Perlawanan terhadap Oligarki", https://tirto.id/dg6v
Petruk Dadi Ratu adalah
Simbol Perlawanan terhadap Oligarki
Pertunjukan wayang kulit dengan lakon "Petruk Dadi Ratu" oleh dalang Ki
Seno Nugroho di kompleks Masjid Mataram, Kota Gede, Bantul, Yogyakarta.
Foto Antara/Yoga Pradeva
Pertunjukan wayang kulit dengan lakon "Petruk Dadi Ratu" oleh dalang Ki
Seno Nugroho di kompleks Masjid Mataram, Kota Gede, Bantul, Yogyakarta.
Foto Antara/Yoga Pradeva
Oleh: Irfan Teguh - 16 Februari 2019
Dibaca Normal 3 menit
Lakon Petruk Dadi Ratu yang disitir Fadli Zon sebenarnya mengandung
makna lebih dalam: itulah cara rakyat mendobrak oligarki.
tirto.id - Saling serang antarpendukung capres dan cawapres terus
terjadi. Pada Selasa (12/2/2019) Fadli Zon, pendukung pasangan
Prabowo-Sandi, menyindir Jokowi sang petahana. Fadli kembali menggunakan
lakon wayang Petruk Dadi Ratu sebagai bahan sindiran.
“Saya ingin mulai dengan cerita Petruk Dadi Ratu. Singkat cerita, Petruk
menjadi Prabu Kantong Bolong, lalu menjadi raja saat dapat Wahyu
Keprabon. Saat lepas, dia menjadi Petruk lagi […] Masalahnya memang
kapasitas,” ungkapnya seperti dikutip Detik.
Pada November 2018 ia bahkan membuat puisi untuk menajamkan sindirannya
saat beredar poster bergambar Jokowi memakai mahkota yang membuatnya
seolah-olah seorang raja. Berikut sepenggal puisi itu:
“Petruk bertahta di singgasana
mimpi perbaiki keadaan
tak tahu apa mau dilakukan
merusak aturan tatanan
semua jadi dagelan”
Lakon Petruk Dadi Ratu mendapat banyak perhatian dari pelbagai kalangan,
baik politikus, sejarawan, seniman, maupun akademisi. Dan tentu saja
dengan beragam tafsirnya.
Antropolog Paul Stange dalam Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan
Jawa (2008) sempat mencatat sebuah peristiwa yang dipantik oleh lakon
ini saat Orde Baru masih berkuasa.
Warsa 1971, sebelum pemilu digelar, seorang pemain wayang orang bernama
Surono ditahan aparat keamanan. Petruk yang tengah berkuasa yang ia
perankan tertimpa sebuah pohon beringin. Alih-alih melindungi, pohon itu
justru membuatnya celaka.
Baca juga: Pagelaran Wayang Ditolak Padahal Lekat dengan Pesan Sosial
Di tangan Surono, dengan penambahan ceritanya tentang Petruk yang
tertimpa pohon beringin, lakon ini dipakai untuk menyindir rezim Orde
Baru.
“Dalam konteks ini, hal tersebut ditafsirkan sebagai pernyataan bahwa
Golkar, yang kebetulan berlambang beringin mungkin akan berakibat tidak
baik bagi Soeharto,” tulis Stange.
Benedict Anderson, Indonesianis yang sempat dicekal masuk Indonesia,
menulis artikel bertajuk “Petrus Dadi Ratu” di jurnal New Left Review
(Mei-Juni 2000) untuk memaparkan keterlibatan Soeharto dalam peristiwa
G30S. Penjelasan Anderson didasarkan atas pengakuan Kolonel Abdul
Latief, bekas Komandan Brigade I Kodam V Jakarta Raya, yang terlibat
dalam malam berdarah tersebut.
Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun itu dinilai culas dan bertakhta
dari peristiwa goro-goro, mirip Petruk yang menjadi raja saat orang lain
bertikai.
Pandangan lain yang menggunakan lakon Petruk Dadi Ratu untuk mengkritisi
pemimpin nasional adalah Sri-Bintang Pamungkas. Dalam Ganti Rezim Ganti
Sistim: Pergulatan Mengusai Nusantara (2014), dengan menyitir ramalan
Jayabaya, ia menilai kursi presiden ketujuh yang diraih Jokowi lahir
karena faktor luar yang sangat dominan, bukan kapasitas dirinya.
“Konon Petruk yang seorang kawula, di antara para pelayan atau Punakawan
para Ksatria dan Raja, tiba-tiba memimpikan menjadi Raja, dia
berkesempatan mencuri Jimat Kalimasada (benda suci yang bertuah, berasal
dari kata-kata “dua kalimat Syahadat” dalam agama Islam) […] Seketika
Petruk berubah menjadi Raja, lalu berperilaku yang aneh-aneh, tidak
rasional,” tulisnya.
Dalam konteks kontemporer, hal ini ia padankan dengan terpilihnya Jokowi
karena permainan media sosial yang menyebarluaskan pelbagai cerita
sanjungan yang meningkatkan popularitasnya. Polesan-polesan ini akhirnya
membuat “Petruk” dipuji dan dianggap seolah-olah berilmu tinggi.
Kritik Wong Cilik sebagai Penyelamat
Dalam trilogi Nusa Jawa Silang Budaya (2018), tepatnya pada bagian
ketiga yang bertajuk Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, sejarawan
Denys Lombard menyebut Petruk sebagai punakawan yang berniat jahat untuk
menarik keuntungan pribadi lewat kesaktian jimat Kalimasada.
Perang antara Bambang Priyambada dan Dewi Mustakaweni menyebabkan jimat
Kalimasada—yang ditafsirkan kaum Muslim sebagai deformasi dari kalimat
syahadat—akhirnya jatuh ke tangan Priyambada. Ia memercayakan jimat
tersebut kepada Petruk, abdinya yang setia agar menyimpannya di tempat
yang aman.
Namun, ternyata Petruk menggunakannya untuk meraih kekuasaan dan menjadi
raja serta memakai gelar Prabu Belgeduwelbeh Tongtongsot. Para raja dan
bangsawan negeri Astina, Amarta, dan Dwarawati kemudian bergerak untuk
menghentikan petualangan Petruk.
Gareng dan Semar sebagai saudara dan bapaknya Petruk pun ikut turun
tangan untuk menghentikannya. Pada akhir cerita, Petruk akhirnya
mengalah dengan mengembalikan jimat Kalimasada yang bukan haknya.
Setelah kejadian itu, para dewa meminta kepada Pandawa untuk tidak
bersikap keras kepada Petruk.
Baca juga: MRT Ratangga dan Sejarah Obsesi Pejabat terhadap Dunia Wayang
Lombard menilai lakon ini merupakan khas punakawan yang
merepresentasikan rakyat jelata dalam mengkritisi kekuasaan.
Kehadirannya selalu dalam kebebasan tertentu dalam berbahasa dan
bertingkah laku.
“Jika dalam kenyataan mereka pada akhirnya selalu tunduk dan patuh,
mereka tidak ragu-ragu mengungkapkan pendapat mereka, mengomel, dan
bahkan mengkritik. Mereka sedikit banyak berfungsi sebagai katup
pengaman sosial,” tulisnya.
Karena mewakili wong cilik, kehadiran mereka selalu ditunggu-tunggu dan
disambut meriah oleh penonton. Seperti ulasan Paul Stange, Lombard juga
menyinggung soal pementasan wayang wong pada tahun-tahun setelah
peristiwa 1965.
“Bahkan ada pemeran Petruk yang 'agak kelewat' kritis memainkan perannya
sampai dijebloskan dalam penjara sesudah tahun 1965,” tambahnya.
Baca juga: Coblos Koalisi Tronjal-Tronjol Karena Dildo Adalah Kita!
Peran punakawan, dalam kasus ini Petruk, yang disebut Lombard sebagai
“katup pengaman sosial”, menurut sastrawan Seno Gumira Ajidarma justru
lebih heroik karena dianggap sebagai penyelamat pusaka negara yang
bernama jimat Kalimasada.
Dalam tuturannya, keputusan Petruk memanfaatkan jimat tersebut untuk
meraih kekuasaan dinilai para dewa sebagai sikap penyelamatan pusaka
agar tak jatuh ke tangan orang yang tidak tepat sehingga akan
menimbulkan bahaya.
Kekuasaannya yang sekejap adalah hadiah atau penghiburan baginya atas
jasanya itu. Tindak-tanduknya saat menjadi raja—yang mengherankan para
bangsawan karena perilakunya yang tetap seperti rakyat dan akhirnya
tunduk kepada Gareng dan Semar—juga menjadi titik perhatian Seno.
“Tapi apa salahnya seperti rakyat biasa? Selain itu, benarkah segala hal
yang tidak mampu diatasi oleh para punggawa, akhirnya harus
diselesaikan oleh rakyat juga—seperti kasus Petruk yang hanya bisa
diatasi oleh Semar dan Gareng?” tulisnya dalam Surat dari Palmerah:
Indonesia dalam Politik Mehong 1996-1999 (2002).
Infograftik Petruk Dadi Ratu
Petruk Mendobrak Oligarki
Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia, menuturkan
bahwa dalam konteks filosofi Jawa para punakawan adalah rakyat kecil
yang sebetulnya berpura-pura. Di balik itu mereka sebetulnya adalah para
dewa.
“Filosofi ini sejatinya membela rakyat kecil, artinya jangan main-main
dengan rakyat kecil. Dalam konteks kekuasaan, lakon Petruk Dadi Ratu ini
adalah sebuah carangan (cerita tambahan yang keluar dari pakem) dalam
menghadapi persoalan-persoalan kekuasaan,” ucapnya.
Ia menambahkan, lakon ini adalah sindiran terhadap kekuasaan tentang
bagaimana jika rakyat menjadi penguasa. Polah Petruk saat menjadi raja
merupakan tingkah rakyat yang sederhana: kadang salah, kadang
terpeleset, dengan tujuan untuk mendobrak kemandekan kekuasaan.
“Mendobrak kemandekan, mendobrak ketidaksesuaian, masalah moral, dan
sebagainya. Jadi kalau Petruk jadi ratu, ia akan membuat
perubahan-perubahan, seperti pola kekuasaan, sikap kekuasaan, tindakan,
dan moral. Ini sebuah sindiran sebetulnya,” terang Prapto.
Dalam pelbagai penuturan di atas, Petruk si rakyat jelata, yang
dikisahkan menjadi raja dengan segala kekurangannya, sejatinya mempunyai
konteks. Lakon ini tak dibangun untuk sekadar menunjukkan kegagapan
rakyat jelata ketika mendapat kuasa, tapi ada makna yang lebih jauh.
Dalam konteks politik kiwari, misalnya, dominasi oligarki mesti didobrak
oleh rakyat agar kekuasaan tak melulu berputar di sekeliling elite lama
atau kelompok tertentu.
Baca juga artikel terkait WAYANG atau tulisan menarik lainnya Irfan
Teguh
(tirto.id - Politik)
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Baca selengkapnya di artikel "Petruk Dadi Ratu adalah Simbol Perlawanan terhadap Oligarki", https://tirto.id/dg6v
Baca selengkapnya di artikel "Petruk Dadi Ratu adalah Simbol Perlawanan terhadap Oligarki", https://tirto.id/dg6v
Komentar