Petruk Jadi Raja, Kisah Pewayangan Gubahan Para Wali dan Pujangga Tanah Jawa
Written By
Soeara Rakjat
Tuesday, November 21, 2017Petruk Dadi Ratu atau Petruk Jadi Raja adalah sebuah kisah
pewayangan yang cukup populer dan hanya ditemukan di Indonesia. Lakon
Petruk Jadi Raja menjadi kisah pewayangan yang mulai dikenal seiring
dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di tanah Jawa.
Kisah Petruk Dadi Raja diyakini sebagai kisah gubahan para Wali dan Pujangga Jawa karena dalam epik Mahabharata maupun Ramayana sendiri
tidak ditemukan adanya tokoh Punakawan termasuk Petruk.
Budaya. Wayang Jawa,
adalah sebuah karya seni yang bersumber dari kisah kepahlawanan
Mahabharata. Epik Mahabharata sendiri merupakan karya sastra kuno yang
berasal dari India. Seperti halnya Odyssey dan Iliad karya Homeros dari
Yunani, Mahabharata juga erat kaitannya dengan kepercayaan atau agama
masyarakat India sejak abad 4 Sebelum Masehi.
Babad Mahabharata, secara tradisional diyakini sebagai karya dari Vyasa,
seorang resi. Kitab Mahabharata adalah gabungan dari 18 kitab atau
Astadasapurwa, yang mana kedelepanbelas kitab tersebut adalah rangkaian
kisah yang memiliki benang merah dan saling berkaitan antara satu dengan
yang lain.
Di Indonesia, kisah Mahabharata juga cukup dikenal luas oleh masyarakat
terutama di pulau Jawa. Masyarakat Jawa maupun Sunda di Jawa Barat,
begitu mengenal kisah ini dengan beragam versi yang kadang dikaitkan
dengan kearifan lokal di daerahnya masing-masing. Kisah Mahabharata
begitu dikenal karena dimasa lalu sebagian masyarakat di pulau Jawa
adalah penganut Hindu.
Agama Hindu sendiri diperkirakan sudah masuk ke tanah Jawa sejak abad ke
4 Masehi. Hal itu dapat dibuktikan dengan keberadaan kerajaan
Tarumanegara di daerah antara Bekasi dan Karawang, Jawa Barat. Kerajaan
Tarumanegara dengan salah satu raja yang terkenal Purnawarman, eksis
hingga abad ke 7.
Selain Tarumanegara, Majapahit adalah salah satu kerajaan Hindu terbesar
yang pernah ada di tanah Jawa sebelum runtuh di abad 15. Runtuhnya
Majapahit memiliki kaitan erat dengan masuknya agama Islam ke tanah
Jawa. Para penyiar Islam di tanah Jawa, yang lebih dikenal sebagai
Walisongo diyakini adalah sebagai pelopor penyebaran Islam di
Jawadwipa.
Adalah Sunan Kalijaga, yang merupakan salah satu Wali yang berdarah asli
Jawa yang diyakini pertamakali menggubah kisah Mahabharata menjadi
seperti yang kita kenal seperti sekarang. Sunan Kalijaga, banyak
menggubah kisah Mahabharata agar sesuai dengan syariat dan memiliki ciri
Islami.
Lakon Wayang yang dahulu kala menjadi tontotan paling digemari oleh
masyarakat kemudian dijadikan sebagai sarana Dakwah. Tak mengherankan
jika kemudian Sunan Kalijaga berusaha membuat lakon Wayang yang
bersumber dari kisah Mahabharata ini menjadi lebih Islami tanpa mesti
kehilangan esensi dari kisah Mahabharata itu sendiri.
Selain menggubah, Sunan Kalijaga juga banyak membuat kisah carangan,
atau rekaan. Diantara yang paling terkenal adalah Layang Jamus
Kalimusodo dan Petruk Dadi Ratu. Petruk sendiri adalah anak dari Ki
Semar Badranaya, yang merupakan tokoh Punakawan yang juga merupakan
hasil rekaan.
Selain tokoh fiktif Punakawan, salah satu yang paling kontras antara
Mahabharata asli dan versi Jawa adalah tokoh Panditha Dorna. Resi Dorna
(Drona) dalam Mahabharata merupakan maha guru ksatria Hastina, baik itu
Kurawa maupun Pandawa. Namun dalam versi Wayang Jawa, Dorna justru
mengambil peran yang identik dengan Patih Sengkuni yang memiliki sifat
fitnah dan menghasut.
Petruk Dadi Raja, merupakan sebuah kisah yang sarat Siloka dan makna.
Petruk yang hanya seorang Punakawan kemudian menjadi raja ini menandakan
bahwa seorang rakyat jelata juga bisa dan memiliki hak yang sama dengan
para ksatria. Sedangkan di era monarki, seorang raja haruslah berasal
dari para ksatria yang merupakan keturunan langsung dari sang raja.
Ki Mantheb Sudarsono, adalah seorang dalang besar yang mewakili entitas
Wayang Jawa, sementara Asep Sunandar Sunarya, di sebut-sebut sebagai
dalang Wayang Sunda terbesar. Keduanya memiliki pemahaman yang sangat
luas hingga mampu mensinergikan wayang dengan situasi dan kondisi saat
ini baik secara intelektualitas, budaya, sosial maupun politik. Keduanya
juga kerap mementaskan lakon Petruk Dadi Raja tersebut.
Namun demikian, tidak disebutkan apakah Petruk mampu mensejahterakan
rakyatnya saat menjadi raja. Sedangkan baik Amarta atau Hastinapura
sendiri diibaratkan sebagai negara Eka Adi Dasa Purwa, Sekar Wukir Gemah
Ripah Loh Jinawi. Dengan nama besar Hastina, seharusnya Harjuna,
Gatutkaca atau Bima yang lebih pantas untuk menjadi raja.
Lakon Petruk Dadi Ratu sendiri hanya ada di Indonesia, karena dalam
babad Mahabharata asli tidak ditemukan adanya tokoh Punakawan, yakni Ki
Semar dan anak-anaknya. Selain tokoh Punakawan, adalah Layang Jamus
Kalimasada yang merupakan pusaka milik para ksatria Pandawa yang
diidentikan dengan dua kalimat Syahadat.
Kesenian Wayang Kulit kemudian diaplikasikan sebagai sarana dakwah.
Penduduk dipersilahkan untuk menonton dengan syarat harus mengambil air
wudlu atau membaca dua kalimat Syahadat. Dengan cara menyisipkan syiar
Islam ke dalam kisah pewayangan, para wali merasa lebih mudah dan
diterima saat berdakwah.
Seni Wayang Kulit Purwa Cakra Baskara Subang Jawa Barat
Saat ini, pagelaran wayang kulit atau wayang golek (Sunda) masih menjadi
tontonan yang paling digemari oleh sebagian masyarakat. Di berbagai
daerah khususnya di pulau Jawa, kesenian wayang kulit berkembang pesat
dan berpadu dengan unsur seni-budaya lokal di masing-masing daerah. mch/
Soeara Rakjat: Just Think of Reading, Writing and Vlogging! We Can Share Everything!
Komentar