NEGARA TANPA AGAMA…(di-AMERIKA)…
Agama adalah nafas hidup hampir seluruh penduduk bumi. Berdasarkan
data The World Factbook CIA 2012, sekitar 90% penduduk dunia
adalah pemeluk agama.
Begitu juga dengan di Indonesia. Agama ada di setiap sendi
kehidupan, dari rumah hingga ke gedung-gedung pemerintah, menjadi urat nadinya,
penentu benar dan salah.
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Amerika, saya
bertanya-tanya ketika mengetahui bahwa di sini, antara negara dan agama,
dipisah. Kasarnya, negara tidak bisa ikut campur soal agama warganya dan agama
tidak bisa pula mengatur negara. Yang ada di pikiran saya ketika itu, pasti
bobrok sekali moral bangsa Amerika ini. Pasti agama-agama minoritas, termasuk
Islam, sangat tertindas di sini. Namun, saya keliru.
Konstitusi Tanpa Tuhan & Agama.
Jika dilihat dari demografi semata, Amerika bisa disebut sebagai
negara relijius. Berdasarkan American Religious Identification
Survey (ARIS),
sekitar 80% warganya adalah pemeluk agama, dengan 76% di antaranya adalah
pemeluk berbagai aliran Kristen Protestan (51%), serta Katolik (25%). Sementara
sisa 4% nya terdiri dari Yahudi (1.2%), Budha dan berbagai agama dari Asia
(0.9%), Islam (0.6%), serta agama-agama lainnya (1.3%).
Namun, cukup mengejutkan ketika mengetahui tidak ada satu pun kata
“Tuhan” atau “Jesus” di konstitusi Amerika, yang merupakan hukum tertinggi
negara. Kata “agama” hanya muncul sekali, itu pun sebagai penegas bahwa untuk
menjadi anggota Kongres atau pejabat publik seperti walikota, gubernur dan lain
sebagainya, tidak boleh menjadikan agama sebagai persyaratan.
Menarik untuk membayangkan bagaimana Bapak-bapak Bangsa Amerika
merancang konstitusi, lebih dari dua abad lalu. Meskipun sebagian besar mereka
diyakini memiliki kepercayaan sama, yaitu Kristen, mereka berasal dari aliran
dan sekte berbeda, dengan gaya peribadatan yang berbeda pula. Para penyusun
konstitusi ini ingin memastikan, nantinya tidak ada satu agama atau aliran pun
yang mengontrol pemerintah.
Pemisahan negara dan agama diperkuat oleh surat balasan Presiden
Thomas Jefferson kepada Gereja Danbury Baptist yang merupakan aliran Kristen
minoritas di Connecticut, pada tahun 1802. Mereka merasa kebebasan beragama
yang dinikmati saat itu, tidaklah abadi, melainkan hanya hadiah basa-basi dari
pemerintah negara bagian belaka. Namun, Jefferson menegaskan :
“Kita sama-sama percaya bahwa agama adalah urusan yang sangat
pribadi antara manusia dan Tuhannya. Sehingga para wakil rakyat tidak boleh
membuat undang-undang yang mengatur tentang keberadaan agama atau melarang
kebebasan beragama. Ini berujung pada adanya dinding pemisah antara negara dan
agama.”
Apa pengaruhnya?
Dengan penegasan Jefferson, di Amerika siapa pun berhak memeluk
agama dan kepercayaan apapun yang diyakininya atau tidak memeluk agama sama
sekali. Siapapun tidak bisa memaksa atau melarang orang lain untuk beragama
atau beribadah.
Dari segi pemerintahan, tidak ada Kementerian Agama di Amerika.
Agama juga tidak pernah ditanyakan dan dicantumkan pada kartu identitas,
misalnya KTP, karena dinilai sebagai privacy. Anggaran negara
juga tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan agama. Jadi, jika ada
pembangunan gereja, mesjid atau sinagog, serta berbagai acara keagamaan,
pemerintah tidak boleh mendanainya. Pemerintah harus netral.
Selain itu, Konstitusi Pemisahan Negara dan Agama melarang
pemasangan patung dan simbol keagamaan di kantor-kantor pemerintah. Meskipun
begitu, individu atau tempat ibadah tetap boleh memasangnya di rumah/gedung
atau di halaman mereka. Sementara, pemasangan simbol agama di tempat umum,
dinilai ilegal.
Misalnya, akhir Desember lalu Pengadilan Federal Amerika
memutuskan untuk memindahkan Mount Soledad Cross,
sebuah salib setinggi hampir 13 meter dari Gunung Soledad, San Diego,
California, yang semula didirikan sebagai monumen peringatan untuk veteran
Perang Korea. Keputusan ini diambil setelah kontroversi terus memanas, terutama
dari kelompok Ateis, yang menilai pemasangan salib di tempat umum menunjukkan
keberpihakan pemerintah pada kelompok tertentu.
Saya tambah terkejut ketika mengetahui ternyata agama tidak
diajarkan di sekolah negeri di Amerika. Bahkan, memaksa untuk berdoa atau
beribadah bersama di sekolah, dianggap mencederai hak asasi siswa yang tidak
ingin melakukannya atau yang meyakini cara lain untuk beribadah.
Semua ini didasarkan pada fakta bahwa 90% anak Amerika menuntut
ilmu di sekolah negeri. Mereka berasal dari keluarga dengan latarbelakang agama
dan kepercayaan yang berbeda. Tidak ikut serta mengatur pendidikan agama,
adalah salah satu cara yang bisa dilakukan sekolah untuk menghormati agama dan
kepercayaan setiap anak, serta melindungi hak orang tuanya.
Sulitkah Beribadah?
Meskipun terdapat tembok pemisah antara negara dan agama, di sisi
lain, kebebasan beragama sangat dijunjung. Pelajaran agama bisa didapat dengan
bebas di berbagai tempat ibadah. Tidak sedikit pula orang tua yang memasukkan
anaknya ke sekolah swasta berbasis agama, seperti sekolah Katolik, Yahudi atau
Islam.
Nilai-nilai agama juga bisa diperoleh dari berbagai organisasi.
Misalnya, untuk Muslim Indonesia di Washington, D.C. Area, bisa belajar tentang
Islam, belajar mengaji, melaksanakan Sholat berjamaah, atau ikut pesantren
kilat saat bulan Ramadan, bersama organisasi IMAAM (Indonesian Muslim
Association in America) yang telah berdiri sejak lebih dari 20 tahun lalu.
Karena kebebasan beragama ini pula, pegawai negeri Amerika, bahkan
tetap bisa beribadah di kantornya. Di kantor VOA Indonesian Service di
Washington, D.C. yang merupakan instansi pemerintah Amerika, terdapat Mushola
tempat para karyawan Muslim beribadah.
Mushola ini dulunya adalah gudang, yang kemudian disepakati untuk
dijadikan tempat Sholat. Para karyawan Indonesia kemudian memasang karpet dan
sajadah di ruang ini. Selain itu, setiap Jumat-nya, karyawan Muslim dari
seluruh servis bahasa juga bisa menggunakan aula kantor VOA sebagai tempat
pelaksanaan Sholat Jumat bersama. Saat perayaan Idul Fitri, karyawan juga
dipersilahkan untuk cuti atau masuk setengah hari agar bisa melaksanakan Sholat
Ied paginya.
Siswa sekolah negeri juga dibolehkan untuk beribadah di sekolah.
Misalnya saja, jika diminta, guru-guru SMA di Negara Bagian Virginia dan
Maryland, selalu memberi izin kepada siswa Indonesia untuk Sholat Dzuhur atau
Ashar di sekolah, bahkan saat proses belajar-mengajar berlangsung. Mereka
Sholat di ruangan yang tidak terpakai atau perpustakaan sekolah. Tidak hanya
itu, saat bulan Ramadan mereka dipersilahkan untuk tidak mengikuti kelas
olahraga.
Intinya, asal dilaksanakan individu atau kelompok secara sukarela,
tanpa paksaan, tidak membahayakan orang lain, serta tidak dibiayai dan tidak
diatur oleh negara, kegiatan agama di instansi pemerintah, dipersilahkan.
“Orang sini (Amerika)
mah, gak akan berani melarang-larang orang beribadah,” kata seorang Ibu asal Indonesia yang
telah lebih dari 15 tahun tinggal di Amerika dan mempunyai dua anak yang
bersekolah di Virginia.
Kisah Semu Terpinggirkannya Islam
Sejak kecil saya sering mendengar betapa Amerika disebut sebagai
negara yang membenci Islam. Apapun akan dilakukan negara ini untuk meruntuhkan
Islam. Siapapun yang datang akan dicuci otaknya dan dijadikan kafir. Namun,
berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan sudah nyaris setahun menghirup udara
Amerika, saya tidak bisa membuktikan tuduhan itu. Yang terjadi justru
sebaliknya.
Setelah tragedi 11
September, Islam, yang merupakan minoritas, justru
menjadi agama yang paling pesat perkembangannya di Amerika. Berdasarkan Association of Religious Data Archives,
sepuluh tahun sejak tragedi yang menewaskan lebih dari tiga ribu orang
tersebut, jumlah pemeluk Islam di Amerika meningkat 66%, dari 1.5 juta pada
tahun 2001 menjadi 2.6 juta orang tahun 2011 lalu. Kemana pun pergi, mulai dari
New York, Los Angeles, Miami, bahkan Las Vegas, Muslim dan perempuan berhijab
bukan hal yang janggal untuk ditemui.
Walaupun begitu, tidak bisa dipungkiri tragedi 11 September sempat menyulut sentimen negatif terhadap Islam.
Misalnya rencana pembakaran Al-Quran oleh Pastur Terry Jones di
Florida, pada peringatan sembilan tahun serangan 11
September, 2010 silam. Secara hukum, dia dilindungi hak kebebasan
dalam berekspresi. Namun, meski antara negara dan agama dipisah, sebelum Terry
melaksanakan aksinya, pemerintah tetap memberi himbauan.
Menteri Luar Negeri saat itu, Hillary Clinton, menyayangkan aksi
Terry yang disebutnya sebagai penghinaan yang memalukan. Presiden Barack Obama
bahkan menegaskan rencana Terry bisa menyulut kekerasan di berbagai penjuru
dunia. Alhasil, sang Pastur mengurungkan niatnya.
April 2013, Terry ditahan dengan tuduhan membawa bahan bakar dan senjata api secara tidak sah di tempat umum, saat berencana membakar 2998 Al-Quran, jumlah yang sama dengan korban tragedi 11 September. Walaupun bebas berekspresi, jika berpotensi mengganggu keamanan dan berujung kriminal, aparat berhak menindak.
Kontroversi juga sempat menyelimuti pembangunan Islamic Community Center,
dua blok dari bekas tempat berdirinya World
Trade Center, beberapa waktu lalu. Sebagian besar pihak yang
kontra, tidak mempermasalahkan Islam dan kegiatan agama yang akan dilakukan di
sana. Mereka mempermasalahkan pemilihan lokasi yang dinilai kurang sensitif
terhadap keluarga korban. Mengapa harus sangat dekat dengan Ground Zero?
Namun, kontroversi hanyalah kontroversi. Pemikiran bebas
diutarakan. Meskipun tahun 2010 unjuk rasa penolakan terus terjadi, pembentukan Islamic
Community Center tetap berlanjut karena hukum melindunginya,
melindungi kebebasan beragama. Apalagi Presiden Obama menegaskan :
“Adanya hak
bagi siapapun untuk membangun tempat ibadah di properti milik pribadi di lower
Manhattan.”
Alhasil, September 2011 lalu, pusat komunitas Muslim yang
kontroversial tersebut telah menyelenggarakan acara besar perdananya, yaitu
pameran foto anak-anak dari berbagai penjuru dunia.
Ketika berkunjung ke New York beberapa waktu lalu, saya sempat
mendatangi Islamic Center tersebut. Lantai dasar, yang merupakan
lokasi utama berbagai aktivitas, terdiri dari dua bagian ; ruang bercat
putih tempat sejumlah kegiatan budaya dilaksanakan, serta ruang Sholat yang
bisa menampung lebih dari 250 jamaah. Sementara, tempat Wudhu terdapat di basement.
Meskipun tidak banyak, siang itu saya melihat Muslim dari berbagai ras
berdatangan dan melaksanakan Sholat Dzuhur berjamaah.
Berkembangnya Islam di Amerika juga bisa dilihat dari keberadaan
Mesjid. Saat berkunjung ke berbagai negara bagian di Amerika, saya selalu bisa
menemukan Mesjid atau setidaknya Mushola. Ini sejalan dengan hasil
penelitian Hartford
Institute of Religion Research tahun 2011 yang menyatakan
sejak tahun 2000, jumlah Mesjid di Amerika naik 74%. Setidaknya terdapat 900
mesjid baru dengan total lebih dari 2100 Mesjid di Amerika. Sebagian besar
terletak di kota besar.
Namun, seiring bertambahnya warga yang hidup di daerah pinggiran
kota, keberadaan Mesjid juga semakin menyebar. Salah satunya, sedang diusahakan
oleh Pak Kustim Wibowo, seorang dosen asal Indonesia di Indiana University,
Pennsylvania. Lahan untuk Mesjid seluas 6.000 meter persegi seharga $48.000,
diperoleh Pak Kustim dan rekan-rekannya tanpa masalah. Kini mereka sedang
mengumpulkan dana agar rumah ibadah tersebut dapat segera dibangun.
Yang sama sekali tidak pernah saya bayangkan adalah hal serupa,
bahkan terjadi di negara bagian paling relijius di Amerika, dengan 60%
penduduknya beragama Mormon, yaitu Utah. Setidaknya terdapat 5 Mesjid di ibukota
Utah, Salt Lake City, yang dikelilingi lekuk-lekuk cantiknya pegunungan.
Saya semakin tersentuh mendengar cerita Pak Heru Hendarto, lelaki
asal Indonesia yang menjadi tokoh masyarakat Asia di Salt Lake City. Ketika
menjadi Presiden Muslim
Student Organization (MSO) di University of Utah (U of U) tahun
1997-1999 silam, Ia menuliskan keluhannya di jurnal mahasiswa tentang kesulitan
mahasiswa Muslim mendapatkan ruangan untuk Sholat Jumat. Padahal saat itu
organisasi Kristen, Mormon, Yahudi bahkan Budha, mendapat perhatian kampus.
Membaca tulisan tersebut, Presiden U of U dan Ketua Senat langsung
memanggil Pak Heru untuk menanyakan apa yang bisa dibantu. Setelahnya, setiap
Jumat, satu ruang kuliah, sepanjang tahun disediakan khusus untuk MSO.
“Di sini
masalah agama bagus kok. Orang tidak mau ada isu soal diskriminasi agama. Salah
satu Mesjid di Salt Lake City, tanahnya bahkan disumbangkan oleh Gubernur
Utah.” Ujar Pak Heru. Saya hanya bisa terdiam.
Bahkan, Ahmadiyah yang mendapat diskriminasi di Indonesia,
berkembang pesat di Amerika. Di Mesjid mereka yang megah di Silver Spring,
Maryland, saya terenyuh melihat bagaimana para jamaah bisa bersujud tanpa
mendengar hujatan, tanpa disergap ketakutan.
“Di berbagai tempat di dunia, kami tidak dianggap. Namun di sini,
hak dasar kemanusiaan kami untuk mempraktikkan agama, tidak pernah direbut,” ungkap Wakil Presiden Komunitas Ahmadiyah
Amerika, Naseem Mahdi dengan suara bergetar. Saya terenyuh dengan berbagai
fakta, malu terhadap stigma semu yang pernah saya yakini tentang Amerika.
Ironi Negeri di Jantung Khatulistiwa
Awal 2014, saya menelpon orang tua di kampung halaman di Sumatera.
Pembicaraan kami santai seperti biasa sampai ayah saya bercerita tentang berita
yang baru dibacanya di koran : Wali Kota membatalkan rencana pembangunan
sebuah rumah sakit dan sekolah di Kota Padang, Sumatera Barat. Salah satu
alasan utamanya adalah karena protes warga bahwa proyek yang direncanakan
Pemkot bersama sebuah grup konglomerasi besar yang berasal dari etnis dan agama
minoritas tersebut, nantinya dikhawatirkan masyarakat, akan merusak akidah
mereka. Hati saya mencelos mendengarnya.
Di saat percakapan dengan ayah terus berlanjut, ingatan saya
terbang secepat kilat, kembali ke beberapa penugasan liputan sebelum berangkat
ke Amerika. Saya masih ingat berada di dalam sebuah Mesjid milik jamaah
Ahmadiyah di Sindang Barang, Bogor, Jawa Barat. Satu-satunya Mesjid yang
menerima saya dan tim liputan, setelah seharian ditolak berbagai komunitas
Ahmadiyah di Bogor karena mereka ketakutan, kedatangan kami untuk meliput
dampak konflik komunal di tanah air, akan memicu kemarahan warga. Di dalam
Mesjid yang pernah disegel Pemkot Bogor dan tidak lagi memiliki plang nama itu,
para jamaah mengungkapkan harapan mereka, yang semuanya hampir sama :
keamanan, ketentraman dan kebebasan dalam beribadah.
Teriakan puluhan orang di tanggal 25 Desember 2011, juga kembali
terngiang di telinga. Mereka menghadang puluhan jemaat GKI Yasmin, Bogor, yang
sedang menuju Gereja untuk melaksanakan Misa Natal.
Pagi itu, ratusan aparat kepolisian memblokade setiap jalan untuk
menuju Gereja GKI Yasmin, yang izinnya telah dimenangkan oleh Mahkamah Agung.
Puluhan orang yang tadi berteriak-teriak, lalu menyebut-nyebut nama Tuhan
sambil mengusir para Jemaat menjauh dari barikade polisi, yang tentunya tidak
akan bisa dilewati. Tercekat rasanya mengingat kejadian itu.
Memori peristiwa-peristiwa serupa terus berganti di benak, bagai roll-film yang diproyeksikan ke layar bioskop:
Pembakaran rumah dan penyerangan terhadap kelompok Islam Syiah di Sampang,
Madura, Agustus 2012, Penyegelan, penutupan dan bahkan pembongkaran berbagai
Gereja di tanah air dengan dalih tidak adanya Izin Mendirikan Bangunan (IMB),
Penyerangan yang mengakibatkan tewasnya tiga penganut Ahmadiyah di Cikeusik,
Bogor, Februari 2011, dan masih banyak kejadian menyedihkan lainnya.
Ironis sekali, ternyata di negara saya sendiri lah, di tempat yang
mengakarkan berbagai sisi kehidupan pada agama, dengan Ketuhanan yang Maha Esa
dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sebagai bagian ideologinya, dengan
kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusinya, dan Bhinneka Tunggal Ika
sebagai semboyan negara, serta Kementerian Agama untuk membina kerukunan
umatnya, toleransi dan bahkan kebebasan untuk menjalankan agama, justru masih
menjadi barang mewah yang sulit didapatkan.
Pemerintah seakan menjadi wakil dan milik kelompok mayoritas, yang
bergerak dengan pemikiran mayoritas pula. Minoritas dilihatnya menakutkan,
dianggap sebagai kelompok pendosa yang layak dibasmi karena dinilai menjadi
racun pengancam keberadaan mayoritas.
Saya malu, karena saya sendiri pernah tumbuh dengan pemikiran itu.
Saya tumbuh melihat orang dengan agama berbeda sebagai makhluk asing yang
sewaktu-waktu bisa mencelakakan, sehingga kewaspadaan dan jarak harus tetap
dijaga.
Apakah ini karena saya dan banyak dari kita dididik sedari kecil,
di berbagai tempat pendidikan, ditanamkan pemikiran yang kemudian larut di alam
bawah sadar bahwa hanya kita lah yang benar, agama kita lah yang paling benar,
sementara agama berbeda itu salah, menyesatkan dan tidak dapat diterima?
Memang, itulah kepercayaan. Namun, apakah ini membuat kita
terlena, larut memaknai agama sebatas betapa benarnya keyakinan kita dan betapa
salahnya keyakinan yang berbeda? Bukankah di mata orang dengan keyakinan
berbeda, keyakinan kita lah yang salah dan mereka lah yang benar?
Mengapa kita menggunakan fakta mayoritas kita untuk
mendiskriminasi mereka dan merebut hak mereka? Mengapa kita tidak bisa menerima
perbedaan ini dan menjadikan agama urusan paling pribadi antara individu dengan
Tuhan, tanpa perlu memperdebatkannya, tanpa perlu menyakiti orang lain?
Memang tidak pantas untuk membanding-bandingkan Indonesia dengan
Amerika. Masing-masing punya catatan baik dan buruk tentang toleransi beragama.
Apalagi saya baru tinggal setahun di sini. Masih sangat banyak hal yang belum
saya lihat, tempat yang belum saya kunjungi.
Namun, sebagai orang yang tumbuh di tanah air dengan stigma betapa
kejamnya Amerika memperlakukan orang-orang beragama minoritas, betapa Amerika
kerap dituding akan akal busuk dan kekafirannya, saya merasa perlu untuk
menyampaikan bahwa apa yang saya lihat dan rasakan selama ini di Amerika,
justru sebaliknya, toleransi lah yang ada, tepa selira lah yang terasa.
Menjadi pemeluk agama minoritas, bukan berarti menjadi alasan
untuk tidak dihargai. Mayoritas bukan berarti berkuasa untuk menindas.
Ironis, ini bukan terjadi di sebuah negara di jantung
khatulistiwa, yang menjadikan agama sebagai akar hidupnya. Ini justru terjadi
di sebuah negara yang seakan agama dibungkam tapi sebenarnya dimerdekakan, di
sebuah negara yang moralnya kerap dipandang sebelah mata, di sebuah negara yang
seakan hidup tanpa agama.
P.S. Terima kasih kepada Nia Iman-Santoso, Indah Tandra, Heru
Hendarto dan berbagai pihak yang tidak bisa disebut satu-persatu, atas bantuan
dan kontribusinya yang luar biasa untuk tulisan ini.
Penulis ^ Peneliti soal Agama di Amerika
Rafki Hidayat
Komentar