“Komik, Semakin Asyik untuk Dilirik”
Juni adalah bulan penting bagi dua komik terkenal di
dunia: Superman dan Garfield. Superman pertama kali diluncurkan pada 1 Juni
1938, sedangkan Garfield pada 19 Juni 1978. Hingga hari ini, dua komik tersebut
masih terus diburu penggemarnya. Lantas, masihkah komik dianggap bacaan tak
bermutu?
Komik identik dengan bacaan anak yang tak bermutu.
Itulah stigma yang ada selama ini. Padahal, belakangan beberapa negara mengakui
bahwa komik bisa menjadi karya seni, bahkan karya sastra. Ketika majalah Time memilih 100 novel terbaik abad 20,
mereka menempatkan komik Watchmen
karya Alan Moore ke dalam daftar, bersanding dengan novel karya Ernest
Hemingway.
Menurut Hikmat Darmawan, peneliti komik dan
pengamat budaya pop, stigma miring terhadap komik di Indonesia bukan tanpa
sebab. “Pada 1981, sebuah jaringan toko buku besar mulai dibangun di Indonesia
dan mereka membuat kategorisasi untuk buku-buku yang dijual di toko tersebut.
Nah, komik masuk ke dalam kategori buku anak, hingga akhirnya komik
diidentikkan sebagai bacaan anak. Padahal, tidak semua komik ditujukan bagi
anak-anak,” paparnya kepada Media Kawasan.
Bagaimana dengan
stigma lain yang mengatakan komik adalah bacaan yang tak berbobot? Pria
berambut panjang ini tidak menampiknya: “Memang, banyak komik yang masih berisi
‘sampah.’ Tapi, semua media juga punya problem yang sama. Ada film yang
menghibur, ada film yang buruk. Ada buku yang bagus, ada yang jelek.”
Kini, seiring waktu berlalu, masyarakat mulai mengubah
paradigma mereka tentang komik. Buktinya, komik sekarang tidak hanya berisi
cerita, tapi juga banyak dimanfaatkan sebagai sarana edukasi yang mengajarkan
sains dan memperkenalkan tokoh legendaris dunia pada anak. Perhatikan saja jika
Anda melangkah ke toko buku. Ada begitu banyak ragam komik di sana, dari versi
luar negeri hingga versi lokal.
Hal
ini diamati pula oleh Beng Rahadian, komikus
senior yang telah menghasilkan sejumlah komik serta pendiri Akademi Samali,
komunitas komik yang bermarkas di Jakarta Selatan. “Perkembangan komik di
Indonesia bisa dibilang sedang meningkat,” ujar Beng kepada Media Kawasan.
“Sayang, perubahan
paradigma di masyarakat ini tidak diiringi dengan perubahan dari para komikus
itu sendiri,” kata alumnus Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia,
Yogyakarta, ini.
Pasalnya, penerbit
hanya mau berpihak pada jenis komik yang laku di pasaran, yaitu komik humor,
plesetan, dan terjemahan. Padahal, keragaman tema dan jenis komik bisa menjadi
strategi jitu bagi penerbit.
”Silakan produksi
komik humor, tapi jangan lupa untuk memperkaya literatur dengan membuat komik
yang ‘serius.’ Jangan hanya berorientasi pada omset,” saran Beng.
Apa sih, penyebab komik banyak digemari?
“Ketertarikan pada
gambar dan alur cerita membuat orang gandrung pada komik. Ketika ia tumbuh
dewasa dan tidak beranggapan bahwa komik adalah bacaan anak-anak, maka dia bisa
punya ketergantungan tersendiri terhadap komik. Makanya, saya berani bilang
bahwa komik itu bermanfaat dan bukan bacaan buruk,” papar Hikmat.
Hikmat mencatat dua poin kelebihan
komik dibandingkan media lain. Pertama, komik adalah
media untuk bertutur dan bercerita yang bersifat “hybrid.”
Artinya, di dalam komik ada unsur teks
maupun visual. Memang,
unsur visual masih lebih banyak, tapi secara umum
tetap menyertakan teks, dan itulah
yang menjadikan komik sebagai alat
bercerita yang efektif.
Kedua, karena sifatnya yang “hybrid,”
komik bisa mengaktifkan otak kiri dan otak kanan pada saat yang bersamaan.
Bahasa atau teks dibaca oleh otak kiri, sedangkan visual atau
gambar dibaca oleh otak kanan. Cara membacanya bisa berurutan seperti
cara membaca teks dan membuat kita berpikir secara runut serta analitis,
bisa pula dilakukan secara Gestalt, yaitu tetap dari panel ke panel dan dari
kata ke kata, namun dengan memandang satu halaman sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, dan ini mengaktifkan
otak kanan.
Meski komik begitu digemari, Hikmat melihat sejumlah
kendala yang menghadang perkembangan industri komik di tanah air saat ini. Kendala
pertama adalah kendala dalam dunia penerbitan buku pada umumya, yaitu mengenai
daya beli dan minat baca masyarakat Indonesia yang masih rendah. Kendala kedua
adalah belum adanya keberpihakan yang konkret dari pemerintah, sehingga biaya produksi
buku masih cukup tinggi, yang mengakibatkan harga jual buku juga tinggi. Ketiga, kendala internal dari produsen dan
komikus itu sendiri. “Lebih sulit membuat komik sendiri ketimbang menerjemahkan
komik,” ungkap Hikmat. “Invenstasinya masih terlalu mahal, dan belum ada
jaminan modal bisa kembali, apalagi untung. Komikus sendiri menghadapi
kesulitan itu, karena itu mereka memilih bersikap realistis dalam menerima
order ketimbang kreatif membuat komik umum.”
Berdasarkan tiga
kendala tersebut, Hikmat menegaskan sejumlah “pekerjaan rumah” yang harus
dibereskan terkait perkembangan dunia komik di tanah air. Pertama adalah untuk
menciptakan ruang bersama agar kita punya cerita tentang masyarakat yang
menjadi milik kita bersama. Lalu, perbaiki infrastrutur penerbitan agar semakin
banyak pembaca yang mempunyai akses memadai untuk mendapatkan bacaan bermutu. “Kami ingin
perkembangan komik di Indonesia bisa menjadi ekonomi makro, sehingga penulis,
penerbit, distributor dan tokohnya dapat hidup dari karyanya itu. Kami juga berharap para pembaca komik akan mendapat
gagasan dan peningkatan kualitas intelektual dari komik. Itu semua bisa didapat dari sebuah komik yang bagus,” kata
Beng.
Tahukah Anda, bahwa di negara Jepang,
komik tidak hanya digemari anak-anak, tetapi juga orang dewasa?
Ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk mendapatkan asupan cerita tidak terpengaruh
oleh usia. Perkembangan komik di Jepang sendiri sungguh pesat, bisa mencapai 1
juta eksemplar per tahun. Bahkan, sepertiga bacaan di Jepang dikuasai oleh
komik. Dari buku pelajaran, pengumuman, sampai sosialisasi
pemerintah seringkali disajikan dalam bentuk komik.
Bagaimana dengan Indonesia? “Negara
kita punya perjalanan sejarah komik yang bagus, seperti komik wayang dalam
bahasa Indonesia yang berjaya di tahun ’50-an, penyebarannya luas sekali sampai
Nusa Tenggara dan oplahnya mencapai 30 ribu eksemplar,” ungkap Hikmat. Ini mengungkap bahwa pada zaman dulu, komik Indonesia pernah sukses
menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Sekarang ini, Beng
mencermati perkembangan komik lokal yang menurutnya sudah mulai membaik, meski
masih jauh dari tipe industri yang ideal. “Pembaca banyak, tapi ‘kue’ yang tersedia masih sedikit, sementara kita dikepung oleh komik impor
terutama dari Jepang,” ungkapnya. Selain itu, Beng mengakui bahwa komikus
Indonesia masih kurang baik dalam bercerita. “Komik itu kan kompleks, dituntut
keterampilan yang baik untuk menghasilkan gambar yang maksimal dan cerita yang
menarik. Sebenarnya, cerita sih banyak, tapi menceritakan dengan gaya komik itu
tidak mudah,” ujarnya. Itu sebabnya, meski jumlah komikus Indonesia cukup
banyak dan kreativitas gambarnya baik, tapi produksi masih minim.
Karena itu, Hikmat berpesan bagi
para komikus di Indonesia: “Jangan pernah berhenti membuat
komik yang bermutu, karena setiap karya bermutu akan selalu menemukan momen dan
pembacanya sendiri. Bagi para creator,
tidak ada kata lain selain terus berkarya. Buatlah karya yang tidak pernah
basi. Tetap produktif dan bikin cerita yang membumi!” Titik cerahnya, penerbit kita sudah
ikut memanfaatkan komik sebagai media edukasi.
Jadi, komik sebagai ekspresi diimbangi dengan komik sebagai edukasi. Bahkan,
komik juga bisa digunakan sebagai terapi psikologis, penyembuhan trauma, bahkan buku
panduan, seperti Kementerian Sosial yang menggunakan komik untuk mengajarkan
cara menghadapi bencana.
Hikmat dan Beng sepakat bahwa
perkembangan komik yang terjadi saat ini merupakan sebuah dukungan konkret dari
masyarakat kita bahwa komik sudah mulai “dilirik.” Pergeseran paradigma tentang
komik semestinya bisa memicu komikus untuk tetap berkarya dan menghasilkan
sesuatu yang bermutu. Yuk, kita dukung terus komik Indonesia!
[Pullout]
Tahukah Anda, bahwa
di negara Jepang, komik tidak hanya digemari anak-anak, tetapi juga orang
dewasa? Sepertiga bacaan di
Jepang dikuasai oleh komik. Dari buku pelajaran sampai sosialisasi pemerintah seringkali disajikan dalam bentuk komik.
[caption]
Ternyata,
komik Batman pernah nyaris dibatalkan. Penampilan Adam West, pemeran si
pahlawan super dalam serial TV Batman pada 1966, berhasil “menyelamatkan” sang
manusia kelelawar dengan melejitkan penjualan komiknya. Dalam foto ini,
pencipta Batmobile, George Barris (kedua dari kiri), berpose bersama para
karakter dalam komik Batman saat penganugerahan bintang Walk of Fame untuk Adam
West di Hollywood, 5 April 2012.
[credit]
AFP
PHOTO/Frederic J. Brown.
sumber:
Majalah Media Kawasan Edisi Juni 2012.
Penyelaras
bhante Sudhammacaro.
Komentar