AKAL SEHAT atau PINTER …Anda Pilih yang Mana..?
Silahkan Simak Jawabannya di Bawah Ini…
“Empat Orang Pandai
dan Seekor Harimau Benggala”
Alkisah,
di Benggala, yang terletak di dekat Sungai Gangga India, hiduplah empat pria
Brahmana yang pandai dan bijak. Mereka sudah saling mengenal seumur hidup
mereka, sehingga ke mana pun, mereka selalu pergi bersama. Meski begitu,
tingkat kepandaian dan kearifan empat pria ini berbeda-beda.
Benggala, selain dikenal akan
warisan kearifan leluhur dan keindahan alam serta hutan-hutannya, memiliki
harimau Benggala, makhluk yang cantik namun buas dan kuat.
Suatu
hari, empat orang pandai ini memutuskan untuk mengabdikan kepandaian yang
mereka miliki kepada sang raja. Maka, mereka berjalan kaki bersama-sama menuju
kota. Sambil berjalan, mereka sibuk membicarakan rencana mereka kelak.
"Sudah pasti, sang raja ingin kita
melayani beliau bersama-sama, karena kita berempat sama-sama pandai dan bijak,”
ujar orang pandai pertama.
"Pastinya begitu. Nanti, saat kita
sudah resmi dijadikan penasihat raja, sebaiknya kita membagi uang yang kita
dapat dari raja secara merata,” sahut orang pandai kedua.
Namun, orang pandai ketiga menggelengkan
kepalanya. "Ah, aku tidak setuju! Sebenarnya, hanya kita bertiga yang
merupakan orang pandai sejati.” Setelah mengucapkan kalimat itu, mereka bertiga
menoleh ke arah teman mereka, orang pandai keempat, yang berjalan paling
belakang. Memang, orang pandai keempat ini tidak sepandai teman-temannya,
tetapi ia memiliki talenta tersendiri, yaitu akal sehat.
Orang pandai keempat menyadari ketiga
temannya tengah menyindirnya. Ia mengangguk ke arah mereka. “Aku setuju bahwa
aku tidak sepandai kalian. Tetapi, akal sehat yang aku miliki sama pentingnya
bagi raja. Bukankah begitu?”
Orang pandai pertama menggelengkan
kepalanya. "Engkau adalah orang yang bijak, itu betul, tetapi tidak begitu
terpelajar seperti kami karena engkau tidak membaca buku sebanyak kami.”
"Aku sudah belajar cukup banyak
dari hidup ini,” debat orang pandai keempat.
"Tetapi, sudah berapa banyak buku
yang engkau baca?” salah seorang temannya bertanya.
Orang pandai pertama, kedua, dan ketiga
lantas mulai menghitung jumlah buku-buku yang sudah mereka pelajari. "Wah,
jumlahnya sudah mencapai ratusan buku," kata mereka dengan bangga. "Engkau
tidak punya pengetahuan sebesar kami.”
"Akal sehatku sudah merupakan
anugerah yang bagus,” orang pandai keempat berusaha meyakinkan teman-temannya.
"Akal sehat tak ada gunanya!" tukas
orang pandai pertama. "Kelak, di istana raja, kita akan menghadapi
masalah-masalah yang pelik untuk dipecahkan.”
"Pengetahuan besar yang kami miliki
bisa membantu sang raja merancang peperangan hebat, mengatur penataan kota,
mengelola kerajaannya, dan yang terpenting, mengambil keputusan,” ujar orang
pandai kedua.
"Sayang sekali, engkau tidak
belajar sebanyak kami,” kata orang pandai ketiga sambil menggelengkan
kepalanya.
Akhirnya, orang pandai keempat terdiam.
Ia merenungkan perkataan teman-temannya. Jangan-jangan, mereka benar, pikirnya.
Mungkin, seharusnya ia membaca lebih banyak buku. Mungkin, seharusnya ia
belajar terus siang dan malam, seperti yang selalu dilakukan teman-temannya. Ia
pun mulai meragukan akal sehat yang ia miliki – apakah akal memang ada gunanya
atau tidak.
"Sepertinya kalian benar," ujar
orang pandai keempat akhirnya, sambil mengembus napas panjang. Karena mereka
bercakap-cakap sambil terus berjalan, kini di kejauhan, ia sudah bisa melihat
kota yang hendak mereka tuju. Ia mulai bertanya-tanya, apakah sebaiknya ia
berbalik dan pulang saja ke rumah.
Tepat ketika orang pandai keempat hendak
memanggil teman-temannya, rombongan itu menemukan tulang-belulang hewan yang
tergeletak berserakan di satu sisi jalan.
Sepasang mata orang pandai pertama
langsung bersinar-sinar. "Nah, sekarang engkau bisa melihat betapa
pentingnya kepandaian itu!” serunya dengan riang. "Aku, dengan pengetahuan
yang kumiliki, bisa menyusun tulang-tulang makhluk ini menjadi susunan kerangka
yang tepat.”
Orang pandai kedua tak mau kalah. "Benar,
engkau memang bisa melakukan itu,” katanya, “tetapi, jauh lebih penting dari
itu, aku bisa menumbuhkan daging pada kerangka tulang makhluk ini.”
Orang pandai ketiga ikut maju ke depan. "Ah,
kalian berdua ini memang terpelajar, dan aku menghormati kepandaian kalian,
tetapi pengetahuan yang kumiliki adalah pengetahuan yang tertinggi, karena aku
bisa menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati ini."
Mereka pun memutuskan untuk membuktikan
omongan mereka. Sementara mereka mulai bekerja, orang pandai keempat hanya
terdiam sambil memperhatikan teman-temannya.
“Benar, kalian memang sangat pandai
karena bisa menyusun tulang-tulang ini menjadi makhluk hidup. Aku tidak punya
pengetahuan sebesar kalian,” ia mengaku. “Tetapi, aku tidak bodoh dan bisa
mengenali makhluk apa ini. Ini adalah harimau. Harimau yang sangat besar! Aku
mohon, kalian mempertimbangkan lagi apa yang sedang kalian lakukan.
Menghidupkan kembali harimau sebesar ini berbahaya bagi kita berempat!"
Ketiga temannya menoleh sekilas padanya,
lantas tertawa terbahak-bahak. "Dasar bodoh!" ejek mereka. "Kami
sih sama sekali tidak takut."
"Baiklah,” ujar orang pandai
keempat, "terserah kalian saja. Tetapi jika kalian masih ingin pamer
kepandaian dengan menghidupkan makhluk buas ini, aku memilih untuk naik ke atas
pohon ini.” Setelah berkata demikian, ia pun langsung memanjat pohon di dekat
mereka secepat kilat, lantas duduk di cabang yang paling tinggi, jauh di atas
teman-temannya yang sibuk bekerja di bawah.
Orang pandai pertama menyelesaikan
bagiannya, dan dengan bangga ia mengumumkan: “Tulang-belulang itu sudah
tersusun! Apa kubilang, aku bisa melakukannya dengan sangat tepat. Tak ada satu
pun kesalahan!”
Orang pandai kedua tak mau kalah. Ia
menutupi setiap jengkal tulang itu dengan daging dan kulit yang cantik. Ia pun
membanggakan hasil karyanya.
Orang pandai ketiga melangkah maju
dengan pongah. “Sekarang semua harap diam, karena aku harus berkonsentrasi
penuh dalam tugas yang paling penting ini. Aku bisa menghidupkan makhluk ini
dengan pengetahuan yang kumiliki.”
Ia membungkukkan tubuh di atas
makhluk yang terdiam kaku itu, dan mulai mengucapkan mantra-mantra.
Setelah ia selesai, semua orang pandai,
yang berada di bawah maupun di atas pohon, menahan napas mereka dengan tegang.
Semenit, dua menit, makhluk itu masih tak bergerak.
Tapi kemudian, secara
perlahan-lahan, kehidupan mulai menjalari tubuh makhluk itu. Kini, harimau
Benggala yang besar itu berdiri tegak di atas keempat kakinya, meregangkan
otot-ototnya, dan menoleh ke tiga manusia di dekatnya. Ia menjilati mulut
dengan lidahnya yang besar, lantas, dengan auman keras, ia menerjang tiga pria
malang itu.
Dari tempatnya yang aman, jauh di atas
pohon, orang pandai keempat hanya bisa menatap kekacauan di bawah.
Teman-temannya pontang-panting berlarian menghindari serangan harimau buas itu.
"Kalian
boleh pandai dan punya pengetahuan besar," katanya, “tetapi, pada
akhirnya, akal sehat lah yang paling penting!”
[Pullout]
Ia membungkukkan
tubuh di atas makhluk yang terdiam kaku itu, dan mulai mengucapkan
mantra-mantra. Setelah ia selesai, semua orang pandai, di bawah maupun di atas
pohon, menahan napas dengan tegang.
Cerita
Rakyat India
Diadaptasi
oleh Amy Friedman dan ilustrasi oleh Jillian Gilliland
©
2011 UNIVERSAL UCLICK.
sumber:
Majalah Media Kawasan Edisi Juni 2012.
Penyelaras
bhante Sudhammacaro.
Komentar