“Helen Keller: Menyentuh Hati Dunia Dengan Keterbatasan Fisik”
Tak
ada yang memungkiri bahwa Helen Keller adalah sosok luar biasa.
Wanita
yang hidup dengan banyak keterbatasan fisik ini justru mendobrak batas dan
berhasil menginspirasi banyak orang. Bulan Juni adalah bulan ketika wanita
tunarungu dan tunanetra ini lahir dan, 87 tahun kemudian, meninggal dunia. Yuk,
belajar dari kisah hidupnya.
Helen
Keller lahir pada 27 Juni 1880 dari sebuah keluarga yang cukup berada di
Alabama, Amerika. Ketika usianya baru 1 tahun 7 bulan, Helen terserang penyakit
yang hingga hari ini tidak diketahui apa persisnya. Yang pasti, penyakit
misterius itu telah membuatnya buta dan tuli. Tak lama setelah mengalami cacat
ganda ini, Helen lupa sejumlah kata yang telah ia kuasai.
Helen kecil menghabiskan
hari-harinya dalam rasa frustrasi karena ia tidak bisa berkomunikasi dengan
orang lain. Kerap kali, ia mengamuk saat dirinya merasa tidak nyaman atau
permintaannya tidak dituruti.
“Kadang-kadang, aku berdiri di
antara dua orang yang sedang berbicara dan menyentuh bibir mereka. Aku tidak
bisa mengerti apa yang mereka katakan. Keadaan ini membuatku marah sekali. Aku
menendang-nendang dan berteriak sampai kelelahan,” kenang Helen dalam buku
biografi yang ia tulis setelah dewasa, The
Story of My Life.
Dari merengek, menendang perawat,
mengunci ibunya di dapur, memukul anjing keluarga, sampai memecahkan barang-barang,
Helen jelas bukan anak perempuan yang menyenangkan. Namun, orangtuanya tidak
pernah bersikap keras padanya, karena pada masa itu, orang yang mengalami cacat
ganda seperti Helen digolongkan sebagai keterbelakangan mental.
Perubahan terjadi ketika orangtua
Helen bertemu Alexander Graham Bell, yang ketika itu menjadi guru untuk orang
tunarungu. Mr. Bell memeriksa Helen dan merekomendasikan Perkins Institute for
the Blind di Boston kepada orangtua Helen. Di institut tersebut, mereka mendapatkan
seorang guru bernama Anne Sullivan.
Sullivan adalah seorang gadis yatim-piatu
berusia 19 tahun yang mengalami gangguan penglihatan. Sebelum mulai mengajar
Helen, ia mempelajari berkas-berkas milik guru Laura Bridgman, satu-satunya
tunarungu dan tunanetra yang pernah dididik untuk berkomunikasi.
Anne Sullivan kemudian memakai metode
bernama alfabet jari untuk mengajar Helen bahwa benda-benda memiliki nama.
Pelajaran tidak selalu berjalan mulus, namun Anne adalah guru yang tegas,
disiplin, sekaligus penuh kasih. Setelah beberapa waktu berlalu, Helen tidak
kunjung memahami konsep yang diajarkan. Ia hanya meniru isyarat yang digoreskan
sang guru di telapak tangannya. (“Meniru seperti monyet,” kenang Helen di
kemudian hari.)
Momen pencerahan hadir ketika suatu
siang, Anne Sullivan meneteskan air ke tangan Helen sambil mengeja huruf dari
kata air dalam bahasa Inggris: “W-A-T-E-R.” Mendadak, Helen memahami bahwa
setiap benda memiliki nama.
Sejak
itu, pemahaman komunikasi Helen terus berkembang, dari tingkatan kata ke
kalimat, dan dari kalimat ke teks di dalam buku. Ia belajar memahami makna dari
kata-kata sederhana seperti boneka atau meja, sampai hal-hal yang abstrak,
seperti cinta atau berpikir.
Dalam waktu dua tahun, Helen
berhasil menguasai Braille dan belajar bicara kembali, meski aksennya masih sulit
dipahami. Keinginan belajar Helen yang meluap-luap ia puaskan dengan mempelajari
bahasa Perancis, Jerman, Yunani, dan Latin. Ia juga “melahap” buku-buku
karangan Karl Marx dan Friedrich Engels dalam bahasa Jerman.
Pada 1900, di usia 20 tahun, Helen
memasuki Radcliffe College. Empat tahun kemudian, ia lulus dengan gelar magna
cum laude, mencetak rekor dalam sejarah sebagai orang tunarungu dan tunanetra
pertama yang lulus dari universitas.
Setelah merampungkan
pendidikan sarjana, hati Helen membara oleh tekad untuk menjadi juru bicara
bagi teman-teman yang mengalami nasib seperti dirinya. Ia memulai karier
sebagai aktivis, konselor, sekaligus dosen. Pada 1914, Helen memulai tur
keliling Amerika dengan Anne Sullivan sebagai penerjemahnya.
Tidak berhenti di
Amerika, misi Helen yang terus berkembang membawanya berpidato di berbagai
pelosok dunia. Andrew Carnegie, pengusaha sukses terkenal di Amerika,
mensponsori Helen. Sosoknya pun menjadi tersohor. Para sastrawan legendaris
seperti Mark Twain dan R. L. Stevenson menyanjung Helen secara publik. Hampir
semua presiden Amerika yang menjabat pada masa hidup Helen mengundangnya ke
Gedung Putih.
Di luar sejumlah
penghargaan yang ia terima, Helen dikenang sebagai sosok yang berjiwa sosial. Misalnya
saja, pada pasca-Perang Dunia II, ia rajin mengunjungi para tentara di rumah
sakit sambil memberikan ceramah keliling Eropa.
Niat baik Helen tidak selalu mendapat sambutan yang baik. Karena
orang cenderung hanya ingin mendengar kisah hidup Helen, maka ketika ia menulis
tentang topik lain yang menjadi minatnya, seperti politik dan kesehatan, Helen
kerap dianggap remeh.
Lebih sadisnya lagi, sejumlah
orang menuduh bahwa otak di balik esai-esai Helen adalah Anne Sullivan dan
suaminya. Dan, ketika ia dan Anne Sullivan memutuskan untuk tampil dalam sebuah
pertunjukan teatrikal yang menampilkan metode pendidikan yang ia terima dari
Anne, Helen malah dianggap memanfaatkan keterbatasan fisiknya untuk mencari uang.
Pada 1916, Anne Sullivan
mengalami sakit yang cukup serius sehingga ia tidak dapat mendampingi Helen
seperti biasanya. Pada saat itulah, Helen jatuh cinta pada Peter Fagan. Pria
yang tujuh tahun lebih muda dari Helen ini bekerja sebagai asisten yang
membantu Helen selama Anne Sullivan sakit. Hubungan mereka kemudian berkembang
menjadi hubungan cinta.
Secara diam-diam, Helen mendaftarkan
pernikahannya di Boston. Namun, seorang reporter mengetahui hal ini dan menulis
artikel berbau gosip seputar percintaan Helen Keller dan Peter Fagan. Keluarga
Helen yang tidak suka mendengarnya langsung memaksa Helen untuk membatalkan rencana
pernikahannya. Kejadian ini, ditambah dengan kondisi kesehatan yang buruk dari
sang guru sekaligus sahabatnya, sempat menyurutkan semangat Helen.
Pada 1923, Helen
memutuskan untuk menempati sebuah posisi pekerjaan yang permanen, yaitu menjadi
juru bicara untuk American Foundation for the Blind. Aktivitas Helen
selama memegang jabatan ini tergolong sukses menggalang dana dan mengembangkan
sistem pendidikan yang lebih “ramah” bagi orang-orang dengan keterbatasan
fisik.
Pukulan berat menerpa Helen ketika
Anne Sullivan meninggal tahun 1936. Meski berduka, Helen memutuskan untuk tetap
menjalankan perannya sebagai pembela hak warga yang memiliki keterbatasan
fisik. Kali ini, Helen didampingi oleh Polly Thomson, sekretaris yang kemudian
juga menjadi sahabat Helen.
Menulis
selalu menjadi gairah besar bagi Helen Keller. Pada 1938, ia menerbitkan Helen
Keller's Journal, buku harian yang ia tulis selama enam bulan pertama
pascakematian Anne Sullivan. Tahun 1955, ia kembali menulis buku tentang sang
guru, kali ini berjudul Teacher: Anne Sullivan Macy. Naskah ini harus ia
tulis dua kali karena naskah awalnya, bersama dengan surat-surat dari mendiang Anne,
tidak terselamatkan saat rumahnya mengalami kebakaran.
Total dalam hidupnya, Helen menulis
12 buku dan sejumlah artikel untuk media cetak, terutama tulisan mengenai kisah
kehidupannya yang inspiratif, seperti The Story of My Life (1903), Optimism,
or My Key to Life (1903), The World I Live In (1908), dan Out of
the Dark (1913).
Helen setia menjalankan misi dan perannya
dalam hidup hingga ia meninggal dalam tidur di rumahnya pada usia 87 tahun.
Sosok salah seorang humanis terbesar abad ke-20 ini dimakamkan berdampingan
dengan makam Anne Sullivan dan Polly Thomson di National Cathedral, Washington,
DC.
[Boks]
Helen
Keller adalah orang pertama yang memperkenalkan anjing jenis Akita ke Amerika.
Ia mendapatkan anjing itu sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang saat berkunjung
ke negeri sakura itu.
Helen
Keller menjalin persahabatan dengan Alexander Graham Bell hingga dewasa. Ia
bahkan pernah menginap di rumah sang inovator dan berdiskusi panjang tentang
ide-ide baru Mr. Bell.
Pada
1955, Helen menerima Piala Oscar untuk film dokumenter mengenai hidupnya yang
berjudul Helen Keller: in
Her Story.
[Pullout]
Helen Keller lulus kuliah dengan gelar magna cum
laude, mencetak rekor sebagai orang tunarungu dan tunanetra pertama yang lulus
dari universitas.
[credit]
AFP PHOTO/Karen Bleier
[caption]
Patung Helen Keller ini
dirilis pada 7 Oktober 2009 di Washington, DC, negara bagian yang menjadi
tempat peristirahatan terakhir bagi wanita inspiratif tersebut. Helen Keller adalah
penulis, aktivis, dan pembicara terkenal dari Amerika, sekaligus penyandang
tunarungu dan tunanetra pertama yang berhasil meraih gelar sarjana.
sumber: Majalah Media Kawasan Edisi Juni 2012.
Penyelaras
bhante Sudhammacaro.
Komentar