" ASAL-MULA KISAH KUE BULAN "
Kue bulan (Hanzi: 月餅, pinyin: yuèbǐng)
adalah penganan tradisional Tionghoa yang menjadi sajian wajib pada perayaan
Festival Musim Gugur setiap tahunnya. Di Indonesia, kue bulan biasanya dikenal
dalam dialek Hokkian-nya, gwee pia atau tiong chiu pia.
Kue bulan tradisional pada dasarnya berbentuk bulat, melambangkan
kebulatan dan keutuhan. Namun seiring perkembangan zaman, bentuk-bentuk lainnya
muncul menambah variasi dalam komersialisasi kue bulan.
Perkataan Tiong Chiu berasal dari kata Tiong berarti tengah dan Chiu
berarti musim rontok, jadi boleh dikatakan sebutan Tiong Chiu arti secara
harafiah berarti pertengahan musim rontok. Namun demikian masyarakat lebih
kenal dengan sembahyang Tiong Chiu Pia sebenarnya penyebutan ini tidak
tepat/salah kaprah namun kenyataan dalam kebiasaan masyarakat tetap demikian.
Perayaan sembahyang kue bulan tahunan setiap tanggal 15 bulan delapan
kalender Imlek, untuk tahun ini memasuki tahun Imlek ke 2557 tanggalan masehi
jatuh pada tanggal 6 Oktober 2006. Pada hari itulah bulan paling bulat dan
paling terang sepanjang tahun, karena pada hari itu jarak bulan dengan bumi dan
bentuk kue yang bulat melambangkan terangnya bulan menyinari bumi.
Sejarah
Kue bulan bermula dari penganan sesajian pada persembahan dan
penghormatan pada leluhur di musim gugur, yang biasanya merupakan masa panen
yang dianggap penting dalam kebudayaan Tionghoa yang berbasis agrikultural.
Perkembangan zaman menjadikan kue bulan berevolusi dari sesajian
khusus pertengahan musim gugur kepada penganan dan hadiah namun tetap terkait
pada perayaan festival musim gugur tadi.
Beberapa legenda mengemukakan bahwa kue bulan berasal dari Dinasti Ming,
yang dikaitkan dengan pemberontakan heroik Zhu Yuanzhang memimpin para petani
Han melawan pemerintah Mongol. Namun sebenarnya, kue bulan telah ada tercatat
dalam sejarah paling awal pada zaman Dinasti Song. Dari sini, kue bulan
dipastikan telah populer dan eksis jauh sebelum Dinasti Ming berdiri.
Dari sumber lain diperoleh sejarah kue bulan atau Tiong Chiu Pia dapat
dibagi dalam tiga bagian (1) Adat Sembahyang Dewi Bulan, (2) kisah Dewi Bulan,
(3) Kue.
Pertama, sebelum Dinasty Qin 221-206 SM rakyat China sudah mengenal tradisi/adat
sembahyang Dewi Bulan yang dihubungkan dengan posisi bulan bagi masyarakat
untuk cocok tanam (agraris). Karena dianggapnya sinar rembulan dapat memberikan
kesuburan dalam ekosistem tanah bagi kaum petani dan dimalam purnama memang
bulan terterang sepanjang tahun juga diikuti musim panen.
Kedua, menurut legenda zaman dahulu kala terdapat 10 matahari yang sangat
mempengaruhi ekosistem bumi sehingga oleh Dewa Ho Yi pemanah Jitu
Khayangan/langit, dipanalah matahari hingga sisa satu. Peristiwa ini Yi Wang Ta
Tie (Tuhan) sangat malah dan menghukum HOYI dan istrinya Chang Er dengan cara
menjadikan pasangan ini menjadi masyarakat biasa/ hidup di duniawi. Suatu hari
mereka menemukan obat awet muda sepanjang masa dan dimakan oleh istrinya Chang
Er sehingga tubuhnya ringan dan terbang menuju bulan. Dari sinilah asal muasal
sembahyang Dewi Bulan.
Kue Bulan Ketiga, kue Tiong Chiu Pia. Pada tahun 1206 M China dijajah
Mongolia pimpinan Tieh Mu Chen hingga tahun 1368 M berarti selama 89 China
dijajah Mongolia. China berhasil merebut kembali dari Mongolia berkat upaya
kepala pengemis Zhu Yan Chang menjelang sembahyang Dewi Bulan mengedarkan
pesan-pesan dalam kue-kue agar pada malam purnama (Tiong Chiu) kita merebut
kekuasaan kembali dari tangan Mongolia dan ternyata berhasil bertepatan pada
tanggal 9 September 1368 M. Semenjak itulah kue Tiong Chiu mengalami
perkembangan hingga dewasa ini. Dan semenjak inilah berdirinya kerajaan pertama
di Tiongkok dengan sebutan Dinasty Ming (1368-1644 M). Masa kepemimpinan Tieh Mu
Chen 1206-1368 M oleh adiknya bernama Hu Pit Lei Han dinamai Dinasty Yan
(1206-136 M.
Religius
Sembahyangan Tiong Chiu diselenggarakan pada tanggal 15 bulan delapan
Imlek (Pue Gwee Cap Go) secara religius sebagai pernyataan syukur kepada
Malaikat Bumi (Too Ti Kong/Hok Tik Cing Sien). Penyambutan di saat bulan
purnama di pertengahan musim rontok di belahan bumi Utara. Saat itu cuasa baik
dan bulan nampak sangat cemerlang. Para petani sibuk dan gembira karena berada
di tengah musim panen. Maka musim itu dihayati sebagai saat-saat yang penuh
berkah Tuhan Yang Maha Esa lewat bumi yang menghasilkan berbagai hasil bumi,
sehingga malaikat Bumilah disembahyangi terutama bagi negara agraris yang
terdapat empat musim seperti Cina.
Pada saat purnama yang cemerlang itu dilakukan sembahyang kepada Dewa Bumi
sebagai pernyataan syukur atas berkah yang diperoleh. Sebagai sajian khususnya
ialah Tiong Chiu Pia yang melukiskan rembulan juga melambangkan Dewa Bumi. Di
dalam Upacara sembahyang Besar Tiong Chiu hendaknya dihayati makna yang
tersirat bahwa Tuhan Maha Besar, Maha Pengasih dan segenap berkah karunia itu
hendaknya mendorong dan meneguhkan Iman, menjunjung dan memuliakan kebajikan
karena makna Dewa Bumi membawakan berkah atas kebajikan.
Menghormati Dewa Bumi hendaknya mengingatkan pula kepada Sabda Nabi Ie Ien
yang berbunyi “sungguh milikilah yang satu-satunya, yaitu “kebajikan”, Dialah
yang benar-benar berkenan di hati Tuhan. Jangan berkata Tuhan memihak kepadaku,
hanya Tuhan senantiasa melindungi yang satu, yakni kebajikan”.
Selain sembahyang Dewa Bumi, masyarakat justru banyak yang sembahyang
kepada Dewi Bulan di malam hari. Soal spiritual tidak ada yang bisa menghalangi
seseorang untuk menunaikan ibadah dan yang penting adanya niat untuk memberikan
kelurusan dalam hati dengan membuka pintu rohani menunaikan ibadah untuk
memberikan kenyamanan bathin bagi yang melaksanakannya. Justru kemelian
perayaan malam purnama adanya persembahyangan kepada Dewi Bulan Selain sajian
kue bulan juga bermakna mendoakan mendapatkan kecantikan bagaikan Dewi Bulan
sepanjang jagad yang disimbolkan dengan bedak untuk dipakai oleh para pemuja.
Kategori
* menurut cara pembuatan: Guangdong, Beijing, Taiwan, Hongkong,
Chaozhou.
* menurut rasa: manis, asin, pedas
* menurut isi: kuning telur, tausa (kacang merah), buah-buahan, kacang
hijau, es krim
* menurut bahan kulit: tepung gandum, gula dan es
Pembuatan kue bulan di Indonesia pada dasarnya berasal dari gaya pembuatan
Guangdong dan Chaozhou. Juga ada lokalisasi dengan cara pencampuran bahan-bahan
yang mudah didapatkan di Indonesia, semisal daun pandan sebagai perasa.
Dan masih banyak kategori-kategori lainnya hasil inovasi gaya pembuatan kue
bulan gaya baru di pasaran.
Komentar