Pengertian Moksa dan Jagaditha oleh: "SIWAGAMA"
Tujuan tertinggi
dari kehidupan manusia menurut ajaran Weda adalah menyatu dengan Sang Maha
Pencipta (Aham Brahman Asmi). Dalam masyarakat hindu lebih dikenal dengan istilah
moksa. Moksartham Jagadhitaya ca iti dharma artinya bebaskanlah keterikatan
pikiranmu dari ilusi duniawi, sehingga kamu bisa mencapai kebahagiaan didunia
(dunia nyata dan dunia kasunyatan) dengan cara menghayati dan mengamalkan ajaran
dharma. Sangat perlu untuk menjadi perhatian kita adalah mengenai kebahagiaan
di dunia, apakah yang sesungguhnya dimaksud ? Dalam sudut pandang manusia
normal, bahwa harta benda, istri dan anak serta pangkat ataupun kedudukan
merupakan sesuatu yang sangat didambakan dan bahkan diagungkan, karena dengan
itu semua mereka merasakan sejahtera dan bahagia. Tidak sedikit orang yang
beranggapan bahwa apa yang dia miliki adalah miliknya, sehingga dia sangat
terikat oleh miliknya tersebut. Ada yang sampai tidak pernah merasa puas dan
selalu merasa kekurangan (loba) atau juga ada yang dengki dan iri hati terhadap
harta orang lain, sehingga diapun berusaha untuk mengejar meskipun harus
menempuh jalan yang keliru. Bagaimanakah pandangan manusia yang tidak
normal terhadap fenomena duniawi ?
Orang-orang seperti ini akan menganggap bahwa semua itu hanyalah tipuan belaka
dari Sang Maha Penipu. Mereka beranggapan bahwa kesejahteraan dan kedamaian
hidup di dunia bukanlah semata-mata karena harta kekayaan, istri dan anak serta
kedudukan seseorang. Akan tetapi yang lebih penting adalah dimana manusia
mengerti akan hakekat dari semuanya itu, bahwa tak satupun dari semua itu
merupakan hak atau miliknya. Karena pemilik yang sejati adalah Yang Maha Pencipta dan
Maha Kaya.
Manusia tidak pernah menciptakan, dia hanya mengubah bentuk dari
yang asli menjadi bermacam-macam bentuk baru. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan
bumi, antara bumi dan langit, serta langit berikut segala isinya untuk
kepentingan umat manusia yang juga ciptaan Nya. Bagaimana menjadi seorang yang
kaya raya tetapi ia merasa tidak kaya raya, sebaliknya seorang yang miskin tetapi
ia tidak merasa miskin, ia seimbang dalam panas dan dingin, dalam suka dan
duka, dalam puji dan caci, bebas dari nafsu (ego). Bila seseorang sudah sanggup
seperti itu, maka dia sudah dapat merasakan kebahagiaan yang sejati. Jadi
pengertian jagadhita sesungguhnya, adalah terbebasnya seseorang dari
keterikatan ilusi duniawi walaupun dia berada di dalamnya. Sebab orang yang
berlimpah ruah harta kekayaan, jabatan, anak, istri, belumlah tentu mereka
bahagia dan bahkan mungkin sebaliknya, karena keterikatannya akan menyebabkan
penderitaan apabila semuanya itu diambil oleh Yang Maha Kuasa. Jagadhita yang
sejati tidaklah dapat diukur oleh banyaknya harta kekayaan, besarnya kekuasaan,
atau sebaliknya. Ukuran Jagadhita adalah apakah seseorang sudah bisa mencapai
tingkatan yogi yang hakikinya sudah sanggup membunuh dan selanjutnya
mengendalikan nafsu (musuh) yang berada dalam dirinya.
Bhagavad
Gita Bab VI sloka (5), (6),(7) dan (8) mengatakan:
uddhared atmana ’tmanam
na ’tmanam avasadayet
atmai ’va hy
atmano bandhur
atmai ’va ripur
atmanah
Artinya: biarlah dia mengangkat jiwanya
dengan Jiwa, janganlah jiwanya menjerumuskan dirinya, sebab hanya
Jiwa adalah teman jiwanya, dan hanya jiwa adalah musuh jiwanya.
bandhur atma
’tmanas tasya
yena ’tmai ’va
’tmana jitah
anatmanas tu
satrutve
varteta ’tmai ’va
satrutve
Artinya: Jiwa menjadi teman jiwa
orang yang bisa menguasai jiwanya dengan Jiwa, tetapi bagi yang jiwanya
tidak ditaklukkan Jiwa, seperti musuh, menjadi lawan, (simak ajaran
Aji Saka).
jitatmanah prasantasya
paramatma
samahitah
sitoshna sukha
duhkheshu
tatha
manapamanayoh
Artinya: yang dapat menguasai jiwanya
dengan Jiwa Tertinggi dan mencapai ketentraman sempurna, ia seimbang
tenang dalam panas dan dingin, dalam suka dan duka, dalam puji dan caci.
jnana vijnana
triptatma
kustastho
vijitendriyah
yukta ity uchyate
yogi
sama loshta ’sma
kanchanah
Artinya: yang jiwanya penuh ilmu dan
budi pekerti, teguh iman, panca indrianya dikuasai, memandang segumpal
tanah, batu dan emas sama, maka ia-lah disebut seorang yogi.
Makna yang tersirat dalam beberapa
sloka di atas adalah sangat dalam kaitannya dengan konsep manunggaling kaula
dengan Gusti. Jiwa ditulis dengan huruf ”j ” kecil (jiwa), adalah bermakna
kaula (Atman/jiwa pribadi) yang sangat terikat oleh pancaindria dan senang
dengan hal-hal duniawi yang semu dan menjebak manusia. Jiwa ditulis dengan
huruf ”J” kapital (Jiwa), adalah bermakna sebagai Gusti (Antaratman) dalam diri
manusia yang merupakan bagian dari Gusti Yang Agung, Gusti Kang Akaryo Jagad.
Apabila jiwa (kaula) sudah tunduk kepada Jiwa (Gusti) dan berteman, ini artinya
sang kaula sudah menyatu dengan Gustinya. Karena kaula sudah lebur dan menyatu
dengan sang Gusti, maka disaat kondisi seperti ini, dalam badan manusia hanya
ada sang Gusti yang berkuasa dan mengendalikan pikiran, perkataan dan tingkah
laku manusia. Kontradiksi dan pertentangan dua sifat (dualisme) sudah tidak ada
(data sewala sudah tidak ada), maka berdasarkan tuntunan dari Gusti barulah
kaula (ceraka) bisa ketemu dengan aksara A (Ho, Tuhan Sang Maha Pencipta).
Bhagavadgita Bab VIII sloka (28)
mengatakan:
vedeshu yajneshu
tapahsu chai ’va
daneshu yat
punyaphalam pradishtam
atyeti tat sarwam
idam viditva
yogi param
sthanam upaiti cha ’dyam
Artinya: pahala kebajikan tersirat
dalam kitab-kitab suci Weda, bakti persembahan, tapa brata dan
sedekah-sumbangan, semuanya itu dilampaui oleh yogi yang mengetahui sesuatu
ini dan mencapai tempat utama tertinggi.
Moksa dan jagadhita adalah dua kata
yang sangat dekat maknanya. Keduanya mengandung makna bebas dari keterikatan
duniawi. Seseorang yang sudah mencapai tingkatan jagadhita yang sejati dalam
hidupnya (Jiwan Mukti), maka ia bisa mencapai moksa (Brahman Atman Aikyam).
Apabila pikiran masih terikat dengan duniawi walaupun sedikit, dia tidak bisa
mencapai kebebasan (kelepasan) yang sejati dan masuk ke alam Brahman (sorga
tingkat tujuh), karena itu, ia masih terkena hukum reinkarnasi.
Bhagavadgita Bab VI sloka (46)
mengatakan :
tapasvibhyo ’dhiko
yogi
jnanibhyo ’pi
mato ’dhikah
karmibhyas cha
’dhiko yogi
tasmad yogi bhava
’rjuna
Artinya: seorang yogi lebih besar
dari pertapa, ia lebih mulia daripada sarjana, lebih utama dari yang melakukan
upacara, karenanya, menjadilah yogi, oh Arjuna.
Bab VI sloka (47) mengatakan :
yogiman api
sarvesham
madgatena
’ntaratmana
sraddhavan
bhajate yo mam
sa me yuktatamo
matah
Artinya: dan juga diantara semua
yogi, dengan penuh kepercayaan menyembah Aku dengan inti-jiwa bersatu
pada-Ku, ia adalah yogi terbaik bagi-Ku.
Jadi lebih jelas lagi, bahwa hanya
yogi yang sudah sanggup menyatukan inti-jiwanya dengan Jiwa Yang Agung lah yang
bisa masuk ke alam kelanggengan (singgasananya Tuhan). Moksa tidak dapat dicapai dengan ilmu apapun yang
dimiliki manusia. Moksa dapat dicapai hanya dengan penyerahan diri secara
ikhlas total (Isvara prani dhana) kepada Sang Maha Pencipta (Gusti Kang Murbeng
Dumadi). Karena Yang Maha Sakti tidak dapat didekati dengan kesaktian manusia.
Kalaupun ada orang yang sanggup menghilang dangan raganya masuk ke dimensi lain
itu bukanlah moksa yang dimaksudkan dalam ajaran Weda. Karena menghilang dari
kasat mata manusia belumlah tentu dapat mencapai alam kerajaan Yang Maha Agung
di langit yang tertinggi. Karena ilmu orang dapat menghilang, akan tetapi belum
tentu arahnya benar, karena bisa saja ia masuk ke alam siluman, atau baru bisa
sampai ke alam sorga. Sedangkan bila kita hayati lebih dalam, hal tersebut
dapat disebut menentang kodrat alam. Karena wadah (badan manusia) yang asalnya
dari tidak ada dijadikan ada (dengan unsur-unsur Panca Mahabhuta) oleh Yang
Maha Pencipta, pada waktu manusia
kembali kepada penciptanya, yang kembali adalah atma (jiwa perorangan)
yang sudah bersatu bersama roh kudus (Antaratma), sedangkan badan kasarnya
dilebur kembali menjadi panca mahabhuta. Coba renungkan secara mendalam makna
dari sloka 5 Bab VIII dari Bhagavadgita di bawah ini:
antakale cha mam eva
smaran muktva kalevaram
yah prayati sa madbhavam
yati na ‘sty atra samsayah
Artinya: barang siapa pada waktu
ajal tiba berpulang, meninggalkan badan
jasmani ini, dengan mnegenang Aku selalu, datang kepada-Ku ini tidak dapat
diragu-ragukan lagi.
Sloka ini jelas menjelaskan
bagaimana orang meninggal yang sebenarnya menurut kehendak Gusti Kang Murbeng
Dumadi.
Lebih jauh lagi mari kita simak
secara mendalam Bab XI Sloka (52), (53) dan (54), dari Bhagavadgita yang
berbunyi :
sudurdarsam idam
rupam
drishtavan asi
yan mama
deva apy asya
rupasya
niyam
darsanakankshinah
Artinya: sungguh sukar dilihat
rupa-Ku ini, yang engkau telah dapat saksikan, sedang para dewatapun
selalu mengharapkan untuk dapat menyaksikan wujud rupa ini.
na ‘ham vedair na
tapasa
na danena na che
‘jyaya,
sakya evamvidho
drashtum
drishtavan asi mam
yatha.
Artinya: Aku tidak bisa dilihat
dalam rupa seperti yang engkau telah saksikan biarpun dengan kitab suci
Weda, tapabrata, maupun dengan sedekah atau upacara-upacara.
Bhaktya tv
ananyaya sakya
aham evamvidho
‘rjuna
jnatum drashtum
cha tattvena
praveshtum cha
paramtapa.
Artinya: tetapi dengan pengabdian
jua yang hanya terpusatkan oh Arjuna, Aku dapat diketahui juga
sesungguhnya dapat dilihat, Parantapa.
“...Ring angambeki yogi kiteng
sakala,” hanya kepada orang yang sudah mencapai tingkatan yogi yang sempurnalah
Tuhan akan menampakkan wujud-Nya. Maka sekali lagi saya tegaskan, bahwa
pengertian moksa (kelepasan/kebebasan)
menurut ajaran Weda adalah bila manusia dapat mencapai alam kelanggengan (alam
Brahman), bertemu Tuhan dan tidak terkena hukum kelahiran kembali. Untuk
mencapai moksa, manusia harus mencapai moksartham (lepas dari keterikatan
dengan duniawi/harta benda), lepas dari pengaruh dualisme (bersikap
netral/nol). Apabila seseorang
walaupun dia masih berada dan hidup di dunia nyata ini sudah bisa mencapai
tingkat kesadaran tertinggi (jiwan mukti) seperti apa yang telah dialami oleh
Kresna, maka itulah yang disebut dengan Jagadhita (kedamaian di dunia) yang
sejati. Orang yang sudah mencapai Jagadhita yang sejati secara alamiah akan mencapai
tingkat kesempurnaan hidup yang sejati ya sejatinya sempurna dan mencapai
kelepasan (kebebasan) menuju alam Brahman.
Komentar