MANUSIA DAN BAHASA
·
22 October, 2014- Written
by Ardian Cangianto
Budaya-Tionghoa.Net. |Manusia
dalam berinteraksi antara satu dengan yang lain itu menggunakan “bunyi” yang
disebut kata, kata ini adalah bagian dari bahasa. Ernst Cassier menuliskan
bahwa “Demoskritos-lah orang yang pertama mengajukan tesis bahwa bahasa manusia
berasal dari bunyi-bunyi tertentu yang semata-mata bersifat emosional”
[1].
Apa yang disebut manusia? Manusia adalah mahluk yang berkata. “Manusia disebut
manusia, adalah ( karena ) kata. Manusia tidak dapat berkata, bagaimana menjadi
manusia” (人之所以为人者言也 人而不能言 何以为人)
Tapi ada manusia yang Cacat karena tidak bisa berkata ini kekecualian.
[2].
Dengan bunyilah manusia merefleksikan perasaannya yang disebabkan adanya
unsur-unsur luar, seperti ditulis dalam kitab Liji “Asal dari
bunyi, berasal dari hati manusia. Gerak dari hati manusia, berasal dari benda
(pengaruh luar ) ( 凡音之起, 由人心生也. 人心之動, 物使然也)
[3] .
“Interaksi dengan benda melahirkan gerak, terbentuk dengan suara. Suara saling
berinteraksi, itulah melahirkan ragam. Ragam menjadi fang( 5 nada
), itulah bunyi”( 感于物而動, 故形于聲.聲相應,故生變. 變成方,謂之音)
[4].
Segala bunyi, lahir dari hati manusia. Perasaan bergerak di dalamnya, menjadi
suara. Suara menjadi bahasa, itulah bunyi ( yang beragam) ( 凡音者, 生與人心者. 情動與中, 故形與聲. 聲成文,謂之音)
[5].
Manusia memiliki indera-indera tubuh sehingga bisa berinteraksi dan memiliki
nalar untuk merefleksikan hasil interaksi itu, menggunakan bunyi yang kemudian
menjadi kata dan berkembanglah bahasa sebagai alat penghubung ( alat komunikasi
) antara satu dengan yang lain. Seperti tertulis dalam kitab Liji,”sifat
alami manusia adalah hening, gerak karena adanya interaksi ( dengan ) benda (
luar )” ( 人生而静天之性也感于物而動)
[6].
Bahasa bagi manusia itu sifatnya primer, dapat diucapkan, dan
menghasilkan bunyi, apakah ini berarti semut tidak memiliki kemampuan
berkomunikasi ? Apakah hanya manusia saja yang mengenal bahasa ? Apakah
kemampuan empiris manusia yang berdasarkan indra-indra manusia saja sehingga
hanya manusia yang memiliki kemampuan berbahasa ? Menurut penulis, tidak selalu
seperti itu. Semut juga memiliki kemampuan berkomunikasi dengan sesame semut
melalui senyawa-senyawa kimia.
Tanpa adanya
indera-indera itu maka manusia tidak bisa menggunakan bahasa dan selama mahluk
hidup memiliki indera, maka mahluk hidup itu memerlukan bahasa sebagai alat
penghubung, tidak selalu harus dengan bunyi. Manusia memperluas fungsi bahasa
sebagai alat penghubung menjadi amat kompleks, tidak lagi semata-mata alat
komunikasi tapi juga sebagai ekspresi diri. Bahasa bisa menjadi sebagai alat
fungsi dan strata sosial, misalnya bahasa kromo inggil pada bahasa Jawa; juga
sebagai sarana ekspresi diri seperti dalam sajak, puisi.
Film Babel menggambarkan
permasalahan bahasa manusia dalam berinteraksi satu dengan yang lain yang
berlatar budaya dan pemikiran manusia yang berbeda-beda. Manusia merefleksikan
perasaannya melalui bunyi dan tidak luput dari pengaruh-pengaruh luar yang
melatari perasaannya. Pengaruh-pengaruh itu bisa menjadi dasar-dasar budaya
yang berbeda-beda sehingga bahasa juga menjadi berbeda-beda.
Bahasa juga bersifat
arbriter, bunyi dor, bisa menjadi bang dalam bahasa Inggris,
ini juga menunjukkan betapa bunyi bisa berbeda-beda. Dalam film Babel, bisa
melihat jelas masalah perasaan ini, misalnya : Chieko Wataya, seorang gadis
bisu juga tetap mengeluarkan bunyi bahkan dari bunyi itu juga bisa dirasakan
ekspresi perasaan hatinya yang depresi karena permasalahan seksualnya. Selain
bunyi yang dikeluarkan juga dengan gerak tubuh yang distandarisasi menjadi
bahasa bagi mereka yang bisu agar bisa berkomunikasi satu dengan yang lain.
Susan yang tertembak
tanpa disengaja saat berlibur di Maroko, ketika hendak diobati lukanya tanpa
obat bius, seorang ibu tua melihat ekspresi kesakitan dan ketakukan Susan, ia
memberi Susan candu. Walau bahasa menghalangi tapi gesture dan bunyi yang
dikeluarkan dengan intonasi yang menentramkan bisa membuat Susan menyadari apa
yang hendak dilakukan oleh ibu tersebut.
Bahasa sebagai
pengikat sekelompok manusia bisa menjadi hambatan dalam berkomunikasi dengan
kelompok yang berbeda, bahkan bisa melahirkan benturan. Baik bahasa dalam
bentuk bunyi maupun bahasa dalam bentuk “bahasa isyarat”. Misalnya cara menyapa
orang Tibet yang dengan membuka telapak tangan di samping kepala dan
menjulurkan lidah, bisa berarti penghinaan bagi etnis lain. Padahal maknanya
salam orang Tibet itu adalah ketulusan, tidak memiliki niatan buruk. Membuka
telapak tangan artinya menunjukkan tidak menyimpan senjata dan menjulurkan
lidah menunjukkan lidahnya tidak hitam. Lidah yang hitam berarti orang tersebut
memiliki ilmu hitam yang sering mencelakan orang lain.
Bahasa tubuh manusia
dalam menyapa itu memiliki makna-makna yang berbeda-beda dan binatang sekalipun
memiliki bahasa “tubuh” maupun bahasa “bunyi”, misalnya kucing dengan anjing
yang memiliki bahasa tubuh yang berbeda. Menaikkan dan menggoyangkan ekor, bagi
anjing adalah perasaan senang sedangkan bagi kucing adalah mengancam, sehingga
kucing dan anjing bisa berkelahi karena bahasa yang berbeda, demikian juga
manusia yang bisa berkelahi karena perbedaan bahasa. “Keseragaman esensial”
[7] antara
manusia dengan binatang hanya dalam bentuk ekspresi perasaan yang dikeluarkan
melalui “gerak tubuh” maupun “suara” atas respon yang
dihadapinya. Respon terhadap ancaman, ketakutan, kesenangan akan melahirkan “bunyi”,
tapi yang membedakannya, menurut kitab Liji adalah “hanya mengenal
suara tapi tidak mengenal bunyi adalah binatang” ( 是故知聲而不知音,禽獸是也)
[8].
Pengertian bunyi disini adalah intonasi yang beragam dan bisa dimainkan
sehingga menjadi music, sehingga manusia bisa memperluas ekspresi perasaannya
melalui bunyi-bunyi yang dirangkai menjadi music
[9].
Dalam mitologi Tiongkok, tulisan diciptakan oleh manusia yang bernama Cangjie 倉頡.
Tujuannya adalah mempersatukan berbagai bunyi yang berbeda menjadi satu bahasa
tulisan yang berbentuk gambar. Walau beragam bunyi tapi memiliki kesamaan
dalam bentuk “tulisan”, ini adalah mitos yang mengharapkan adanya kesatuan
bahasa dan dituangkan dalam bentuk kisah “pahlawan cultural” bernama Cangjie.
Semakin kompleksnya permasalahan manusia dan juga berkembangnya budaya, maka
bahasa tulisan “symbol” ini menjadi beragam bentuk dalam perkembangan
bahasa Tionghoa, baik dari segi piktofonetic, ideograpic, asosiatif, indikatif.
Semua yang terkait
dengan bahasa memiliki akar kata yan 言, arti kata yan ini adalah
ide dan makna. Keseragaman dalam bentuk tulisan ini membuat satu ciri
khas dalam budaya Tionghoa, dimana “bunyi” tidak lagi memegang peranan penting
dalam berkomunikasi, yang memegang peranan penting adalah “tulisan”. Biar
beragam dialek tapi memiliki universalitas dalam bentuk tulisan. Dari bahasa
bunyi yang bersifat “primer” menjadi bahasa tulisan yang bersifat “sekunder”,
tapi tetap menghasilkan bunyi pada saat dibacanya. Keunikannya bahasa Tionghoa
adalah memiliki ragam sub dialek. Misalnya kata saya 我
dalam dialek Beijing adalah wo, dialek Hakka dibaca ngai, dialek Minnan wa,
dialek Guangfu ( Guangdong ) ngoh.
Manusia menginginkan
bahasa persatuan untuk interaksi sesama manusia tapi faktanya terpecah-pecah
melalui bahasa seperti dalam mitos menara Babel. Upaya penyatuan bahasa
dilakukan oleh banyak orang, salah satunya adalah Qin Shihuang yang menyatukan
ragam tulisan menjadi satu bahasa tulisan, tapi tetap bunyi (sub dialek )
menjadi pemisah dalam masyarakat Tionghoa, karena itu diperlukan satu
bunyi ( dialek ) sebagai pemersatu. Sehingga dalam sejarah Tiongkok ada
banyak “bahasa pejabat” ( 官话
) berdasarkan sub dialek dan sekarang ini dialek Beijing menjadi “bahasa
pejabat”. Itu adalah kesepakatan bahasa di masyarakat Tiongkok sedangkan
masyarakat dunia yang terpecah-pecah dalam berbagai bahasa itu secara tidak
sadar mencoba mencari bahasa persatuannya. Sekarang ini bahasa persatuannya
masih berupa bahasa symbol, yaitu bahasa yang digunakan oleh para pengguna
jalan. Contohnya adalah rambu lalu lintas yang diterima sebagai kesepakatan
manusia dalam berlalu lintas.
Semua yang terkait
dengan bahasa harus mengandung ide dan makna, baik dalam proses tuturan ( la
parole ) maupun bahasa (la langue ).
Ferdinand de Saussure menarik tajam antara la parole dan la
langue. Bahasa ( la langue ) bersifat universal,
sedangkan proses tuturan ( la parole ) sebagai proses temporal
bersifat individual
[10].
“Dao yang dapat dikatakan bukanlah dao sesungguhnya” ( 道可道非常道 ) dan “nama yang dapat dinamakan
bukanlah nama sesungguhnya” ( 名可名非常名 )
[11],
ini adalah proses individual yang bersifat temporal dalam “mengarungi” dunia
yang penuh dengan “kata”, karena penghayatan akan “dao” selalu
berubah-ubah sesuai dengan perkembangan batin, selain itu adalah pemikiran
manuisa yang berubah-ubah. Sebagai contoh adalah kata “asu” yang bisa
berarti hinaan, cacian tapi juga bisa sebagai ungkapan perasaan diri. Tapi
manusia tetap memerlukan sesuatu yang perlu dipegang sebagai dasar untuk
keseragaman, karena itu Laozi mengatakan “Kupaksa beri nama dao” (強名曰道 ) sebagai kata yang bersifat universal
seperti ungkapan Hui Neng, “jari yang menunjuk ke bulan” tapi kata dao itu
bukanlah bulan. Dalam kaligrafi Tiongkok juga memiliki proses individual
dan ekspresi individual sehingga bisa menjadi satu “bahasa” ekspresi individual
dan memiliki ragam gaya. Dengan belajar menamai benda-benda, seorang anak tidak
sekedar menempelkan daftar objek-objek empiris yang “sudah jadi” dan yang
sebelumnya ia miliki
[12].
Ada pepatah dalam bahasa Tionghoa, “penamaan benar perkataan lancar” ( 名正言顺 ), bahwa dengan
penamaan yang tepat maka ucapan ( makna ) akan lancar ( sesuai ). Demikian pula
dengan Laozi yang memaksakan memberikan nama pada satu entitas yang penuh
“misteri”, tanpa penamaan sebagai “jangkar” dalam menjelaskan persepsi-persepsi
akan membuat kabur. Tanpa bantuan nama, setiap kemajuan baru dalam proses
objektifikasi selalu punya resiko segera lenyap pada saat berikutnya
[13].
Nama-nama pertama yang dipakai oleh seorang anak secara sadar dapat diibaratkan
sebagai sebuah tongkat yang dipakai seorang buta untuk meraba-raba jalan.
Kembali lagi pada film
Babel, ragam bahasa itu memiliki satu kesamaan yaitu bahasa ekspresi perasaan
yang spontan tidak ditutupi-tutupi. Ekspresi rasa senang bisa menjadi “bahasa
penghubung” antara manusia yang satu dengan yang lain, karena ekspresi emosi
itu adalah tampak dan bisa dirasakan dengan bahasa “rasa” bukan bahasa
“struktur”. Manusia memerlukan bahasa dalam bentuk apapun dan sebenarnya alam
juga memilik bahasanya. Liu Zhou 劉晝
mengatakan “Matahari dan bulan adalah bahasa langit, sungai dan gunung adalah
bahasa bumi, tuturan percakapanadalah bahasa manusia.
Bahasa langit hilang
akan ada perubahan yang merusak, bahasa bumi hilang pasti ada bencana
keruntuhan, bahasa manusia lenyap pasti ada celaka yang melukai tubuh.”
(日月者天之文也,山川者地之文也,言語者人之文也。天文失則有謫蝕之變,地文失必有崩竭之灾,人文失必有傷身之患 )
.
Saat bahasa tidak
menyambung seperti yang dialami oleh Amelia, Santiago maupun tokoh-tokoh
lainnya dalam film Babel, maka kesulitan akan menimpa Film Babel memiliki
nuansa-nuansa kendala bahasa dan juga kesamaan bahasa yang tidak disadari oleh
manusia, jejaring yang saling kait terkait. Ternyata senapan itu berasal dari
Yasujiro Wataya dan akibatnya adalah kata “terror” yang muncul dan mencekam
para turis saat ke Maroko.
Yang perlu disadari
adalah semua yang ada di alam semesta ini memiliki “bahasa” dan semua yang ada
itu memiliki keterkaitan satu dengan yang lain, hanya saja apa disadari atau
tidak bahwa kita ini ada dalam jejaring yang saling mengambil dan saling
berinteraksi. Pernyataan Liu Zhou itu perlu dipikirkan mendalam bahwa dalam
alam ini ada ragam bahasa dan perlunya menyadari ragam bahasa itu agar manusia
bisa tetap selaras dengan alam. Menyadari bahwa ada langit dan bumi di antara
manusia ini dan perlu memahami bahasa langit dan bahasa bumi disertai bahasa
manusia.
Daftar pustaka :
Cassirer, Ernst ,
“Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Essei Tentang Manusia”, 1987,Jakarta : PT
Gramedia
Xu Jialu 許嘉璐
chief ed., “Tiga Belas kitab, komparasi bahasa klasik dan modern”, jilid 2,
1995, Guangdong, Guangxi, Shanxi : Guangdong Education publisher, Shanxi
people’s Education publisher, Guangxi Education publisher.
Komentar