" Asal Mula Alam Semesta Terbentuk "
Disusun oleh : Tanhadi
Dalam ajaran Buddha agak jarang dibahas, sebab uraian sabda Buddha itu
kurang menarik seperti ajaran agama lain yang ditutup oleh nama Tuhan/ Allah yang
mencipta dan mengaturnya.
Kepercayaan kepada konsep penciptaan Tuhan/ Allah amat kuat, sejak
kecil dan turun temurun, hingga membuat hampir semua orang akan menolak uraian
dari sabda Buddha Gotama, yang mengungkap melalui proses dari system evolusi yang
sebenarnya bekerja di alam semesta ini.
Namun demikian, hanya para ahli Astronomi dan para pakar Fisika kelak
akan salut dan hormat terhadap uraian dari sabda Buddha Gotama ini. Lambat atau
cepat kelak semua orang akan meyakini ajaran Buddha Gotama yang sesuai dengan
IPTEK atau Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Modern.
KUMPULAN SABDA SANG BUDDHA (Kehidupan dan alam kehidupan)
1. Beliau menjelaskan, ketika alam-semesta mulai mengembang, alam yang
telah ada barulah alam surga (alam-dewa).
Dan demikian mereka hidup, terdiri dari batin saja, senantiasa
berbahagia, badannya mengeluarkan cahaya, bergerak di angkasa dengan jayanya,
dan bertahan begitu sampai masa yang sangat lama sekali.
Pada waktu itu bumi hanya terdiri dari massa air semata dan semuanya gelap
kelam.
Tidak ada bulan atau matahari, belum ada tata-surya, bintang belum
terlihat, belum ada perhitungan waktu bulan, pertengahan-bulan, tahun atau
musim, belum ada laki-laki dan wanita, hanya makhluk itu saja yang ada.
Lalu setelah jarak waktu yang sangat lama, buih-buih yang menggiurkan
terbentuk diatas permukaan massa air dimana makhluk-makhluk itu berada.
Bentuknya seperti lapisan yang terbentuk diatas susu panas yang
mendingin. Warnanya seperti dadih-susu (susu yang mengental) atau mentega, dan rasanya
seperti madu murni.
Lalu, beberapa makhluk yang bersifat rakus berkata: "Saya
berkata, apa yang seperti ini !, lalu mencoba buih itu dengan jarinya. Ketika
ia melakukannya, dia menyukainya, dan keinginan timbul diantara mereka. Jadi
mereka mulai berpencar memakannya. Setelah itu, cahaya badannya menghilang;
lalu bulan dan matahari, siang dan malam, bulan dan pertengahan bulan, tahun
dan musim, terjadi.
(Digha Nikaya III: 85)
2. Bila "maha-dewa" adalah pencipta dan pengendali segalanya,
maka tiada gunanya manusia berbuat apapun, sebab manusia bagaikan wayang-kulit
dari kehendak "maha-dewa" sebagai dalangnya, dan dengan sendirinya
"maha-dewa" itulah penanggung jawab dari semua tindakan manusia yang
tidak terpuji. Sang Buddha menyatakan argumentasi-nya sebagai berikut:
Ada beberapa pertapa dan kaum Brahmana yang percaya dan mengajarkan,
bahwa apapun yang dialami manusia, menyenangkan, menyakitkan atau netral,
semuanya disebabkan oleh keinginan "maha-dewa". Saya menemui dan
bertanya pada mereka, apakah benar mereka mengajarkan demikian, mereka ternyata
mengiyakan, lalu saya berkata: "Apabila demikian, tuan yang terhormat,
mereka yang membunuh, mencuri dan berzina pula atas kehendak
"maha-dewa" tersebut.
Mereka harus berbohong, berfitnah dan berkata
kasar serta bergunjing, disebabkan karena kemauan-nya. Mereka harus menjadi
serakah, pembenci dan berpandangan salah karena kemauan "maha-dewa"
tersebut". Mereka menyandarkan semuanya sebagai keputusan "sang
maha-dewa" akan kehilangan gairah keinginan dan daya-upaya untuk berbuat
ini atau tidak berbuat itu.
(Anguttara Nikaya I: 173)
3. Satu lagi, juga ada pendapat bahwa kejahatan dan penderitaan disebabkan
oleh para iblis. Tetap, tak dapat diterangkan mengapa "maha-dewa
pengasih" tidak dapat menyelamatkan orang-orang tak berdosa. Mengapa
"maha-dewa pengasih" membiarkan penderitaan terjadi? Oleh karenanya,
adanya penderitaan yang mengerikan dan tanpa tujuan itu merupakan bukti tidak
adanya "maha-dewa maha-pengasih" tersebut. Sang Buddha bersabda:
Dengan mata, seseorang dapat melihat pandangan memilukan;
Mengapa "maha-dewa" itu tidak menciptakan secara baik?
Bila kekuatannya demikian tak terbatas, Mengapa tangannya begitu jarang
memberkati,
Mengapa dia tidak memberi kebahagiaan semata?
Mengapa kejahatan, kebohongan dan ketidak-tahuan merajalela.
Mengapa memenangkan kepalsuan, sedangkan kebenaran dan keadilan gagal?.
Saya menganggap, "maha-dewa" adalah ketak-adilan. Yang membuat
dunia yang diatur keliru.
(Jataka VI: 208)
4. Dibalik kenyataan bahwa alam manusia adalah yang terbaik dari segala
alam, namun terlahir sebagai manusia adalah kesempatan yang sangat jarang, oleh
karena kita seharusnya menggunakan sebaik mungkin kesempatan tersebut. Sang
Buddha bertanya:
"Yang mana lebih banyak - pasir diujung kuku saya, atau pasir seluruh
bumi?"
"Guru, jauh lebih banyak pasir di bumi ini. Sangat sedikit pasir di
ujung kuku Guru. Satu sama lain tidak dapat dibandingkan."
"Demikian pula, makhluk yang dilahirkan sebagai manusia adalah sangat
sedikit. Jauh lebih banyak yang terlahir dalam alam-alam lainnya. Oleh
karenanya engkau hendaknya melatih dirimu, dengan senantiasa berpikir:
"Kita akan hidup sebaik mungkin".
(Samyutta Nikaya II: 262)
5. Puluhan khotbah Beliau menampilkan alasan untuk meruntuhkan sistim kasta
dan menegakkan persamaan martabat dan harkat manusia.(Lihat, sebagai contoh, Assalayana
Sutta - M, II: 147; Ambattha Sutta - D, I: 88; Vasala Sutta - Sn: 116)
Beliau bersabda:
Apabila engkau memperhatikan pepohonan atau rumput,
Tanpa mengetahuinya,
Mereka tampak beraneka macam dan ragam, Ada bermacam
jenisnya
Lalu perhatikan ngengat dan kumbang, Atau serangga kecil seperti semut;
Mereka tampak beraneka macam dan ragam, Ada bermacam jenisnya;.
Dan pada makhluk ber-kaki empat, Yang besar dan kecil, Mereka tampak
beraneka macam dan ragam, Ada bermacam jenisnya Perhatikan makhluk yang merayap
pada perutnya, Ular dan hewan melata lainnya.
Mereka tampak beraneka macam dan
ragam,
Ada bermacam jenisnya. Perhatikan ikan dan semua yang hidup di air
Mereka tampak beraneka macam dan ragam, Ada bermacam jenisnya
Perhatikan burung yang beterbangan Mereka yang bepergian melalui angkasa;
Mereka juga tampak beraneka macam dan ragam, Ada bermacam jenisnya
Pada semua makhluk-makhluk itu, Macam dan ragamnya dapat terlihat;
Pada manusia tidak ada perbedaan diantaranya.
Tidak dirambut atau kepala,
ditelinga atau mata, Tidak di mulut atau hidung, bibir atau alis, Adanya
perbedaan yang mencolok. Tidak di leher atau bahu, Tidak di perut atau dada,
Tidak pula pada kelamin
Adanya perbedaan mencolok. Tidak pada tangan atau kaki, pada jari atau
kuku,
Tidak pada betis, paha atau bentuk penampilan,Adanya perbedaan ragam dan
macamnya, Seperti pada makhluk lainnya. Ragam manusia tidak berbeda banyak,
Seperti makhluk lainnya. Yang berbeda antara umat manusia, Hanyalah
perbedaan tak bermakna.
(Sutta Nipata: 601-602)
6. Pencerahan dicapai mengembangkan kebijaksanaan dan welas-asih, dan siapa
saja, tidak tergantung dari jenis kelaminnya dapat mencapainya. Sang Buddha
bersabda:
Wanita, dari perumah-tangga biasa sampai yang telah meninggalkan
keduniawian,
dapat mencapai tingkat Pemenang-Arus, tingkat Yang-Kembali-Sekali,
tingkat Yang-Tak-Kembali, tingkat Arahat .
(Vinaya V: 254).
7. Oleh karenanya wanita seharusnya diperlakukan sama dan mendapat
kesempatan yang sama dengan kaum lelaki. Pandangan Buddha pada kemampuan
pencapaian Pencerahan oleh wanita dirangkum dengan baik oleh seorang murid
Beliau bernama Soma.
Kodrat sebagai wanita tidaklah berperan Tatkala batin tenang dan kokoh,
Tatkala pengetahuan berkembang hari ke hari, Dan ketika dia merenungkan
Dhamma.
Seseorang yang berpikir seperti ini: Oleh karena "Saya wanita"
atau "Saya pria"
Ataupun setiap pikiran "Saya adalah ......" Mara akan dapat
menyapanya.
(Samyutta Nikaya I: 129)
8. Karena mengetahui bahwa setiap insan dapat mencapai Pencerahan, Buddha
mengajarkan Dhamma kepada semua orang, dengan harapan semuanya mempelajarinya,
melaksanakannya dan saling mengajarkannya. Ketika Mara membujuknya agar mati
lebih dini, Buddha menjawab:
Saya tidak akan mati sebelum para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria
serta wanita telah mempelajari mendalami, kebijaksanaan dan terlatih, dapat
mengingat ajaran, menguasai ajaran utama dan tambahan serta bermoral; sampai
mereka dapat menguasai, dapat menyampaikan pada lainnya, mengajarkannya,
memaklumkannya, memperdalam, menghayati, menerangkan serta membabarkannya;
sampai mereka mampu membedakannya dari ajaran salah yang diajarkan oleh yang
lainnya dan dapat menyebarkan kebenaran yang meyakinkan serta dapat membebaskan
ini, ke segala penjuru.
Saya tidak akan mati sampai tata kehidupan yang suci
telah dicapai, dihargai dan dihormati; sampai ajaran kebenaran ini dikenal luas
diantara dewa dan manusia.
(Digha Nikaya II: 104)
9. Alam Binatang (tiracchana yoni) termasuk semua hewan menyusui,
burung-burung, ikan, binatang melata dan serangga. Pada Alam Binatang; perasaan
setia, mengasihi, berkorban dan sebagainya hampir tidak ada lagi, unsur
pendorong utama dalam kehidupan mereka adalah sekadar naluri makan, seks dan
mempertahankan hidup. Karenanya binatang saling memangsa tanpa cinta-kasih atau
welas-asih, tanpa mengharapkan bantuan atau simpati dari yang lainnya. Buddha
bersabda tentang Alam Binatang:
Disana tidak ada kehidupan sesuai Dhamma, tidak ada keseimbangan
hidup,
tidak dilakukan yang baik dan terlatih; hanya saling memangsa dan memakan
yang lebih lemah.
(Majjhima Nikaya III: 250)
10. Walau alam kehidupan adalah tempat, namun sebenarnya lebih dari
demikian; alam-alam tersebut terutama adalah keadaan batin. Seseorang yang
anggun, berdaya dan bahagia dapat dikatakan berada di alam dewa seperti
kebahagiaan dewa sebenarnya. Pula, manusia yang mengalami banyak penderitaan batin
dapat dikatakan berada di alam neraka seperti penderitaan batin dapat dikatakan
berada di alam neraka seperti penderitaan di alam neraka sebenarnya. Sang
Buddha menegaskan, dengan bersabda:
Apabila seorang dungu berkata bahwa neraka ada dibawah laut, maka mereka
sebenarnya berkata palsu tak berdasar.Istilah "neraka" adalah
menunjukkan perasaan-perasaan yang menyakitkan.
(Samyutta Nikaya IV: 206)
11. Tujuan hidup tak lain adalah melepaskan diri dari samsara dan
membebaskan batin kita untuk mencapai kedamaian Nibbana. Buddha bersabda:
Kehidupan suci bukanlah demi keberuntungan karena mendapat kekayaan,
kehormatan dan kemasyuran, dan kehidupan bermoral; bukan pula demi
keberuntungan yang dikarenakan dapat memusatkan pikiran, pula bukan untuk
keberuntungan yang dikarenakan oleh pengetahuan dan kewaskitaan.
Tapi adalah sesuatu "kebebasan batin yang tak tergoyahkan" itulah
yang menjadi tujuan dari kehidupan yang suci, itulah sasaran-nya, itulah titik
puncaknya
(Majjhima Nikaya I: 197)
Komentar