Mengapa Musik Menyemangati Kita?
Oleh Tia Ghose, Staf Penulis LiveScience | LiveScience
Emosi universal seperti kemarahan, kesedihan dan kebahagiaan diekspresikan hampir sama pada musik dan gerak dalam berbagai budaya, demikian diungkapkan sebuah penelitian terbaru.
Para peneliti mengatakan, ketika mahasiswa Dartmouth dan anggota suku terpencil di Kamboja diminta menggunakan sliding bar untuk menyesuaikan kecepatan, jangkauan nada, atau irama musik, mereka menggunakan tipe karakteristik yang sama untuk mengekspresikan emosi dasar. Terlebih lagi, tipe pola yang sama digunakan untuk mengekspresikan emosi yang sama dalam animasi gerakan dalam kedua budaya tersebut.
"Jenis-jenis dinamika yang Anda temukan dalam gerak, akan Anda temukan juga dalam musik, dan mereka digunakan dalam cara yang sama untuk memberikan makna yang sama," kata penulis penelitian Thalia Wheatley, yang merupakan seorang ahli neurosains di Dartmouth University.
Temuan tersebut menunjukkan, kekuatan musik yang intens mungkin terletak pada fakta bahwa musik diproses oleh sirkuit otak yang digunakan untuk membaca emosi dalam gerakan kita.
"Penelitian tersebut menjelaskan mengapa musik begitu mendasar dan menarik bagi kita," kata Jonathan Schooler, seorang profesor ilmu otak dan sains psikologi di University of California di Santa Barbara, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut. "Penelitian tersebut mengambil manfaat sistem primitif yang sangat mendasar dan, dalam arti tertentu, yang memahami bagaimana gerak berhubungan dengan emosi."
Emosi universal
Alasan manusia suka musik masih menjadi sebuah misteri yang belum terpecahkan. Para ilmuwan telah menemukan bahwa hewan menyukai musik yang berbeda dari manusia, dan beberapa bagian otak yang terangsang oleh makanan, seks dan cinta juga aktif ketika kita mendengarkan musik. Musisi bahkan bisa membaca emosi dengan lebih baik daripada profesi lain.
Penelitian terdahulu menunjukkan, daerah otak yang aktif ketika orang membaca emosi dalam musik dan gerakan adalah sama. Yang membuat Wheatley heran, bagaimana keduanya bisa terhubung?
Untuk mengetahui itu, Wheatley dan koleganya meminta 50 mahasiswa Dartmouth untuk memanipulasi lima slider bar untuk mengubah karakteristik dari animasi bola yang dapat memantul dan membuatnya terlihat senang, sedih, marah, takut atau nyaman.
"Kami hanya mengatakan ‘Buatlah agar bola itu terlihat marah atau buat ia tampak bahagia,'" katanya kepada LiveScience.
Untuk membuat emosi yang berbeda terhadap bola itu, para mahasiswa bisa menggunakan slider bar untuk memengaruhi seberapa sering bola tersebut memantul dan seberapa sering memantul dengan kencang, baik bola itu naik atau turun lebih sering dan seberapa lembut bola itu bergerak.
50 mahasiswa lainnya bisa menggunakan slider bar yang sama untuk menyesuaikan jangkauan nada, tempo, harmoni (pengulangan), lompatan musik dan kecemasan dalam musik untuk menangkap emosi-emosi yang sama.
Para mahasiswa cenderung menempatkan slider bar di posisi yang sama, entah mereka membuat musik penuh kemarahan atau bola yang bergerak seperti marah.
Untuk melihat apakah tren ini ada di seluruh budaya, tim Wheatley melakukan perjalanan ke dataran tinggi terpencil Kamboja dan meminta sekitar 85 anggota suku Kreung untuk melakukan tugas yang sama. Musik Kreung terdengar sangat berbeda dari musik Barat, dengan gong dan alat musik yang disebut mem yang terdengar seperti serangga yang berdengung, kata Wheatley. Tak satu pun dari orang-orang suku tersebut pernah terpapar oleh musik atau media Barat, tambahnya.
Menariknya, Kreung cenderung menempatkan slider bar di posisi yang sama seperti yang dilakukan oleh orang Amerika untuk menangkap emosi yang berbeda, dan posisi slider sangat mirip baik pada musik maupun emosi.
Temuan itu menunjukkan bahwa musik masuk ke dalam jaringan otak dan daerah yang kita gunakan untuk memahami emosi dalam gerakan orang. Mungkin hal itu menjelaskan mengapa musik memiliki kekuatan untuk menggerakkan kita, musik mengaktifkan daerah otak yang dalam yang digunakan untuk memproses emosi, kata Wheatley.
"Emosi adalah sesuatu yang sama, tidak peduli apakah emosi tersebut masuk melalui mata atau telinga," katanya.
Penelitian tersebut dibahas dalam jurnal “Proceedings of the National Academy of Sciences” pada 17 Desember.
Emosi universal seperti kemarahan, kesedihan dan kebahagiaan diekspresikan hampir sama pada musik dan gerak dalam berbagai budaya, demikian diungkapkan sebuah penelitian terbaru.
Para peneliti mengatakan, ketika mahasiswa Dartmouth dan anggota suku terpencil di Kamboja diminta menggunakan sliding bar untuk menyesuaikan kecepatan, jangkauan nada, atau irama musik, mereka menggunakan tipe karakteristik yang sama untuk mengekspresikan emosi dasar. Terlebih lagi, tipe pola yang sama digunakan untuk mengekspresikan emosi yang sama dalam animasi gerakan dalam kedua budaya tersebut.
"Jenis-jenis dinamika yang Anda temukan dalam gerak, akan Anda temukan juga dalam musik, dan mereka digunakan dalam cara yang sama untuk memberikan makna yang sama," kata penulis penelitian Thalia Wheatley, yang merupakan seorang ahli neurosains di Dartmouth University.
Temuan tersebut menunjukkan, kekuatan musik yang intens mungkin terletak pada fakta bahwa musik diproses oleh sirkuit otak yang digunakan untuk membaca emosi dalam gerakan kita.
"Penelitian tersebut menjelaskan mengapa musik begitu mendasar dan menarik bagi kita," kata Jonathan Schooler, seorang profesor ilmu otak dan sains psikologi di University of California di Santa Barbara, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut. "Penelitian tersebut mengambil manfaat sistem primitif yang sangat mendasar dan, dalam arti tertentu, yang memahami bagaimana gerak berhubungan dengan emosi."
Emosi universal
Alasan manusia suka musik masih menjadi sebuah misteri yang belum terpecahkan. Para ilmuwan telah menemukan bahwa hewan menyukai musik yang berbeda dari manusia, dan beberapa bagian otak yang terangsang oleh makanan, seks dan cinta juga aktif ketika kita mendengarkan musik. Musisi bahkan bisa membaca emosi dengan lebih baik daripada profesi lain.
Penelitian terdahulu menunjukkan, daerah otak yang aktif ketika orang membaca emosi dalam musik dan gerakan adalah sama. Yang membuat Wheatley heran, bagaimana keduanya bisa terhubung?
Untuk mengetahui itu, Wheatley dan koleganya meminta 50 mahasiswa Dartmouth untuk memanipulasi lima slider bar untuk mengubah karakteristik dari animasi bola yang dapat memantul dan membuatnya terlihat senang, sedih, marah, takut atau nyaman.
"Kami hanya mengatakan ‘Buatlah agar bola itu terlihat marah atau buat ia tampak bahagia,'" katanya kepada LiveScience.
Untuk membuat emosi yang berbeda terhadap bola itu, para mahasiswa bisa menggunakan slider bar untuk memengaruhi seberapa sering bola tersebut memantul dan seberapa sering memantul dengan kencang, baik bola itu naik atau turun lebih sering dan seberapa lembut bola itu bergerak.
50 mahasiswa lainnya bisa menggunakan slider bar yang sama untuk menyesuaikan jangkauan nada, tempo, harmoni (pengulangan), lompatan musik dan kecemasan dalam musik untuk menangkap emosi-emosi yang sama.
Para mahasiswa cenderung menempatkan slider bar di posisi yang sama, entah mereka membuat musik penuh kemarahan atau bola yang bergerak seperti marah.
Untuk melihat apakah tren ini ada di seluruh budaya, tim Wheatley melakukan perjalanan ke dataran tinggi terpencil Kamboja dan meminta sekitar 85 anggota suku Kreung untuk melakukan tugas yang sama. Musik Kreung terdengar sangat berbeda dari musik Barat, dengan gong dan alat musik yang disebut mem yang terdengar seperti serangga yang berdengung, kata Wheatley. Tak satu pun dari orang-orang suku tersebut pernah terpapar oleh musik atau media Barat, tambahnya.
Menariknya, Kreung cenderung menempatkan slider bar di posisi yang sama seperti yang dilakukan oleh orang Amerika untuk menangkap emosi yang berbeda, dan posisi slider sangat mirip baik pada musik maupun emosi.
Temuan itu menunjukkan bahwa musik masuk ke dalam jaringan otak dan daerah yang kita gunakan untuk memahami emosi dalam gerakan orang. Mungkin hal itu menjelaskan mengapa musik memiliki kekuatan untuk menggerakkan kita, musik mengaktifkan daerah otak yang dalam yang digunakan untuk memproses emosi, kata Wheatley.
"Emosi adalah sesuatu yang sama, tidak peduli apakah emosi tersebut masuk melalui mata atau telinga," katanya.
Penelitian tersebut dibahas dalam jurnal “Proceedings of the National Academy of Sciences” pada 17 Desember.
Komentar