" DEFINISI ALLAH/ TUHAN "
SERI KE-9 DEFINISI ALLAH/ TUHAN.
Tuhan di Luar, Tuhan di Dalam.
Oleh : Kartono Mohamad
(mantan ketua umum pengurus besar ikatan dokter Indonesia)
Kompas, Sabtu, 5 Mei 2007-Opini
Bagi banyak orang, Tuhan ada di luar. Orang sering merujuk tempat
Tuhan sebagai di atas, entah di mana. “Terserah yang di atas” adalah
ungkapan yang biasa diucapkan saat orang menyerahkan nasibnya kepada
Tuhan. Tuhan yang diagungkan tidak mungkin ada di bawah dan lebih
rendah dari manusia. Banyak agama meyakini, tempat Tuhan ‘yang di
atas’ itu. Musa menemui Tuhan di atas puncak gunung di Sinai. Setelah
disalib, Yesus diyakini ‘di angkat ke langit’. Nabi Muhamad pernah dipanggil
‘naik ke tempat Tuhan lalu menerima perintah untuk umatnya’.
Tuhan dimanipulasi
Karena Tuhan ada di luar diri kita, banyak orang merasa
dekat hanya saat mengunjungi-Nya, saat bersembahyang di mesjid,
di gereja, di pure atau vihara. Pada saat itulah manusia merasa
telah mendekat kepada Tuhan dan berharap Tuhan akan
mengingat kehadirannya.
Selepas itu, bahkan tidak jarang baru beberapa langkah keluar
dari tempat ibadah, ia sudah lupa akan Tuhan.
Tuhan sudah ditinggalkan di mesjid, gereja, pure atau
vihara. Seperti guarauan teman saya orang Filipina “On Sunday
we are true Catholics, On the other days, we are true Philippinos”.
Pada hari lain kembali mereka senang bertaruh menyabung (aduan)
ayam dan mabuk-mabukan.
Konsep Tuhan jauh di atas juga membuat Tuhan seperti
orang lain yang dapat dimanipulasi, ditipu, atau disuap.
Banyak penganjur agama yang mengatasnamakan Tuhan
dalam meminta upeti, fasilitas, atau layanan pribadi kepada
umatnya yang miskin. Mereka menjual Tuhan untuk
kepentingan pribadi dan memperkaya diri.
Itulah yang menyebabkan Karl Marx menuduh agama sebagai candu
rakyat. Rakyat miskin dicekoki, mereka harus lebih mementingkan
Tuhan daripada diri sendiri, tetapi tidak satupun yang mengangkat
kemiskinan. Rakyat diajari, kemiskinan adalah takdir Tuhan maka
banyaklah bersembahyang dan beramal agar tertolong dari
kemiskinan. Tuhan yang di luar juga bisa ditipu.
Setelah manusia mencuri atau korupsi, ia akan merasa sudah
berbuat amal atau menebus dosa jika sebagian hasil korupsinya di
sumbangkan untuk membangun tempat ibadah atau pergi haji.
Secara spiritual ia telah melakukan pencucian uang, menyuap
Tuhan, dan mencari pujian dari sesama manusia. Bagi yang
menganggap Tuhan ada di luar, Tuhan tidak tahu kalau ia korupsi
atau menipu dan hanya tahu ia pergi haji atau menyumbang
pembangunan rumah ibadah.
Lebih parah lagi, selain menganggap Tuhan ada di atas,
manusia lalu mengangkat diri sebagai wakil
Tuhan di bumi dan berhak menafsirkan perintah Tuhan menurut
diri sendiri. Ia juga berhak merasa mewakili untuk menentukan
siapa yang berdosa, siapa yang kafir, dan siapa yang murtad. selain
mejadi jaksa, ia juga merasa berhak menjadi hakim lalu
menjatuhkan hukuman bagi mereka yang dianggap menyimpang.
Dulu ada nabi-nabi yang diyakini dapat berkomunikasi langsung
dengan Tuhan dan menjadi wakil Tuhan di bumi. Kini tidak ada
lagi nabi. Untuk itu manusia mengangkat dirinya sendiri sebagai
yang berhak mewakili Tuhan. Ia lalu menganggap ucapannya
adalah ucapan Tuhan.
Celakanya, orang-orang yang merasa mewakli
Tuhan tidak jarang saling berebut pengaruh agar dialah
yang dianggap paling benar. Jika perebutan secara adu
argumentasi tidak berhasil, adu otot pun terjadi. Kekuatan fisik,
jika perlu melalui teror ditonjolkan. Negara dan polisi dibuat
takut menindak karena melawan mereka indentik melawan Tuhan.
Tuhan di dalam.
Sudah sejak abad ke-8 para pakar filsafat berdebat tentang
keadaan Tuhan. Ada yang menganggap Tuhan tak ada, ada yang
berpendapat Tuhan ada tetapi tidak operasional lagi (kaum Deist),
bahkan ada yang menganggap Tuhan sudah mati (antara lain
Nietzsche). Kaum Deist, seperti kebanyakkan penganut agama
masa kini, menganggap Tuhan ada jauh di atas sana.
Sepanjang ia ada jauh di sana, biarkan ia dengan kesenangan-Nya
sendiri, atau buatlah agar Ia senang di tempat-Nya
(Deist position kept god happilyin His place).
Yang agak berbeda adalah Immanuel Kant (1724-1804).
Ia mengaku percaya ada Tuhan, tetapi Tuhan diyakini ada
bukan karena segala sesuatu harus ada awalnya.
Bagi Kant, Tuhan dianggap sebagai pembuat hukum moralitas tertinggi.
Manusia yang baik adalah yang mematuhi hukum Tuhan.
Hanya saja Kant tidak menganggap, Tuhan tidak ada di luar,
tetapi di dalam diri kita (God is not a being out side me.
Only God in me, about me, and over me).
Ia memperkenalkan teori Categorikal Imperative: Kita wajib
berbuat baik dan benar karena dorongan dari diri sendiri, karena
ada Tuhan pembuat hukum di dalam diri kita. Tuhan dalam diri
kita juga tidak dapat ditipu, dimanipulasi, atau dijual untuk
kepentingan kita.
Memahami konsep bahwa Tuhan ada di dalam diri sesuai
ajaran Kant akan sulit bagi kebanyakkan kita yang sudah terbiasa
menempatkan Tuhan ada di luar diri kita, jauh di atas sana. Kita
sudah menjadi penganut Deist yang membiarkan Tuhan berada
jauh di sana, lalu kita mewakili kehadiran-Nya di dunia baik sebagai
jaksa maupun hakim bagi manusia lain.
Sementara kita sendiri tetap berbuat semau kita dan
hanya sesekali menghadap-Nya sebagai basa-basi rutin.
Manusia yang mengganggap Tuhan jauh di atas
tidak merasa bersalah saat ia korupsi, mencuri, atau merugikan
orang lain.
Tuhan yang jauh akan diam saja, atau senang, asal
sesudah itu manusia bersembahyang, pergi haji atau membangun
rumah ibadah. Beda dengan konsep Kant yang mengatakan kita
harus selalu berbuat baik dan menghindari berbuat jahat karena
Tuhan ada di dalam diri kita.
Oleh : Kartono Mohamad
(mantan ketua umum pengurus besar ikatan dokter Indonesia)
Tuhan di Luar, Tuhan di Dalam.
Oleh : Kartono Mohamad
(mantan ketua umum pengurus besar ikatan dokter Indonesia)
Kompas, Sabtu, 5 Mei 2007-Opini
Bagi banyak orang, Tuhan ada di luar. Orang sering merujuk tempat
Tuhan sebagai di atas, entah di mana. “Terserah yang di atas” adalah
ungkapan yang biasa diucapkan saat orang menyerahkan nasibnya kepada
Tuhan. Tuhan yang diagungkan tidak mungkin ada di bawah dan lebih
rendah dari manusia. Banyak agama meyakini, tempat Tuhan ‘yang di
atas’ itu. Musa menemui Tuhan di atas puncak gunung di Sinai. Setelah
disalib, Yesus diyakini ‘di angkat ke langit’. Nabi Muhamad pernah dipanggil
‘naik ke tempat Tuhan lalu menerima perintah untuk umatnya’.
Tuhan dimanipulasi
Karena Tuhan ada di luar diri kita, banyak orang merasa
dekat hanya saat mengunjungi-Nya, saat bersembahyang di mesjid,
di gereja, di pure atau vihara. Pada saat itulah manusia merasa
telah mendekat kepada Tuhan dan berharap Tuhan akan
mengingat kehadirannya.
Selepas itu, bahkan tidak jarang baru beberapa langkah keluar
dari tempat ibadah, ia sudah lupa akan Tuhan.
Tuhan sudah ditinggalkan di mesjid, gereja, pure atau
vihara. Seperti guarauan teman saya orang Filipina “On Sunday
we are true Catholics, On the other days, we are true Philippinos”.
Pada hari lain kembali mereka senang bertaruh menyabung (aduan)
ayam dan mabuk-mabukan.
Konsep Tuhan jauh di atas juga membuat Tuhan seperti
orang lain yang dapat dimanipulasi, ditipu, atau disuap.
Banyak penganjur agama yang mengatasnamakan Tuhan
dalam meminta upeti, fasilitas, atau layanan pribadi kepada
umatnya yang miskin. Mereka menjual Tuhan untuk
kepentingan pribadi dan memperkaya diri.
Itulah yang menyebabkan Karl Marx menuduh agama sebagai candu
rakyat. Rakyat miskin dicekoki, mereka harus lebih mementingkan
Tuhan daripada diri sendiri, tetapi tidak satupun yang mengangkat
kemiskinan. Rakyat diajari, kemiskinan adalah takdir Tuhan maka
banyaklah bersembahyang dan beramal agar tertolong dari
kemiskinan. Tuhan yang di luar juga bisa ditipu.
Setelah manusia mencuri atau korupsi, ia akan merasa sudah
berbuat amal atau menebus dosa jika sebagian hasil korupsinya di
sumbangkan untuk membangun tempat ibadah atau pergi haji.
Secara spiritual ia telah melakukan pencucian uang, menyuap
Tuhan, dan mencari pujian dari sesama manusia. Bagi yang
menganggap Tuhan ada di luar, Tuhan tidak tahu kalau ia korupsi
atau menipu dan hanya tahu ia pergi haji atau menyumbang
pembangunan rumah ibadah.
Lebih parah lagi, selain menganggap Tuhan ada di atas,
manusia lalu mengangkat diri sebagai wakil
Tuhan di bumi dan berhak menafsirkan perintah Tuhan menurut
diri sendiri. Ia juga berhak merasa mewakili untuk menentukan
siapa yang berdosa, siapa yang kafir, dan siapa yang murtad. selain
mejadi jaksa, ia juga merasa berhak menjadi hakim lalu
menjatuhkan hukuman bagi mereka yang dianggap menyimpang.
Dulu ada nabi-nabi yang diyakini dapat berkomunikasi langsung
dengan Tuhan dan menjadi wakil Tuhan di bumi. Kini tidak ada
lagi nabi. Untuk itu manusia mengangkat dirinya sendiri sebagai
yang berhak mewakili Tuhan. Ia lalu menganggap ucapannya
adalah ucapan Tuhan.
Celakanya, orang-orang yang merasa mewakli
Tuhan tidak jarang saling berebut pengaruh agar dialah
yang dianggap paling benar. Jika perebutan secara adu
argumentasi tidak berhasil, adu otot pun terjadi. Kekuatan fisik,
jika perlu melalui teror ditonjolkan. Negara dan polisi dibuat
takut menindak karena melawan mereka indentik melawan Tuhan.
Tuhan di dalam.
Sudah sejak abad ke-8 para pakar filsafat berdebat tentang
keadaan Tuhan. Ada yang menganggap Tuhan tak ada, ada yang
berpendapat Tuhan ada tetapi tidak operasional lagi (kaum Deist),
bahkan ada yang menganggap Tuhan sudah mati (antara lain
Nietzsche). Kaum Deist, seperti kebanyakkan penganut agama
masa kini, menganggap Tuhan ada jauh di atas sana.
Sepanjang ia ada jauh di sana, biarkan ia dengan kesenangan-Nya
sendiri, atau buatlah agar Ia senang di tempat-Nya
(Deist position kept god happilyin His place).
Yang agak berbeda adalah Immanuel Kant (1724-1804).
Ia mengaku percaya ada Tuhan, tetapi Tuhan diyakini ada
bukan karena segala sesuatu harus ada awalnya.
Bagi Kant, Tuhan dianggap sebagai pembuat hukum moralitas tertinggi.
Manusia yang baik adalah yang mematuhi hukum Tuhan.
Hanya saja Kant tidak menganggap, Tuhan tidak ada di luar,
tetapi di dalam diri kita (God is not a being out side me.
Only God in me, about me, and over me).
Ia memperkenalkan teori Categorikal Imperative: Kita wajib
berbuat baik dan benar karena dorongan dari diri sendiri, karena
ada Tuhan pembuat hukum di dalam diri kita. Tuhan dalam diri
kita juga tidak dapat ditipu, dimanipulasi, atau dijual untuk
kepentingan kita.
Memahami konsep bahwa Tuhan ada di dalam diri sesuai
ajaran Kant akan sulit bagi kebanyakkan kita yang sudah terbiasa
menempatkan Tuhan ada di luar diri kita, jauh di atas sana. Kita
sudah menjadi penganut Deist yang membiarkan Tuhan berada
jauh di sana, lalu kita mewakili kehadiran-Nya di dunia baik sebagai
jaksa maupun hakim bagi manusia lain.
Sementara kita sendiri tetap berbuat semau kita dan
hanya sesekali menghadap-Nya sebagai basa-basi rutin.
Manusia yang mengganggap Tuhan jauh di atas
tidak merasa bersalah saat ia korupsi, mencuri, atau merugikan
orang lain.
Tuhan yang jauh akan diam saja, atau senang, asal
sesudah itu manusia bersembahyang, pergi haji atau membangun
rumah ibadah. Beda dengan konsep Kant yang mengatakan kita
harus selalu berbuat baik dan menghindari berbuat jahat karena
Tuhan ada di dalam diri kita.
Oleh : Kartono Mohamad
(mantan ketua umum pengurus besar ikatan dokter Indonesia)
Komentar