Global Warming (2)
Lebih dari 2 Triliun Ton Es Kutub Mencair
LEBIH dari dua triliun ton es di Kutub Utara dan Kutub Selatan mencair sejak tahun 2003. Hasil pengukuran menggunakan data pengamatan satelit GRACE milik NASA itu menunjukkan bukti terbaru dampak dari pemanasan global.
"Antara Greenland, Antartika, dan Alaska, pencairan lapisan es telah meningkatkan air laut setinggi seperlima inci dalam lima tahun terakhir," kata Scott Luthcke, geofisikawan NASA.
Dari pengukuran tersebut, lebih dari setengahnya adalah es yang sebelumnya ada di Greenland. Selama lima tahun, es yang mencair dari Greenland tersebut mengalir ke Teluk Chesapeake dan mengalir ke laut lepas. Bahkan menurut Luthcke, pencairan es di Greenland akan berlangsung semakin cepat.
Mencairnya es di daratan sebenarnya tak berpengaruh langsung terhadap kenaikan muka air laut di seluruh dunia seperti mencairnya lautan beku. Pada tahun 1990-an, pencairan es di Greenland tidak menyebabkan peningkatan air laut yang berarti.
"Namun, saat ini Greenland turut meningkatkan setengah milimeter tingkat air laut per tahun," kata ilmuwan es NASA Jay Zwally. “Pencairan terus memburuk. Ini menunjukkan tanda yang kuat dari pencairan dan amplifikasi. Tidak ada perbaikan yang terjadi,” lanjut Zwally.
Para ilmuwan NASA mempresentasikan temuan baru mereka pada konferensi American Geophysical Union di San Fransisco minggu lalu. Dengan menganalisis perubahan iklim, secara umum para ilmuwan akan melihat yang terjadi beberapa tahun untuk menentukan tren secara keseluruhan.
HIN
Sumber : LIVESCIENCE.
Kampanye "Global Warming", Pangeran Albert Jelajahi Antartika
Selasa, 6 Januari 2009
PUNTA ARENAS, — Pangeran Albert II meninggalkan Monaco, Senin (5/1), memulai ekspedisi ke Antartika di Kutub Selatan untuk menggugah kepedulian publik terhadap pemanasan global (global warming). Perjalanan tersebut akan melengkapi pengalamannya yang lebih dulu mengunjungi Kutub Utara pada 2006.
Ia akan menghabiskan waktu hingga 22 Januari dan berkunjung ke 26 base camp internasional yang ada di benua beku tersebut. Tempat kunjungan pertama yang dituju adalah King George Island yang merupakan stasiun penelitian bersama sejumlah negara. Dari sana, kapal akan singgah di Patriot Hill yang menjadi base camp peneliti AS dan Amundsmen-Scott yang merupakan pusat penelitian Perancis dan Italia.
Selanjutnya, misi dilanjutkan ke Stasiun Vostok dan Novolazarevskaya yang menjadi pusat perhatian Russia. Dari sana, lanjut ke Stasiun Davis Australia, Stasiun Princess Elisabeth yang menjadi basis peneliti Belgia serta stasiun para peneliti Norwegia.
"Ini merupakan salah satu kawasan paling sensitif di dunia. Segala sesuatu yang terjadi di Kutub Selatan seperti di Kutub Utara berpenagruh terhadap semua daearah di planet ini," ujarnya. Menurutnya, misi ekspedisi tersebut sekaligus menegaskan dukungan Monaco terhadap Traktat Antaryiksa yang bertujuan mencegah eksploitasi komersial maupun militer untuk kepentingan sempit masing-masing negara.
Pangeran Albert II yang merupakan anak laki-laki Puteri Rainier selama ini dikenal sebagai tokoh yang peduli lingkungan. Suami artis cantik Hollywood Grace kelly itu telah alma aktif dalam kegiatan lingkungan bahkan mendirikan yayasan lingkungan pada tahun 2006.
Salah satunya menjadi salah satu penawar tertinggi untuk menamai spesies baru ikan-ikan yang ditemukan di Raja Ampat, Papua Barat melalui Blue Ocean Auction dua tahun lalu. Dana yang diberikan digunakan untuk mendanai konservasi lingkungan di daratan dan perairan dekat kawasan Kepala Burung Papua itu.
WAHSumber : AP
Efek Rumah Kaca Ancam Terumbu Karang Dunia
POZNAN, RABU - Dunia telah kehilangan hampir 20 persen terumbu karangnya akibat emisi karbon dioksida, demikian laporan yang disiarkan di Poznan, Polandia, Rabu (10/12). Laporan yang dirilis Global Coral Reef Monitoring Network ini merupakan upaya memberi tekanan atas peserta konferensi PBB mengenai iklim agar membuat kemajuan dalam memerangi kenaikan suhu global. "Jika kecenderungan emisi karbon dioksida saat ini terus berlangsung, banyak terumbu karang mungkin akan hilang dalam waktu 20 sampai 40 tahun mendatang, dan ini akan memiliki konsekuensi bahaya bagi sebanyak 500 juta orang yang bergantung atas terumbu karang untuk memperoleh nafkah mereka," ungkap laporan tersebut.
"Jika tak ada perubahan, kita akan menyaksikan berlipatnya karbon dioksida di atmosfer dalam waktu kurang dari 50 tahun," ujar Carl Gustaf Lundin, pimpinan program kelautan global di International Union for Conservation of Nature, salah satu organisasi di belakang Global Coral Reef Monitoring Network.
"Karena karbon ini diserap, samudra akan menjadi lebih asam, yang secara serius merusak sangat banyak biota laut dari terumbu karang hingga kumpulan plankton dan dari udang besar hingga rumput laut," tambahnya.
Saat ini, perubahan iklim dipandang sebagai ancaman terbesar bagi terumbu karang. Ancaman utama iklim, seperti naiknya temperatur permukaan air laut dan tingkatan keasaman air laut, bertambah besar oleh ancaman lain termasuk pengkapan ikan secara berlebihan, polusi dan spesies pendatang.
Yang membesarkan hati dari laporan tersebut adalah sekitar 45 persen terumbu karang saat ini masih berada dalam kondisi sehat. Harapan lainnya adalah kemampuan sebagian terumbu karang untuk pulih setelah peristiwa besar "bleaching" akibat air yang menghangat, dan menyesuaikan diri dengan perubahan iklim.
Laporan Wartawan Kompas Ayu Sulistyowati
DENPASAR, KOMPAS - Pariwisata memang mengundang surga bagi para penikmatnya. Namun industri itu mengancam bagi kehidupan laut terutama terumbu karang.
Seperti di Bali, pembangunan hotel di pinggir pantai, limbah sampah atau cair dan beberapa aktivitas lainnya. "Kami menyayangkan itu. Jika terus berlangsung terumbu karang rusak padahal Indonesia memiliki spesies terbanyak di dunia. Bayangkan dari 800 spesies Indonesia memiliki 600 spesiesnya," kata Amalia Firman,
Comunication specialist,Conservation Internasional Indonesia.NAmun sebagian masyarakat yang tinggal seperti di Pantai Amed (Karangasem), Padang Bai dan Nusa Penida (Klungkung), Les (Buleleng). mulai sadar dan memperbaiki kerusakan. Sementara sebagian pengelola wisata bawah laut pun mulai memeliharanya.
AYS.
Kamis, 19 Juni 2008
DENPASAR, KAMIS - Dari 65,08 kilometer terumbu karang yang terhampar di perairan Bali, sekitar 34,41 persennya telah rusak dan 27,38 persen lainnya sudah mati. Berbagai kerusakan terumbu karang tersebut, selain disebabkan oleh proses alam juga dampak dari praktik penangkapan ikan.
"Kami bersama berbagai lapisan masyarakat dalam menyikapi hal itu melakukan rehabilitasi dan memperbaiki pengelolaan yang dilakukan sejak tahun 1990," ujar Gubernur Bali Dewa Beratha dalam sambutan untuk pembukaan Monitoring Implementasi Program Peningkatan Produksi Perikanan di Sanur, Kamis (19/6).
Bali memiliki ekosisten laut lainnya berupa hutan bakau seluas 3.005 hektar yang mampu berfungsi dengan baik untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan di laut serta mencegah kerusakan pantai. Selain itu sumber pakan alami yang sangat potensial, daerah perlindungan biota planktonik, larva dan benih ikan.
Gubernur Beratha menjelaskan, daerahnya juga memiliki potensi lestari sumberdaya ikan di laut teritorial dan alokasi yang diberikan di ZEEI sebesar 147.278 ton pertahun. Dari potensi tersebut baru dimanfaatkan 106.211 ton atau 72,1 persen pada tahun 2007. Potensi perikanan budidaya laut seluas 1.551 hektar, namun baru dimanfaatkan 418,5 hektar untuk pengembangan rumput laut, kerapu dan kerang mutiara.
"Selain itu juga lahan potensial untuk budidaya tambak seluas 1.667 hektar, namun baru dimanfaatkan untuk pengembangan udang, bandeng dan kerapu seluas 488 hektar," ujar Gubernur Beratha.
Sumber : Antara
Hibah 38 Juta Dolar untuk Konservasi Terumbu Karang
Minggu, 13 April 2008
JAKARTA- Global Environmental Facility (GEF) meningkatkan hibah sebesar 38 juta dolar AS untuk program penyelamatan terumbu karang (Coral Triangle Initative/CTI). Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi (Pusdatin) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Soen’an H Poernomo, di Jakarta, Minggu (13/4), mengatakan, pemimpin GEF Monique Barbut telah menyatakan akan meningkatkan hibah untuk keberlangsungan program CTI dari 25 juta AS dolar menjadi 63 juta AS dolar. Tidak hanya itu, dia mengatakan, GEF juga telah menyiapkan dana pendamping sebesar 385 juta AS dolar yang diperoleh dari berbagai sumber guna menyukseskan penyelamatan terumbu karang. Lebih lanjut, dia mengatakan, peluncuran proyek CTI di tiap negara akan dilakukan pada pertemuan para pemimpin negara-negara CTI dalam Konfrensi Kelautan Dunia di Manado tahun 2009. CTI sendiri merupakan bentuk kerjasama kelautan regional yang dirintis Indonesia melibatkan Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, dan Kepulauan Solomom.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi mengatakan, tujuan pelaksanaan program ini untuk menyelamatkan dan melestarikan terumbu karang terhadap dampak perubahan iklim global.
Menurut dia, pemanasan global dan naiknya muka laut telah mengakibatkan beberapa dampak seperti tengelamnya pulau, punahnya ikan akibat bergesernya pola rantai makanan dan hancurnya ekosistem terumbu karang.
Lebih lanjut, dia mengatakan, untuk menyelamatkan laut maka masyarakat dunia harus bekerja sama dan didukung oleh kebijakan politik yang kondusif sampai tingkat yang paling tinggi.(Ant)
Fenomena Geologi di Balik Daratan Terangkat
Oleh Gesit Ariyanto
Gempa bumi dahsyat disusul gelombang tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam, Desember 2004, menyebabkan terangkatnya daratan di pesisir barat Pulau Simeulue. Tiga bulan kemudian, Maret 2005, gempa bumi yang lain menaikkan daratan di pesisir Pulau Nias 1 meter hingga 1,5 meter. Kenapa?
SEPTEMBER 2007 giliran gempa bumi mengguncang Bengkulu. Gempa ini menyebabkan terangkatnya daratan Pulau Mega di Bengkulu hingga Pagai Selatan di Provinsi Sumatera Barat dengan ketinggian yang hampir sama dengan fenomena di Pulau Simeulue dan Nias.
Pada kunjungan bersama Tim Ekspedisi Garis Depan Nusantara-Wanadri di Pulau Sibarubaru, Pagai Selatan, awal Juni 2008, Kompas melihat fenomena alam menakjubkan. Garis pantai maju ke arah laut hingga sekitar 500 meter dengan hamparan terumbu karang yang telah mati.
Daratan terangkat sekitar 1 meter dari sebelumnya. Di sela-sela karang mati itu mulai tumbuh tanaman bakau.
Menurut Komandan Operasi Tim Ekspedisi Garis Depan Nusantara Haris Mulyadi, pemandangan serupa terlihat di Pulau Mega, Bengkulu. Ketinggian karang yang terangkat mencapai 1,5 meter, memajukan garis pantai ratusan meter.
Di dusun Lakau dan Limosua, Pagai Selatan, sekitar 40 menit perjalanan laut dari Pulau Sibarubaru, penduduk kesulitan merapatkan sampan akibat terangkatnya terumbu karang. Kenaikan daratan juga menyebabkan Sungai Lakau mendangkal.
Akibatnya, sungai tak lagi bisa dilewati perahu bermesin tempel seperti sebelumnya. Warga juga tak bisa lagi menjala ikan yang dulunya berkembang biak di sana.
Menurut warga, kedalaman sangai itu dulunya mencapai 2 meter. Kini kurang dari 1 meter.
Bagi pakar gempa dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawidjaja, fenomena itu biasa dijelaskan secara geologi. Penelitiannya bersama peneliti dari California Institute of Technology menemukan lebih dari satu siklus gempa bumi di kepulauan itu, masing-masing tahun 1300, 1600-an, 1797, dan 1833.
Berdasarkan kajian siklus gempa di pulau-pulau barat Pulau Sumatera, terangkatnya daratan perlahan-lahan diikuti penurunan. Kisaran penurunannya antara 1 cm hingga 1,5 cm per tahun.
Mengacu siklus gempa yang telah terdeteksi, penurunan gempa akan mencapai titik jenuh dalam tempo 200 tahunan, dengan kisaran penurunan daratan (pulau) antara 2 meter hingga 3 meter.
Tumbukan lempeng
Fenomena penurunan daratan di sisi barat Sumatera disebabkan tumbukan lempeng--lempeng samudra (di dasar Samudra Hindia) menekan lempeng benua di bawah daratan Sumatera. Seiring waktu, tekanan lempeng samudra itu akan melampaui kekuatan lempeng benua untuk menahannya.
Begitu tak tertahankan, pecah dan bergeserlah lempeng benua diikuti getaran yang disebut gempa bumi. Di lautan lentingan lempeng benua akan mengguncang lautan yang diikuti tsunami dan meninggalkan fenomena alam berupa terumbu karang menjadi daratan.
Informasi yang diperoleh Danny, lentingan lempeng benua pernah menyebabkan terangkatnya daratan (pulau) Pagai setinggi 3 meter. Fenomena naiknya terumbu karang hingga 1,5 meter, seperti yang terjadi saat ini, belum merupakan puncak.
Menurut Danny, tidak setiap terjadinya lentingan menunggu titik jenuh tumbukan. Bagian lempeng benua dapat terlepas lebih awal (sebelum siklus 200 tahunan).
Hanya, fenomena itu berdampak kecil, di antaranya disertai magnitudo gempa yang kecil dan rendahnya tsunami.
Fenomena lepasan "kecil" itulah yang disinyalir muncul sebagai gempa Nias, Maret 2005, dan gempa Bengkulu, September 2007.
Menurut catatan sejarah, setidaknya pernah terjadi dua kali gempa besar di gugusan Kepulauan Mentawai, yaitu tahun 1797 berkekuatan 8,3 skala Richter (SR) di Pulau Sipora dan gempa berskala 8,5 SR yang menghantam Pulau Pagai pada tahun 1833 silam.
Potensi terbaru
Saat ini dari lima pulau besar di gugusan Kepulauan Mentawai hanya daratan Pulau Sipora dan Siberut yang belum mengalami pengangkatan daratan.
Mengacu siklus 200 tahunan, hal itu menjelaskan bahwa segmen lempeng benua di bawah dua pulau itu masih sanggup menahan tumbukan lempeng benua. Berbeda dengan kejadian di kawasan Pulau Mega serta Pagai Selatan atau di kawasan Simeulue dan Nias.
Dengan kata lain, potensi lentingan di kawasan Sipora dan Siberut sudah dalam taraf "hamil tua". Bila itu terjadi, bukan tidak mungkin menggerakkan segmen lainnya.
Menurut Danny, penjelasan potensi itu disebabkan episentrum gempa bukan berupa titik, tetapi sebuah bidang.
Episentrum gempa sebagai sebuah bidang itulah yang menjelaskan mengapa daratan di Simeulue (akibat gempa Desember 2004) terangkat, disusul peristiwa serupa di Nias tiga bulan kemudian (gempa Maret 2005). Artinya, pergeseran segmen lempeng tertentu akan diikuti segmen lain untuk mencapai titik keseimbangan.
"Melihat fenomena itu, terangkatnya daratan di Pulau Mega hingga Pagai Selatan masih akan diikuti kejadian serupa di Pagai Utara, Sipora, atau Siberut. Hanya, tak tahu kapan waktunya," ujarnya. Mengacu peristiwa Nias, hanya membutuhkan waktu tiga bulan menyusul Simeulue.
Memicu tsunami
Yang patut dikhawatirkan adalah bila pusat gempa bumi berada di bawah Selat Mentawai. Hal itu akan memicu tsunami besar yang mengancam Pantai Padang yang berkontur datar dan tidak terlindungi.
Kekhawatiran dengan kadar berbeda bila pusat gempa berada di sisi barat kepulauan Mentawai, di mana tsunami ke arah Padang telah terlindungi pulau-pulau. Akan tetapi, mengancam penduduk di pesisir barat Mentawai.
Kini siklus gempa sudah terdeteksi melalui "garis tahun"terumbu karang yang mati dan informasi pergerakan muka bumi melalui alat global positioning system. Akan tetapi, prediksi waktu yang tepat datangnya gempa tetap belum dapat dicapai.
Sekalipun belum jelas kapan datangnya gempa, kesiapsiagaan perlu dibangun demi keselamatan warga pesisir. Tujuannya bukan hanya bagi warga di gugusan kepulauan di barat Pulau Sumatera, tetapi juga bagi warga yang bermukim di sepanjang pesisir pantai barat Sumatera, seperti Padang, Sibolga, hingga Bengkulu.
Posisi Pulau Sumatera, yang menjadi semacam "engsel" naik-turunnya daratan (pulau) di gugusan Mentawai, bukan berarti membebaskan daratan Sumatera dari dampak gempa bumi berpotensi tsunami. Apalagi, bila pusat gempa berada di bawah Selat Mentawai.
Sumber : KOMPAS.
Negara Memimpin Perusakan Ibu Pertiwi
JAKARTA, SELASA — Saat ini laju deforestasi atau kerusakan hutan di Indonesia masih di atas 1 juta hektar per tahun. Kemudian dilaporkan pemerintah, ada 24 pulau tenggelam dalam periode 2005-2007 serta kejadian banjir dan longsor yang hampir merata di semua daerah. Hal itu menunjukkan bahwa negara memimpin perusakan Ibu Pertiwi melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkannya. Demikian disampaikan Ketua Institut Hijau Chalid Muhammad, Senin (29/12) di Jakarta.
”Pada akhir 2008 bahkan negara memberi dua kado berupa pengesahan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang mempercepat eksploitasi tambang dengan menjual murah serta kado pembebasan perkara pembalakan liar hutan oleh 13 dari 14 perusahaan,” kata Chalid.
Belum lagi, adanya penyimpangan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 yang membatasi pemanfaatan hutan lindung untuk usaha pertambangan, meskipun itu berupa pengalihan fungsi hutan hanya untuk sarana dan prasarana tambang. Diungkapkan Chalid, seperti di Morowali, Sulawesi Tengah, pemerintah selama 2008 ini mengizinkan pembukaan pelabuhan usaha tambang di kawasan hutan lindung. ”Kemudian di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, masih diizinkan usaha tambang mangan di kawasan hutan lindung pula,” kata Chalid.
Kemudian fakta lain, sebanyak 263 warga dalam setahun ini meninggal akibat bencana ekologis, seperti banjir dan longsor. Ada lagi berupa perizinan pemerintah untuk pengalihan fungsi hutan seluas 4 juta hektar untuk perkebunan sawit di Papua, yang juga menjadi bagian peran negara dalam merusak Ibu Pertiwi.
Chalid juga mengemukakan hal-hal tersebut dalam suatu pertemuan Evaluasi 2008 dan Outlook 2009 Pergerakan Kaum Muda Indonesia kemarin di Jakarta. Tidak hanya bidang lingkungan yang disajikan, tetapi juga meliputi masalah hak asasi manusia, politik, kelautan, dan sosial-budaya.
Nawa Tunggal
Perubahan Fungsi Hutan Membuat Orangutan Terisolasi
Jumat, 28 November 2008
MEDAN - Perubahan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan maupun pertanian yang terus meningkat di kawasan Sumatera telah mengancam populasi orangutan Sumatera (Pongo abelii). Co Manager Field dan Research Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) Asril, di Medan, Jumat (28/11), mengatakan, perubahan habitat sangat mempengaruhi kemampuan orangutan dalam melangsungkan hidupnya.
Perubahan habitat tersebut dapat berupa kehilangan, kerusakan, dan fragmentasi habitat akibat konversi lahan hutan menjadi perkebunan skala besar, pengusahaan hutan yang salah, perambahan, illegal logging, dan kebakaran. Fragmentasi habitat merupakan proses yang menyebabkan kawasan hutan primer yang semula saling bersambungan berubah menjadi "pulau-pulau kecil yang terpencar".
"Kondisi ini menyebabkan populasi orangutan atau satwa lainnya terisolasi atau terpecah menjadi kelompok kecil yang dapat menyebabkan kepunahan," katanya.
Berdasarkan hasil workshop Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) orangutan tahun 2004, populasi orangutan di alam diperkirakan hanya tinggal 58.300 individu. 51.000 individu berada di Kalimantan dan 7.300 individu terdapat di Sumatera dengan habitat seluas kira-kira 9.000 km persegi.
Hampir sebagian besar populasi orangutan tidak berada di dalam area konservasi sehingga menimbulkan masalah yang sangat serius dalam manajemen konservasi orangutan.
Komentar