Etika Menulis dan Menerbitkan Buku

Fenomena Dhamma (Untuk Kalangan sendiri)

Seorang bhikkhu yang bodoh mengharapkan : " Menonjol diantara para bhikkhu, menjadi pemimpin di Wihara, disambut, disanjung dan di Dewa-dewakan oleh umat "
Sabda Buddha dalam
Dhammapada: 73. Bab. Orang Dungu.

Etika
Apakah artinya Etika?
Etika artinya moralitas atau prilaku yang baik dan pantas-patut, secara luasnya ialah tata-kerama, tata-tertib, displin-aturan, sopan-santun, mau menghormati orang lain, tunduk dan patuh pada hukum-aturan pemerintah, juga aturan di masyarakat dan adat, sungguh banyak pengertiannya.
Kalau mau jujur dan seandainya tidak lupa, sebenarnya Etika ini sudah diajarkan oleh orang-tua kepada anaknya sejak baru lahir, coba diingat kembali bagaimana ketika seorang bayi baru lahir? Meskipun masih merah dan berlumuran darah dan air tuban, bayi itu dimandikan agar bersih dari segala kotoran, setelah bersih lalu di bungkus dengan kain bernama popok, tangan dan kakinya di bungkus.
Pekerjaan tersebut tentu ada maksudnya, yakni selain bersih-aman dan sehat juga ada satu bentuk etika, yang tujuannya ialah agar tubuhnya tertutup rapih oleh kain popok, hingga tidak telanjang bulat memalukan jika dilihat, juga kelihatan sopan, tertib, inilah alasan yang dipakai hingga bisa disebut sebagai Etika.
Dari hari ke hari orang tuanya selalu memberikan perhatian penuh terhadap anaknya, baik secara jasmani maupun batin (moralitas), disamping menyusui langsung atau tidak, dengan kasih sayangnya kepada anaknya, seorang ibu juga mendidik, menuntun, mengarahkan dan menasihati anaknya apa yang baik dan buruk, apa yang boleh diambil dan digunakan maupun yang tidak.
Secara sadar atau tidak, terutama ibu telah mengajarkan Etika kepada anaknya, kecuali ibunya ‘gila’ atau sakit parah dan lain-lain.
Hingga cukup umur anaknya mulai dimasukkan sekolah, hal ini tentu juga ada maksudnya, disamping anak itu agar memperoleh ilmu pengetahuan tapi juga agar anak itu mendapat tambahan pendidikan moralitas atau etika, yang akhirnya kelak anak itu bisa diharapkan menjadi orang yang berguna baik bagi dirinya sendiri maupun orang tua, juga masyarakat dan Negara. Mampu memberikan sumbangan yang berarti bagi keseluruhan, terutama sekali tidak merusak dan mencemarkan nama baik orang tua, dengan prilaku yang bertentangan dengan hukum Negara dan masyarakat atau adat, yang akibatnya merugikan drinya sendiri dan orang tua, serta kelompok.
Kemudian setelah sekolah hingga dapat gelar misalkan, tentunya anak itu telah memiliki bekal pendidikan ilmu pengetahuan dan etika, jadi sungguh lengkap, lalu untuk apakah semua itu?
Sudah pasti bekalnya amat berguna dalam lingkup hidup bermasyarakat, karena jika seseorang yang bergaul dimasyarakat tidak beretika berarti tidak tahu diri alias seperti orang primitive, bagaimanapun hidup bermasyarakat meskipun tidak berpendidikan tinggi dapat gelar, namun jika tahu etika dan beretika dalam bermasyarakat, niscaya orang itu akan dihargai, dihormati bahkan jadi contoh suri tauladan yang baik bagi yang lain, inilah salah satu keuntungannya jika orang beretika (bermoral). Namun sebaliknya kalau orang itu tidak beretika (bermoral) maka sudah pasti dikecam, dicela, terhina, tidak dihargai dan tidak dihormati, meskipun orangnya berpendidikan tinggi, bergelar akademik dan memiliki kekayaan berlimpah, apalagi jika kurang pendidikannya.
Kehidupan menusia sudah turun-temurun sejak zaman dulu menggunakan etika, sebagai sarana berhubungan antar sesamanya, mulai di rumahnya sendiri hingga keluar dan di manapun dia berada, etika selalu harus di gunakan, jika tidak maka akan di lecehkan, ini sudah hukum masyarakat yang sudah demikian adanya.
Etika menulis
Apakah menulis juga ada etikanya?
Etika menulis secara sederhana ialah paragraph tulisan, misalnya harus tahu menggunakan titik, koma, tanda-tanda baca, kata pembuka, kata penutup, lalu isi tulisan dan rangkaian kalimatnya yang baik dan teratur, enak dibaca, mudah dipahami, dapat dimengerti oleh para pembacanya.
Demikianpula, jika mau menerjemahkan buku dari bahasa asing, baik dari bahasa inggris, jerman, belanda, china, atau thailand, sebaiknya memperhatikan tentang Etika apalagi menerjemahkan karya orang lain, harus lebih hati-hati, cermat, dan bertanggung jawab atas hasilnya nanti, artinya tidak asal-asalan.
Selain itu, tulisan dan isinya jelas, ada buktinya dan bisa dibuktikan, tidak asal nulis tanpa ada bukti yang berdasar dan dapat diterima oleh pembaca, artinya tulisan itu tidak boleh bohong, ngawur tidak berdasar, karena bisa berakibat fatal bagi kehidupan bermasyarakat, merugikan orang lain dan akhirnya boleh jadi meresahkan, kacau balau, berbahaya.
Sebaliknya, jika tulisan itu jelas ada buktinya, bisa dipertanggung-jawabkan, maka tulisan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap, artinya kebenaran dan hal ini pasti akan mendapatkan dukungan, baik dari masyarkat pembaca, juga dari penegak hukum atau pemerintah
Dari segi peraturan dan hukum jika tulisan itu milik orang lain, paling tidak harus dijelaskan bahwa tulisan itu sumbernya dari mana siapa penulisnya, misalkan judulnya apa dan oleh siapa penulis pertama, hal ini harus disertakan baik diawal lembaran halaman ataupun dibagian belakang, apa maksudnya?
Maksudnya tidak lain ialah agar penulis tidak disebut melanggar hukum etika menulis, selanjutnya para pembaca akan memahami dan menilai isi tulisan serta etika menulisnya, hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi tuntutan secara hukum dari penulis pertama yang memiliki hak cipta, maka tulisan tersebut akan lebih dihargai dan dihormati bahkan menjadi contoh suri tauladan yang amat baik dan berguna.
Meskipun seandainya penulis pertama tidak menuntut secara hukum, jika menulis atau menyususun atau menerjemahkan buku tidak menjelaskan atau tidak disertakan dalam buku itu apa judul asli, siapa penulis asli dll. namun tetap secara etika menulis hal ini sudah melanggar dan mengabaikan etika menulis, maka para pembacanya akan memahami dan menilainya sangat rendah dan hina terhadap tulisan itu, seakan tulisan tersebut tidak berguna, boleh jadi tidak dihargai sebagai karya yang baik dan berguna, sesuai hukum karmanya.
Apalagi kalau tulisannya melarang orang lain menjiplak, mencetak ulang tanpa seijin penerbit, sedangkan tulisannya sendiri hasil menjiplak tanpa mencantumkan penulisnya yang pertama, betapa sembrononya, sunguh tak tahu diri manusia seperti itu.
Dengan demikian, akhirnya orang akan berpikir alangkah sia-sianya orang tua merawat, mendidik, membesarkan hingga sekolah tinggi-tinggi dapat gelar, tetapi tak tahu diri, tidak beretika (bermoral), maka rusaklah nama baik orang tua, guru, apalagi jika orang itu seorang rohaniwan Buddha, pasti akan ditanya siapakah gurunya?.
Wah, sangat memalukan menurut pandangan umum yang beretika (bermoral), karena untuk apa dapat gelar itu? Dan apa gunanya jadi rohaniwan Buddha? Kalau tidak beretika (bermoral), sedangkan yang berpendidikan rendah tak bergelar saja tahu dan mengerti, kenapa orang sudah sekolah jauh-jauh dapat gelar dan sudah jadi rohaniwan Buddha tapi masih sembrono begitu, keterlaluan.

Saya menulis hal ini untuk mengingatkan demi kebaikkan bersama, bukan untuk tujuan jahat, tapi dengan alasan karena sudah sangat banyak buku Dhamma yang tidak memenuhi aturan disiplin etika menulis, sedangkan yang menulisnya itu adalah orang berpendidikan tinggi dan bergelar lagi, lalu ada juga tokoh agama, tokoh masyarakat, apalagi yang kurang berpendidikan.
Meskipun saya berpendidikan rendah tak bergelar, namun saya terpanggil untuk membahas hal ini bersama sesama umat Buddha, karena saya punya rasa tanggung-jawab secara moral akan hal ini, sekaligus menyangkut ajaran Buddha yang selayaknya kita tegakkan, kita jaga seutuhnya bersama-sama, sebab kalau terus dibiarkan, alangkah sedihnya melihat ajaran Buddha yang begitu ‘Agung dan Sempurna’, lalu tiba-tiba menjadi semrawut, teu pararuguh kitu, tidak karuan, padahal yang menulis itu adalah mereka yang teori Dhammanya sudah setinggi langit istilahnya.
Bersambung........1/4
Oleh: Bhikkhu Sudhammocaro Thera
Bila ada komentar atas tulisan ini akan dikumpulkan terlebih dahulu, dan kemudian diserahkan ke Bhante untuk dijawab di posting berikutnya.
Mengenai Editor
Apakah artinya Editor dan apa fungsinya?
Editor artinya orang yang bertugas dan beranggung jawab untuk meneliti, menilai lalu memperbaiki isi tulisan yang akan diterbitkan menjadi sebuah buku, baik itu buku Dhamma, buku agama, buku majalah juga buku umum. Hal ini juga tentunya ada maksudnya, yaitu agar tulisan yang akan diterbitkan akan lebih baik, sempurna juga berbobot, yang akhirnya tulisan itu dapat berguna memberikan manfaat bagi banyak orang yang membacanya, hingga tulisan itu akan dikenang dan dihargai, dihormati bahkan dipuja serta diagungkan, dikeramatkan, seperti halnya buku Tipitaka, buku Alkitab-Injil, buku Al Qur’an.
Namun, sayang sekali bagi buku Dhamma yang sering saya baca dan teliti, ternyata begitu banyaknya buku Dhamma ada editor, tapi isinya tidak di edit secara benar dan teliti, bahkan yang amat menyedihkan tidak di edit sama sekali, nama editor hanya sebagai lambang kepercayaan untuk simbul, agar buku itu dihargai, disukai, digemari juga banyak yang mau berdana secara komersil, sungguh memprihatinkan gaya kampungan yang bodoh dan dungu seperti itu.
Kadang saya tak habis pikir, mengapa hingga sehina itu prilaku manusia yang berpendidikan, bergelar dan pandai Dhammanya hingga terkenal kemana-mana, tapi masih saja mau dikelabui, atau ada unsur lainnya, saya tak mengerti.
Kelalaian seorang editor yang tidak serius mengedit, memeriksa, meneliti dan memperbaiki sebuah tulisan yang akan diterbitkan sungguh amat berbahaya, satu contoh buku Dhammapada Atthakatha yang diterbitkan Vidyasena Yogyakarta, disitu ada kata sambutan dari Bhante Panyawaro, tapi dibagian bawah kata penutup dan tanda-tangannya ternyata ditulis "Maha Sangha Nayaka", yang seharusnya "Maha Nayaka", hanya karena tulisan yang sedikit salah itu saja akibatnya fatal, hingga menimbulkan perguncingan di kalangan anggota Sanggha Therawada Indonesia ketika pesamuhan (rapat) mulai di wihara Dhammasoka Banjarmasin bulan Juni 2003, lalu berlanjut ke wihara Dhammacakkajaya jakarta bulan Juni 2004.
Yang akhirnya Bhante Panyawaro harus menerima kekalahan dalam perdebatan sengit dengan para bhikkhu muda, agar dengan rela hati Bhante Panyawaro sudi "Lengser" dari Jabatannya yakni ‘Maha Nayaka’, suka atau tidak dan amat menyakitkan memang, bagaikan buah simalakama, bisa dibayangkan selama 25 tahun merintis, membina, memajukan dan mempertahankan Sanggha Therawada Indonesia, namun akhirnya harus menelan pil pahit dari anak buahnya sendiri, semua itu tidak lain hanyalah kesalahan kecil dari kelalaian seorang editor.
Tidak berhenti sampai disitu akibat kelalaian seorang editor, nyatanya sejak saat Bhante Panyawaro turun tahta, bukan sedikit para pendukungnya protes baik melalui surat yang ditujukan ke kantor sekertariat Sanggha, maupun melalui email di internet, perdebatan panjang antara pendukung dan yang kontra terus berlanjut demi mempertahankan argument, yang sebenarnya tak perlu terjadi andai saja salah satu pihak mau menerimanya, bahwa setiap orang bagaimanapun juga tetap masih memiliki banyak kekurangan, sebelum ia mencapai tingkat kesucian tertinggi Arahat.
Maka, mulailah kelihatan gep atau pemisah diantara yang berseteru, rupanya kisah tersebut akan masih panjang entah sampai kapan? Yang jelas akhirnya banyak bhikkhu senior meninggalkan atau lepas tanggung jawabnya baik sebagai anggota Sanggha Therawada Indonesia maupun kedudukkannya dalam jabatan, kita tunggu saja perkembangannya nanti, apakah kelak akan muncul Sanggha Therawada Baru atau sebaliknya yang nyaris …?
Termasuk tulisan inilah sebuah alasan yang ingin saya sampaikan kepada seluruh umat, tokoh, cendikiawan, akademika Buddhis, yang akhirnya saya tergerak menulis artikel ini:"Etika Menulis & Menerbitkan Buku", yang isinya sangat perlu dicamkan, di ingat, lalu digunakan sebagai pedoman dalam menulis dan menerbitkan sebuah buku, paling tidak marilah kita mulai memperbaiki kelalaian masing-masing, sekaligus menata ulang kedepan untuk lebih baik, lebih sempurna.
Dan apa yang kita kerjakan dalam pengabdian Dhamma hanya satu yakni demi manfaat orang banyak, demi melestarikan Dhamma, demi kesejahteraan dan kebahagiaan semua mkhluk, karena itulah sebenarnya tugas kita selanjutnya, bukan terus menerus menyimpan dedam-benci, marah dan lainnya.
Yang meskipun seandainya kelak dikemudian hari terjadi perpecahan yang pada titik akhirnya harus membentuk Sanggha Therawada Baru, rasanya tak ada masalah sejauh tujuannya murni dari pada bergabung dalam satu wadah namun, bersengketa, tak bisa akur bahkan bertambah runcing, terutama dampaknya terahadap umat menimbulkan kebingungan dan meresahkan dan harus ingat bahwa jika terus dipertahankan malah bertentangan dengan Dhamma Winaya yakni Saraniya Dhamma.
Sebab itu, alangkah indahnya Dhamma itu jika disampaikan dengan tujuan mulia dan ‘Tanpa Pamrih Apapun’ ya...kan, perguncingan, perseteruan, perpecahan, pertengkaran, hingga peperangan adalah buah dari "Pamrih-apapun bentuknya". Semua yang saya sampaikan adalah ada buktinya!
Kalau mau lebih mudah menerimanya ialah bahwa semua apapun yang terjadi tidak lain akibat "Hukum Karmanya", udah rebes, namun sayangnya tidak semudah itu untuk menerima kenyataan.
Kaidah bahasa Dhamma
Apakah artinya kaidah bahasa Dhamma?
Kaidah bahasa Dhamma ialah tulisan yang berbahasa Dhamma, bahasa itu antara lain ada bahasa tulisan, bahasa percakapan, bahasa umum dan bahasa agama atau Dhamma, menurut kita yang beragama Buddha. Yang kita tahu di Indonesia ada 5 agama yakni Islam, Katholik, Kristen, Hindu dan Buddha.
Tentunya bagi para pembaca dan penulis buku, pasti tahu dan mengerti, mana bahasa yang pantas-layak dan sesuai bila digunakan dalam bahasa agama kita yaitu bahasa Dhamma, dengan istilah yang sering digunakan dan mana bahasa yang tidak sesuai dengan bahasa agama kita Buddha yakni Dhamma.
Diantara para penulis buku agama pasti tahu dan mengerti hal itu, dan tak mungkin akan keliru menggunakan istilah bahasa agamanya masing-masing, misalnya umat Kriten dan Katholik biasa menggunakan istilah bahasanya ‘ Tuhan, Bapa, anak Allah, Yesus Kristus, kitab suci, roh suci, jiwa, gembala, penyelamat, pengampunan dosa, diangkat ke surga, misa, kudus dll’. Umat Islam biasa menggunakan istilah bahasanya seperti ‘Allah, Nabi, Muhamad, Alhamdulilah, Bismilah, Astagfirloh Al’ ajim, sunah, ramadhan, idul’ fitri, serambi mekah, mekah tanah suci, kitab suci, jiwa, pengampunan dosa, dll’.
Demikian pula umat Buddha biasa menggunakan istilah bahasa Dhamma misalnya Buddha, Dhamma, Sanggha, batin, panyca khandha, kesadaran, pencerapan, anicca, dukkha, anatta, tingkat kesucian, sotapatti, sakadagami, anagami, arahat, Nibbana, khanti, dst…

Tapi jangan salah menggunakan istilah bahasa Dhamma yang sekiranya tidak sesuai dengan kaidah bahasa Dhamma, seperti contohnya ‘kitab suci’, ‘paritta suci’, jiwa, dst…Alasannya ialah kita harus dapat membedakan objek dan subjek, mana bahasa untuk objek dan mana bahasa untuk subjek.
Ambil contoh tadi seperti ‘kitab suci’ dan ‘paritta suci’, coba renungkan dan pikirkan baik-baik, secara cermat dan benar, apakah kitab itu bisa mencapai kesucian, dan apakah paritta itu bisa mencapai tingkat kesucian? Tentu tidak kan.
Lalu apakah yang dapat mencapai tingkat kesucian itu? Tentunya batin kan, bukan kitab atau buku atau parittanya. Batin yang dapat mencapai tingkat kesucian berarti ini adalah subjek, dan kitab atau buku adalah benda mati yang tak dapat mencapai tingkat kesucian berarti objek, kan begitu.
Namun, mengapa ada judul buku ‘Paritta Suci’ dan ‘Kitab Suci Udana’ ‘Kitab Suci Majjhima Nikaya’ ? dst…’. Inilah sebabnya saya yang bodoh ini ingin berbagi kesedihan dan keprihatinan nilai-nilai istilah kaidah bahasa Dhamma, yang sudah sangat merisaukan kita yang berakibat fatal kepada regenerasi yang akan datang, lalu apa jawabnya nanti kelak dikemudian hari jika seandainya, anak-cucu kita menanyakan hal itu kepada kita yang sudah mendapat gelar akademik dan mengantongi bermacam gelar kehormatan dari sesepuhnya tapi buktinya seperti itu, cobalah renungkan dan pikirkan secara benar dan cermat, lalu perbaiki.
Bersambung........2/4
Oleh: Bhikkhu Sudhammocaro Thera
Bila ada komentar atas tulisan ini akan dikumpulkan terlebih dahulu, dan kemudian diserahkan ke Bhante untuk dijawab di posting berikutnya.

Menerbitkan buku secara benar
Apakah artinya menerbitkan buku?
Menerbitkan buku artinya ialah mula-mula menulis atikel lalu disusun, ada juga menerjemahkan buku dari bahasa lain ke dalam bahasa kita Indonesia, lalu disusun dengan baik dan benar, terus di edit oleh editor kalau ada, setelah cukup sempurna dan selesai, barulah di seting atau dibuat seukuran buku yang kita mau, bisa juga ditambah dengan foto-foto untuk menambah semarak agar lebih menarik, ketika semuanya telah rapung baru masuk percetakan dan di cetak menjadi sebuah buku yang siap di baca dan di bagikan atau di jual.
Menerbitkan buku bisa dikatakan mudah juga sulit, artinya mudah kalau bahan tulisannya sudah siap rampung isinya baik dan menarik di baca, lalu dananya cukup dan mudah di dapat, maka menerbitkan buku itu mudah, namun jika sebaliknya, maka menerbitkan buku itu sulit, bahkan tidak begitu mudah.
Bagi saya dari "Penerbit Sri Manggala" untuk bisa menerbitkan buku Dhamma, harus menunggu dulu bantuan dana dari para donatur yang berhati mulia, sebab saya belum cukup kuat memiliki dana untuk menerbitkan langsung, kadang dana dari hasil Kathina dll yang langsung saya terima sebenarnya bukan untuk dana buku terpaksa saya pakai, semua ini saya lakukan demi menerbitkan buku Dhamma dan hasrat untuk menyebarkan serta melestarikannya.
Karena itu saya sangat berterima kasih sekali atas segala bantuan para donatur yang setia untuk bersama meneruskan misi yang mulia ini, tak lupa saya doakan semoga kebajikan yang tulus itu akan segera berbuah dalam bentuk kehidupan yang damai, aman tenang dan bahagia bersama keluarganya.
Tetapi ada juga yang sangat mudahnya menerbitkan buku, karena dananya sudah ada dan mudah di dapatkan, juga naskahnya sudah ada hanya tinggal di perbaiki dan disempurnakan, cuma sayangnya sembarangan atau sembrono, tanpa konsultasi dengan yang lain, menganggap dirinya paling pinter yang lain bodoh, padahal setelah terbit ternyata kecele, sebab menimbulkan masalah.
Apalagi banyak buku Dhammadi dalamnya tidak terdapat susunan misalnya judul aslinya apa dan siapa penulis aslinya, siapa editornya, pinata letak & gambar sampul, siapa yang bertanggung jawab? Jadi kalau di kaji dan di nilai secara umum buku itu banyak melanggar, baik secara etika menulis maupun secara etika menerbitkan sebuah buku yang baik dan benar.
Meskipun buku itu tidak ada yang berkeberatan atau menuntut secara hukum, namun kerjaan sepeti itu sudah salah besar dan sembrono, sepertinya tidak beretika, kelak akan membawa pengaruh yang akhirnya kurang berguna atau tak memberi manfaat bagi pembacanya, bahkan boleh jadi merugikan dan membingungkan, kacau.
Dari sekian banyaknya kesalahan dan kekurangan para penulis buku Dhamma, masih ada lagi misalnya seperti tulisan bahasa pali, yang kita tahu bahwa bahasa pali itu ada tandanya untuk menunjukkan cara membacanya.
Saya dapati banyak sekali buku Dhamma yang menggunakan bahasa pali tetapi tidak diberi tandanya, sehingga bukan saja salah justru malah membingungkan dan kacau balau, misalnya panna bahasa pali yang ada tanda cacing diatas huruf nn dibaca panya, namun tidak ada diberi tanda palinya, juga nana dibaca nyana, sangha ada titik diatas huruf n dibaca sanggha, panca ada tanda cacing diatas n dibaca panyca dan masih banyak lagi.
Secara sepintas memang tidak nampak jelas kalau tidak di perhatikan secara cermat, tapi cobalah mulai saat ini para pembaca buku Dhamma agar lebih perhatian dan meneliti dengan seksama, lalu berikan kritik dan koreksi sampaikan kepada alamat penerbitnya, agar dikemudian hari dapat lebih disempurnakan, semua kritikan tidak bisa disalahkan, apalagi kini sudah zaman keterbukaan, justru kritikan adalah harus dihargai, karena tanpa kritikan kerjaan apapun tak akan dapat berkembang maju, alasannya orang lainlah yang bisa menilai hasil satu pekerjaan, baik atau buruk, maka berterima kasihlah kepada pihak yang suka kritik bukan sebaliknya.
Kritik itu berguna dan bagai cermin
Kritik itu sangat berguna selain memberi masukkan demi perbaikkan kritik juga bagaikan cermin diri, artinya kita tak akan pernah tahu atau melihat muka kita sendiri tanpa adanya cermin, siapakah orangnya di dunia ini yang tidak pernah menggunakan cermin dalam kehidupannya, cobalah renungkan!
Bahkan Presiden Amerika Geoge W Bush saja sering dikritik oleh rakyatnya sendiri secara tajam sekali bahkan gambarnya di bakar, di injak-injak, dengan tulisan yang menghina, begitu juga di Indonesia dan di Negara lainnya sering para demonstran membakar gambar presiden amerika, namun orangnya tak pernah marah atau menuntut balas, semuanya diterima sebagai alam demokrasi yang bebas menyampaikan pendapat dan kritikan demi perbaikkan bersama dan kemajuan.
Seandainya Presiden Amerika itu tidak terima dikritik seperti itu, mungkin cerita menjadi lain karena Amerika adalah Negara super power, memliki persenjataan yang sangat canggih, sungguh amat berbahaya.
Bulan desember 2004-2005 adalah bulan yang penuh gejolak, coba saja kita putar kembali ingatan ke masa lalu pada desember 2004 tanggal 26 terjadi bencana alam gempa dan tsunami di Aceh, wartawan dan juru kamera, relawan dan LSM dibuat sibuk bukan main, boleh jadi kurang tidur-makan. Begitupula desember 2005 para wartawan, juru kamera, LSM dan para relawan disibukkan kembali dengan peristiwa kelaparan di Yahukimo yang menelan korban nyawa 55 orang.
Peristiwa di Aceh dan di Yahukimo tentu berbeda bukan karena besarnya jumlah korban, tetapi peristiwa di Yahukimo jurtru para wartawan dan juru kamera dari stasion televisi swasta malah di pukuli oleh para pejabat setempat yang merasa dipermalukan dengan adanya berita tersebut, seakan berita itu adalah kritikan dengan motif-tujuan untuk menjatuhkan wibawa para pejabat di seluruh Indonesia yang dianggap tidak bertanggung jawab atas kejadian di Yahukimo itu.
Namun, jika kita telaah secara benar, dengan pikiran jernih-tenang, mestinya kita berterima kasih yang tak terhingga kepada para wartawan dan juru kamera serta LSM, sebab, justru kerjaan wartawan, juru kamera televisi, dan LSM itu adalah kerjaan mulia dan sangat berharga mungkin tidak ternilai, alasannya ialah coba saja seandainya mereka tidak mengeluarkan berita itu, atau tidak di ekspos di televisi boleh jadi korbannya akan terus bertambah banyak, sekaligus masyarakat tidak akan pernah tahu bahwa di Papua itu ada kehidupan yang amat menyedihkan, menyayat hati ketika kita semua menyaksikan rangkaian berita gambar kejadian di Yahukimo itu.
Bisa dibayangkan bagaimana seandainya dunia kehidupan ini tanpa berita dan Televisi sehari saja, rasanya cukup sepi-buta dan bodoh, secara sadar dan jujur kita tahu berita dan peristiwa baik Nasional maupun Internasional, adalah berkat kerja mulia para warawan, juru kamera dan LSM, mengapa kita melecehkan mereka? Bukan sebaliknya justru kita harus bangga, kagum dan berterima kasih banyak, berapa biaya tenaga, waktu dan pikiran mereka yang di tumpahkan hanya sekedar demi keadilan, kesejahteraan dan kemajuan kita bersama, renungkanlah dengan benar, dengan akal sehat, jangan dengan emosi setan.
Andai saja kita mau jujur misalnya, Negara lain sudah bisa pergi bertamsya ke Bulan, Angkasa luar (Nasa), dapat membuat kereta api super cepat, ada stasion kereta api bawah tanah, dan segudang kemajuan lain yang tak cukup waktunya untuk diungkapkan semua, namun, ternyata di Yahukmo masih banyak yang kelaparan, berpakaian ‘Koteka’ hampir telanjang, sungguh aneh tapi nyata.
Alasanya, karena Papua adalah daerah yang memiliki sumber daya alam tak ternilai kekayaannya, tapi sungguh tragis dan betapa ironisnya jika penduduknya saja masih kelaparan hingga menelan korban nyawa tidak sedikit, kita menyaksikan fakta kehidupan di Yahukimo melalui tayangan Televisi, sayapun tak tahan melihatnya sampai menitikkan air mata, oh, sungguh kasihan, andai saja dekat tempatnya rasanya saya ingin pergi memberikan sesuatu sebagai rasa kepedulian sesama manusia
Cobalah sejenak kita renungkan, mengapa hal itu bisa terjadi di Yahukimo, tidak lain menurut saya adalah karena ‘Kelalaian’ kita semua, lalai sebab kita hanya mementingkan perutnya sendiri (rakus-serakah) tanpa peduli terhadap saudara sesama.
Dengan alasan ini sebenarnya kritikan itu sangat berguna, bahkan bermanfaat bagi banyak orang yang akhirnya bisa menyadarkan kita sebagai manusia yang memang masih penuh dengan kekurangan-alpa, yang kadang orang merasa dirinya paling benar, paling suci, paling tinggi dari yang lain, akhirnya lupa diri siapa sesungguhnya orang itu.
Sebaliknya, alangkah dungunya jika orang tidak mau dikritik, bahkan balas menyerang yang mengkritik, seperti halnya ‘katak dalam sumur’, pikirannya cupet, sempit wawasannya, akhirnya mau benar sendiri, maunya menang sendiri, lihai menyalahkan yang lain tapi dirinya sendiri justru banyak kesalahan, hal ini yang sering disebut dengan istilah ‘pembenaran’ bukan ‘kebenaran’, orang yang tidak mau dikritik berarti sama dengan ‘katak’ jadi artinya kelihatan luarnya manusia tapi sebenarnya ‘Katak’ bukan manusia secara utuh, begitulah sesungguhnya.
Kemudian yang terakhir, yang disebut melanggar hak cipta ialah kalau buku atau vcd, cd, lagu-lagu itu di copy ulang lalu dijual, yang istilahnya dikomersilkan hingga mendapatkan keuntungan, maka hal itu harus mendapatkan ijin resmi dari pencipta karya yang pertama, tapi sebaliknya jika buku, vcd. cd. Lagu-lagu itu tidak dijual, tidak untuk komersil, hanya sekedar untuk dibagikan demi manfaat orang banyak, maka kerjaan menerjemahkan buku, mengcopy ulang vcd, cd, lagu-lagu, tidak termasuk pelanggaran hukum, juga tidak perlu minta ijin secara tertulis dari pencipta karya pertamanya, hanya saja ada syaratnya ialah paling tidak orang yang menerjemahkan dan mengcopy ulang harus mencatumkan, nama penulis (sumbernya) dan judul aslinya, maksudnya untuk menghargai dan menghormati karya cipta orang lain yang sudah jerih-payah bekerja siang-malam, inilah yang saya sebut "Etika Menulis & Menerbitkan Buku".

Bersambung........3/4
Oleh: Bhikkhu Sudhammocaro Thera
Bila ada komentar atas tulisan ini akan dikumpulkan terlebih dahulu, dan kemudian diserahkan ke Bhante untuk dijawab di posting berikutnya.

Kesimpulan
Buddha bersabda yang terakhir kali menjelang Parinibbana (meninggal): "Waya Dhamma Sangkhara, Appamadena Sampadetha" artinya: "Bahwa segala sesuatu (bentuk pikiran) tidak ada yang kekal-abadi, kalian berjuanglah sungguh-sungguh dan Jangan Lengah (Lalai)". Ucapan Buddha mengisyaratkan kepada kita agar waspada dalam segala hal kerjaan, meskipun demikian kita tetap harus terus berjuang demi mencapai Pembebasan Sempurna yakni bebas dari keserakahan, kebencian dan kegelapan batin.
Terima kasih atas perhatian para pembaca dan seluruh umat Buddha yang sudi membaca dan menanggapinya, semoga apa yang saya sampaikan akan dapat membawa intropeksi diri, demi manfaat kemajuan batin, menambah pengetahuan , wawasan dan keyakinan kita kepada Buddha, Dhamma dan Sanggha, untuk bekal dikemudian hari kelak, mohon maaf bila ada tulisan yang kurang berkenan di hati.
Tulisan ini boleh dikritik baik secara keras maupun ringan, asalkan dengan kepala dingin, gunakan akal sehat, emosi boleh asal terkendali tidak lalai, saya siap menunggu tanggapan atau argumentasi, sekaligus saya akan berusaha menjawabnya dengan kemampuan saya sesuai Dhamma Winaya ajaran Buddha.
Tak lain harapan saya untuk membuka wawasan umat Buddha agar lebih terbuka, aspiratif, objektif, komunikatif dan bersemangat dalam belajar maupun praktik Dhamma dengan menggunakan akal sehat manusia, bukan dengan akal setan atau klenik-santet-sihir.
Sabbe Satta Bhawantu Sukhitatta. Semoga semua makhluk berbahagia. Sadhu. Sadhu. Sadhu.

Tangerang, 27 Desember 2005.
Salam damai dari jauh tapi dekat di hati.
Bhikkhu Sudhammacaro.
Selesai.......4/4
Oleh: Bhikkhu Sudhammocaro Thera
Bila ada komentar atas tulisan ini akan dikumpulkan terlebih dahulu, dan kemudian diserahkan ke Bhante untuk dijawab di posting berikutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

" NAMA-NAMA BUDDHIS "

“大悲咒 | Ta Pei Cou (Mahakaruna Dharani) & UM-MANI-PAD-ME-HUM”

“ Fangshen cara membayar Hutang Karma Buruk dengan cepat dan Instan “