Presiden Jokowi akui banyak kasus pelanggaran HAM belum tuntas Tragedi Mei 1998 : Kenangan dua ibu yang kehilangan anaknya Kerusuhan Mei 1998: "Apa salah kami sampai (diancam) mau dibakar dan dibunuh?" Pada 13 Mei 1998 malam, Ita Fathia pertama kali mengetahui terjadinya perkosaan massal setelah menemui korban kejadian di kawasan Jembatan Tiga, Jembatan Empat dan Jembatan Lima di Jakarta Barat. Ia menemukan korban itu setelah mendapatkan informasi dari sejumlah orang melalui telepon anonim.

 









"Pertama telepon dari laki-laki katanya ada perkosaan terhadap etnis Tionghoa di Jakarta Utara. Kami pikir itu bohong, namun sekitar jam 8 ada lagi perempuan menelpon mengatakan ada perkosaan di Jembatan Tiga di Cengkareng," jelas Ita.

Akhirnya malam itu, Ita dan dua rekannya dari Kalyanamitra pun memutuskan untuk pergi ke kawasan Cengkareng dengan taksi meski belum mengetahui dengan jelas rumah para korban.

"Waktu itu di Jakarta Barat sudah ramai, taksi tak bisa masuk, demi keamanan supir taksi menyarankan saya menggunakan syal sebagai kerudung ketika keluar taksi," kata Ita.

Dia dan dua rekannya pun berjalan kaki ke Jembatan Tiga. Jalanan ketika itu sudah kacau, banyak orang menggedor pintu toko. Sampai di Jembatan Tiga, Ita bertemu dengan camat setempat yang menunjukkan rumah korban perkosaan.

"Sebelumnya dia menyarankan jangan ke sana karena berbahaya, tapi setelah tahu kami ingin mendatangi korban, camat itu mendatangi saya dan mengatakan ibu masih ingin ke sana, dia menunjuk arah beberapa rumah, yang korban di sana, sana dan sana," jelas Ita.

Ketika mendatangi rumah pertama yang ditunjuk camat tersebut, Ita bertemu dengan korban perkosaan yang diperkirakan berusia 18-19 tahun.

"Tatapan matanya sudah kosong, saya lalu mendatangi rumah kedua dan ketiga, benar saja saya menemukan korban dalam keadaan yang sama: sudah mengucurkan banyak darah. Mereka dari kalangan Cina miskin," kata mantan Direktur Kalyanamitra ini.

Ita mengaku saat itu kebingungan dalam menangani korban karena belum pernah punya pengalaman menangani kasus perkosaan seperti itu.

"Akhirnya saya tanya apakah punya betadine untuk luka, dan tutup pintu dulu, sebelum mencari bantuan," jelas Ita.

Setelah memberikan pertolongan pertama sebisanya pada para korban di Jembatan Tiga, Ita dan rekannya kembali ke kantor. Di sana para relawan menerima banyak telepon kasus perkosaan.

Selama 13-14 Mei 1998, kasus perkosaan banyak dilaporkan. Ita pun mendatangi para korban yang diantaranya adalah mahasiswa perguruan tinggi swasta di Jakarta, yang diselamatkan di pastoran.

"Sampai di sana, ada dua perempuan dadanya ditutup plastik hitam, kaki saya bergetar ketika membukanya, mereka menderita luka pada payudaranya dan vaginanya, semuanya mengeluarkan darah," ungkap Ita.

Dia bersama rekannya dari tim relawan dan pastor tersebut berupaya membawanya ke rumah sakit, namun dalam perjalanan mereka memutuskan untuk membawa korban langsung ke bandara untuk diterbangkan ke Singapura.

"Karena mereka mengalami pendarahan hebat, dan sampai di bandara mereka dapat diterbangkan ke Singapura, tanpa paspor ataupun visa," jelas Ita.

Situasi bandara Soekarno-Hatta saat itu sangat padat dan kacau, dan banyak orang yang mencari tiket untuk segera pergi dari Indonesia.

Ketika melintas di kawasan Jakarta Barat, dalam perjalanan kembali dari bandara, Ita mengatakan melihat sebuah mobil yang dikerumuni massa dan penumpangnya suami istri dan seorang anak. Mereka pun ditolong dan diantar ke bandara.

Di kawasan Cengkareng, Ita mengatakan melihat banyak perempuan keturunan Cina yang berlarian sambil berteriak. Ita dan sejumlah rekannya pun menghentikan kendaraan untuk berupaya menolong korban.

"Tiba-tiba muncul seorang yang dipanggil pak haji, dia membantu kami menolong perempuan-perempuan tersebut dan membawanya ke tempat tinggalnya," kata Ita.

Untuk menangani korban, dibentuk Tim Relawan Untuk Kekerasan Terhadap Perempuan. Tim ini mendapatkan bantuan dari sejumlah organisasi keagamaan Katolik, Kristen, Buddha, Konghucu serta petugas medis. Salah satunya dr. Lie Dharmawan.

Ita mengatakan komunitas agama dan medis memberikan tempat penampungan yang aman bagi para korban. Kemudian korban ditangani luka fisiknya, setelah itu pemulihan trauma.

Dr Lie mengatakan ada beberapa korban perkosaan yang mengalami trauma berat dan sangat ketakutan jika melihat laki-laki.

Dia lebih banyak menangani para korban yang memerlukan pembedahan sesuai dengan keahliannya.

"Kasus yang saya ingat, ada korban yang menjatuhkan diri dari lantai tiga sehingga mengalami patah tulang iga. Ada gadis berusia belasan tahun yang kakinya sudah bau dan bernanah karena terkena beling ketika berlari untuk bersembunyi," jelas dokter Lie.

Sandyawan Sumardi, anggota TGPF mengatakan sempat dihubungi dokter Lie ketika terjadi kasus kekerasan seksual terhadap seorang mahasiswi universitas swasta di Jakarta.

"Korban mengalami luka pada perut dan vaginanya karena ditusuk besi penyangga gorden, korban selamat meski mengalami pendarahan yang cukup hebat," kata Sandyawan.

Kekerasan seksual itu terjadi setelah 15 Mei. Korban yang mengalami trauma kemudian didampingi oleh Sandyawan dan salah satu penyintas kekerasan seksual lainnya.

Penyintas yang menjadi 'pendamping' korban tersebut menurut Sandyawan, mengalami perkosaan di taksi selama sembilan jam. Lalu dia dibuang di suatu tempat dan diantar pulang oleh supir taksi.

"Supir melihat ada KTP dan alamat lengkapnya, jadi diantar keluarganya. Saya mengetahuinya setelah dihubungi susteran," kata Sandyawan yang juga pendiri Tim Relawan Untuk Kemanusiaan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

" NAMA-NAMA BUDDHIS "

“大悲咒 | Ta Pei Cou (Mahakaruna Dharani) & UM-MANI-PAD-ME-HUM”

“ Fangshen cara membayar Hutang Karma Buruk dengan cepat dan Instan “